web 2.0
"INFORRMATIKA SERVICE CENTER" Pusat Informasi & Konsultasi (Melayani Service Komputer, Kursus Teknisi Komputer, Privat/group; 085 742 264 622

Rabu, 01 September 2010

AGAMA PADA MASA DEWASA DAN USIA LANJUT


  1. PENDAHULUAN

Kata agama bisa saja disebut dengan istilah religi yaitu berasal dari bahasa Latin religere yang berarti kumpulan atau bacaan. Pengertian ini sejalan dengan keadaan sebagai kumpulan cara mengabdi kepada tuhan yang terhimpun di dalam kitab suci yang selanjutnya menjadi bacaan. Selain itu ada pula yang mengatakan bahwa kata reeligi berasal darikata religare yang berarti mengikat. Hal ini sejalan dengan sifat agama yang bersifat mengikat para pengikutnya untuk patuh, tunduk dalam menjalankan ajaran agama itu.
Pengertian agama dari segi istilah dapat dirumuskan sebagai pengakuan terhadap adanya hubungan manusia terhadap kekuatan ghaib yang harus dipatuhi, kekuatan ghaib itu menguasai manusia, dan mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia. Agama dapat pula berarti ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang rosul.[1]


Definisi Agama nenurut Nur Cholis Madjid adalah keseluruhan tingkah laku manusia yang terpuji, yang dilakukan demi memperoleh ridho atau perkenan Allah. Agama, dengan kata lain, meliputi keseluruhan tingkah laku manusia dalam hidup ini, yang tingkah laku itu membentuk keutuhan manusia berbudi luhur_berakhlaq karimah_, atas dasar percaya/iman kepada Allah dan tanggung jawab pribadi dihari Kemudian.[2]
Dari latar belakang diatas penulis merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
  1. Bagaimana agama pada masa seseorang yang dewasa?
  2. Bagaimana agama pada masa seseorang yang usianya lanjut?
  3. Apa yang dimaksud kematangan beragama?
  4. Bagaimana hubungan psikologi dengan tasawuf?

  1. PEMBAHASAN
  1. Agama Pada Masa Dewasa
Pada perkembangan usia remaja Elizabeth B. Hurlock membagi masa dewasa menjadi tiga,yaitu: masa dewasa awal, masa dewasa madya, masa usia lanjut. Klasifikasi yang senada juga  diyngkap oleh Lewis Sherril yang membagi masa remaja sebagai berikut: pertama, masa dewasa awal, masa ini remaja ada kecenderungan memilih arah hidup dengan menghadapi godaan berbagai kemungkinan pilihan. Kedua, masa dewasa tengah, pada masa ini sudah mulai menghadapin tantangan hidup. Pada masa ini adalah masa dimana sudah mencapai pandangan hidup yang matang dan utuh yang dapat menjadi  dasar dalam membuat keputusan yang konsisten. Ketiga, masa dewasa akhir yang ciri  utamanya adalah pasrah.[3]
Sementara menurut Ericson, masa dewasa muda merupakan pengalaman menggali keintiman, kemampuan untuk membaurkan identitas anda dengan identitas orang lain tanpa merasa takut kehilangan yang ada pada diri anda. Masa dewasa tengah merupakan masa produktivitas maksimum, ada  kekuatan watak yang muncul, timbuladanya rasa perhatian dan rasa tanggung jawab. Sedangkan masa dewasa akhir merupakan masa kematangan, sehingga Ericson menyebutnya sebagai pencapaian kebijaksanaan (wisdom).[4]
Kesadaran beragama  pada usia dewasa merupakan dasar dan arah daripada kesiapan seseorang untuk mengadakan tanggapan, reaksi, pengolahan dan penyesuaian diri terhadap rangsangan/benturan yang datang dari luar. Semua tingkah laku didasari oleh system kesadaran keberagamaan. Dan kesadaran beragama juga mewarnai semua sikap, pemikiran, I’tikad, dan niat kemauan yang baik.


Ada beberapa ciri sikap keberagamaan pada masa dewasa, yaitu:
    1. Menerima kebenaran keberagamaan dengan matang dan bukan sekedar ikut-ikutan
    2. Cenderung bersifat realis
    3. Bersikap positif terhadap ajaran dan noprma agama.
    4. Tingkat ketaatan didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri
    5. Bersikap lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas
    6. Bersikap kritis terhadap ajaran-ajaran agama.
    7. Terlihat adanya hubungan antara sikap keberagamaan dengan kehidupan social.[5]
Kesadaran beragama_perubahan keyakinan/perubahan jiwa pada agama_ pada usia dewasa bukanlah terjadi secara kebetulan saja, dan tidak pula merupakan pertumbuhan yang secara  wajar tetapi adalah suatu kejadian yang dilalui berbagai proses dan kondisi yang dapat diteliti dan dipelajari. Proses menuju kematangan beragama ini sering kali disebut dengan konversi agama.
Menurut Prof. DR. Zakiah Drajat, konversi agama itu melalui proses-proses jiwa sebagai berikut: [6]
    1. Masa tenang pertama, yaitu suatu keadaan dimana seseorang meras bebas  menjalankan sesuai dengan keinginannya. Biasanya bersikap acuh tak acuh terhadap Agama bahkan menentang Agama.
    2. Masa ketidak tenangan, pada masa ini timbul terjadinya konflik internal dan pertentangan batin, merasa gelisah, putus asa, panic, dan lain sebagainya yang disebabkan oleh moralnya.
    3. Peristiwa konversi, setelah peristiwa diatas terlewati maka sampailah pada puncaknya yaitu masa konversi.
    4. Keadaan tenang dan tentram, masa konversi sudah lewat timbul rasa penyerahan diri dan kondisi jiwa yang baru.
    5. Ekspresi konversi dalam hidup, pada fase ini seseorang melakukan tindakan, kelakuan, sikap, perkataan sesuai dengan ajaran agama.

  1. Agama Pada Masa Usia Lanjut
Perkembangan proses manusia mulai dari kecil lalu bekembang menjadi tua, baik dari jaringan-jaringan dan sel-sel menjadi tua. Usia ini biasanya  dimulai pada usia 65 tahun. Dan pada usia ini biasanya mengalami banyak persoalan , mulai dari berkurangnya tenaga sampai tidak adanya penghargaan terhadap dirinya.[7]
Menurut hasil penelitian psikologi agama, kehidupan keagamaan pada usia lanjut ternyata mengalami peningkatan. Sering kali kecenderungan meningkatnya kegairahan dalam beragama ini dihubungkan dengan penurunan kagairahan seksualnya.
Menurut William James,[8] usia keagamaan yang luar biasa tampaknya justru terdapat pada usia lanjut, ketika gejolak seksualnya sudah berakhir. Dari pendapat yang telah disebutkan diatas sejalan dengan realitas yang ada pada kehidupan manusia usia lanjut yang semakin hari semakin tekun beribadah. Mereka telah lebih memilih mempersiapkan diri atau menyerahkan diri terhadap Tuhan guna mencari bekal untuk hidup di akhirat nanti.
Cirri-ciri keagamaan pada usia lanjut secara garis besar adalah sebagai berikut:
1.      Kehidupan pada usia lanjut sudah mencdapai titik kemantapan
2.      Meningkatnya kecenderunga untuk menerima pendapat keagamaan
3.      Mulai muncul  pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat sevcara lebih sungguh-sungguh
4.      Timbulnya sifat-sifat luhur, sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan rasa saling cinta terhadap sesame
5.      Timbul adanya rasa takut terhadap kematian, sehingga rasa takut itu bisa mendorong seseorang untuk meningkatkan keimanan terhadap adanya klehidupan diakhirat_meningkatkan kualitas keberagamaannya_

  1. Kematangan Beragama
Kematangan beragama merupakan sebuah proses panjang yang dilalui seseorang dalam menemukan hakikat kebenaran yang ia yakini, yaitu melalui proses konversi agama pada diri seseorang. Sehingga dalam beragama mereka menemukan kematangan dan kemantapan dalam beragama. Kematangan atau kedewasaan dalam beragama biasanya ditunjukkan dengan kesadaran dan keyakinan yang teguh karena menganggap benarakan agama yang dianutnya dan ia memerlukan agama dalam hidupnya. Dengan demikian mereka yang sudah menemukan kemantapan beragama, mereka menjalankan penuh kesadaran diri dan bukan sekedar ikut-ikutan.
Dalam proses menuju kematangan beragama terdapat beberapa hambatan, diantaranya terdapat dua factor yaitu:[9]
1.      Faktor diri sendiri (factor intern)
Factor dari dalam diri sendiri dibagi menjadi dua macam, yaitu: kapasitas diri dan pengalaman. Kapasitas ini berupa kemampuan ilmiah (rasio) dalam menerima ajaran-ajaran itu terlihat perbedaannya antara seseorang yang berkemampuan dan kurang berkemampuan. Bagi mereka yang mempunyai kemampuan_menerima dengan rasionya_ maka akan menghayati  dan kemudian mengamalkan ajaran agamanya dengan baik, penuh keyakinan dan argumentatif, dan lain lain.
Berbeda halnya dengan orang yang kurang mampu menerima dengan rasionya, ia akan lebih banyak tergantungpada masyarakat yang ada, meskipun pada dirinya sering timbul tanda tanya. Mereka menjalankan  dengan penuh keraguan dan bimbang. Sehingga apabila terjadi proses perubahan-perubahan, maka orang tersebut menanggapinya dengan ketetapan-ketetapan yang sesuai dengan tradisi yang ada, dan ada kemungkinan orang semacam ini tidak mempunyai ketetapan hati
Sedangkan ditinjau dari segi pengalaman, makin luas pengalaman seseorang dalam bidang keagamaan maka akan lebih mantap dan stabil dalam menjalankan aktivitas keagamaan, begitu juga sebaliknya.
2.      Factor dari luar (factor ekstern)
Yang disebut factor dari luar yaitu kondisi dan situasi lingkungan yang tidak banyak memberikan kesempatan untuk berkembang. Factor-faktor tersebut antara lain tradisi agama atau pendidikan yang diterima. Kultur masyarakat yang sudah dikuasai oleh tradisi ini akan berjalan secara turun temurun, dan sering kali tradisi itu tidak diketahui dari mana asal usul dan sebab musababnya.
Berkaitan dengan sikap keberagamaan, William Starbuck, sebagaiman dipaparkan kembali oleh William James, berpendapat ada dua factor yang mempengaruhi sikap keagamaan seseorang, yaitu:
1.      Faktor Intern, yang terdiri dari:
a.       Temperamen
Tingkah laku yang didasarkan pada temperamen tertentu memegang peranan penting dalam sikap beragama seseorang.
b.      Gangguan Jiwa
Orang yang menderita gangguan jiwa menunjukkan kelainan dalam sikap dan tingkah lakunya.
c.       Konflik dan keraguan
Dalam kaitannya ini dapat mempengaruhi sikap seseorang terhadap agama, seperti taat, fanatic, dan lain-lain
d.      Jauh dari Tuhan
Orang yang hidupnya jauh dari Tuhan akan merasa dirinya lemah dan kehilangan pegangan hidup, terutama saat menghadapi musibah.
2.      Faktor ekstern yamg mempengaruhi sikap keberagamaan secara mendadak
a.       Musibah
Biasanya musibah yang serius dapat mengguncangkan seseorang menuju kesadaran keberagamaannya. Karena mereka merasa mendapat peringatan dari Tuhan.
b.      Kejahatan
Mereka yang larut kedalam lembah hitam umumnya mengalami guncangan batin dan rasa berdosa. Sehingga muncul perasaan fitri yang menghantui dirinya, yang kemudian membuka kesadaran untuk bertaubat. Dan akhirnya akan menjadi penganut yang taat dan fanatik.
G.W. Allport (1962) memberikan tanda-tanda sentiment beragama yang matang, yaitu adanya diferensiasi, motivasi kehidupan beragama yang dinamis, pelaksanaan ajaran agama secara konsistan dan produktif, pandangan hidup yang kompherenship dan integral, dan semangat pencariandan pengabdian secara ikhlas terhadap Tuhan.[10]

  1. Hubungan Psikologi dengan Tasawuf
Orang yang sudah mengalami kematangan beragama atau kedewasaan beragama akan memegang teguh kayakinan dan diwujudkan dalam  kehidupannya sehari-hari dengan penuh tanggung jawab.
Apabila seseorang telah mengalami kematangn dalam beragama, ia akan mampu mengatasi berbagai macam persoalan-persoalan hidup. Pada akhirnya akan menemukan ketenangan dan ketentraman jiwa., masalah terakhir ini yang menjadi kajian ilmu kesehatan mental, sehingga ada kaitannya antara psikologi agama dengan kesehatan mental, atau meminjam istilah yang dikemukakan  Yahya Jaya_hubungan tersebut bagaikan dua sisi mata uang, karena pada akhirnya tujuan psikologi agama adalah kesehatan mental.
Dalam ajaran islam, inti kesehatan mental yaitu iman dan taqwa. Karena dengan adanya kematangan beragama dan sudah mencapai titik iman dan taqwa, merekalah yang dikatakan bahagia didunia dan akhirat. Dan keadaan yang semacam itu hanyaklah bisa tercapai bagi arang yang beriman dan bertaqwa.
Menurut Al-Taftazani, tasawuf secara umum adalah falsafah hidupdan cara-cara tertentu dalam tingkah laku menusia, dalam upaya merealisasikan kesempurnaan moral, pemahaman yang hakikat, danrealitas dan kebahagiaan ruhaniah. Tasawuf disebut juga sebagai ilu yang membahas masalah pendekatan diri manusia pada Tuhannya melalui penyucian ruhaniahnya.
Ada dua paradigma yang dikembangkan oleh para sufi dalam upaya mendekatkan diri pada Tuhan. Pertama, Tuhan bersifat ruhaniyah yang abstrak, maka bagian yang dekat dengan Tuhan adalah ruh. Kedua, Tuhan adalah Maha Suci, maka yang dapat diterima-Nya adalah jiwa (ruh) yang suci pula.
Para sufi yang telah melalui tahapan tertinggi, berarti telah mengalami kematangan beragama  terlepas dari komentar tentang kematangan dalam beragama yang dilontarkan William James dan Starbuck “seluruh aktifitas hidupnya merupakan manifestasi dari rasa ketundukannya kepada Allah”.


Siikap demikian akan mampu menghapus pecahnya kepribadian dan mental seseorang. Ia akan selalu berupaya menghilangkan sifat-sifat neurosis dalam dirinya, sebagai upaya tazkiah al-nafs kepada nilai-nilai Ilahiyah.
Dengan demikian, hubungan antara psikologi agama dengan tasawuf terletak pada kesehatan mental, yaitu terciptanya ketentraman jiwa dan kebahagiaan yang hakiki. [11]
Menurut Pir Vilayat Inayat Khan tasawuf merupakan cara yang sangat dekat/upaya mendekatkan diri terhadan sang Kholiq, mereka merasa tentram bersama Tuhan, Menjadi seperti bayi didalam buaian Tuhan .Menjadi anak sang waktu, dan bernafas dengan lega.[12]
Kesimpulannya, antara psikologi dengan dengan tasawuf sangat berkait. Jiwa memerlukan ketenangan karena melalui serangkaian proses yang terangkum dalam kaidah-kaidah sufisme. Jiwa akan merasa mencapai tingkat ketenangan manakala terlepas dari urusan duniawi, senantiasa berada dijalan Tuhan, dan direalisasikan penuh dengan konsistensi

  1. PENUTUP

Demikian makalah kami persembahkan untuk teman-teman, meskipun dengan serba singkat dan penuh kekurangan semoga dapat dijadikan referensi ataupun bahan diskusi. Paling tidak dapat memberikan kepada kita sedikit wawasan mengenai tema yang telah dibahas pemakalah.





DAFTAR PUSTAKA

Ahyadi, Abdul Aziz, Psikologi Agama danKepribadian Muslim Pancasila, BandungSinar Baru Al-Gensindo, cet IV
Drajat, Zakiah,1970. Psikologi Agama, Jakarta: Bulan Bintang

Inayat Khan, Pir Vilayat Penerj. Rahmani Astuti , 2003. Membangkitkan Kesadaran Spiritual, Bandung : Pustaka Hidayah, cet II
Madjid, Nurcholish, 2000, Masyarakat Religius, Membumikan Nilai-Nilai Islam Dalam Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Paramadina
Saleh, Abdul Rahman. 2005 Penididikan Agama dan Pembangunan Watak Bangsa, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
Sururin, 2004, Ilmu JIwa Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada,








[1]  Abdul Rahman Saleh, Penididikan Agama dan Pembangunan Watak Bangsa, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005, hlm.4
[2]  Nur Cholish Madjid, Masyarakat Religiu, Membumikan nilai-nilai Islam Dalam Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Paramadina, 2000, cet II. Hal 91
[3]  Sururin, Ilmu JIwa Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hal 83-84
[4]  Sururin, Ibid hal.85
[5] Sururin, Ibid. hal.87-88
[6]  Zakiah Drajat, Psikologi Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1970.
[7] Sururin, Op Cit. hal. 88
[8] Sururin, Ibid. hal 89
[9] Sururin, Ibid. hal 91
[10]  Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama danKepribadian Muslim Pancasila, BandungSinar Baru Al-Gensindo, cet IV. Hal 49
[11] Sururin, Op cit. hal 97-101
[12]  Pir Vilayat Inayat Khan, Penerj. Rahmani Astuti  Membangkitkan Kesadaran Spiritual, Bandung : Pustaka Hidayah, 2003, cet II

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Komentar

free counters

¾