web 2.0
"INFORRMATIKA SERVICE CENTER" Pusat Informasi & Konsultasi (Melayani Service Komputer, Kursus Teknisi Komputer, Privat/group; 085 742 264 622

Rabu, 01 September 2010

BUKU FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM


SEDIKIT MENGENAL TENTANG FILSAFAT
Kata-kata "filsafat", "filosofi", "filosofis", "filsuf", "falsafi" bertebaran di sekeliling kita. Apakah pemakaiannya dalam kalimat-kalimat sudah tepat atau sesuai dengan arti yang dimilikinya, kita acapkali tidak merisaukan hal itu, mungkin karena kita sendiri juga kurang paham dan belum berkesempatan memeriksa beberapa literatur atau pun bertanya kepada mereka yang berkompeten menjelaskan hal itu. Sementara itu, kita mengerti bahwa beberapa peristilahan ada karena memiliki latar belakang yang unik.


Suatu peristilahan perlu dipahami konteks-nya untuk memperoleh kejelasan maknanya, baik itu konteks sosial, budaya bahkan politik. Karena suatu peristilahan pada hakikatnya adalah melukiskan atau pun mewakili suatu konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dari yang dilukiskan atau diwakilinya, dan memperlihatkan bagaimana istilah-istilah yang disebutkan tadi bisa digunakan. Juga mengenai relasi antara filsafat, ilmu dan agama; hal yang tak jarang menjadi bahan persoalan.

FILSUF, HIDUP DAN KARYANYA
Filsuf (atau, filosof) atau disebut juga ahli pikir ialah mereka yang gemar menilik sesuatu realitas dengan kemerdekaan berpikir yang ada padanya sampai sesuatu itu '"terbongkar" sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya. Apa yang dilakukan oleh para filsuf tetap kembali pada suatu usaha menemukan kebenaran, meskipun jalan, metode yang dipakai berbeda-beda antara satu filsuf dengan filsuf yang lain. Oleh karenanya, tak heran bila muncul istilah-istilah seperti "filsafat Plato", "filsafat Thomas", "filsafat Kant", "filsafat Habermas", dan seterusnya, di sampingnya "filsafat Yunani", "filsafat India", "filsafat eksistensialisme", dsb. Itu karena memang produk pemikiran masing-masing filsuf tersebut adalah khas, tiada duanya, baik dari segi: pola pemikirannya, titik tolak di mana bermula, bahasa yang digunakannya, cara penyampaiannya dan posisi (berpikir)nya, meskipun para filsuf sendiri hidup dalam konteks sejarah dengan segala suasana batin dan pemikiran yang melingkupinya.
Apa yang diberikan oleh para filsuf kepada masyarakat dunia, kalau boleh disebut demikian, selalu menarik untuk ditinjau. Bagaimana suatu persoalan dirumuskan, ditelaah, bagaimana jawaban-jawaban dan pertanyaan-pertanyaan selalu diformulasi kembali sepanjang jaman, hanya dalam rangka mencari kebenaran untuk kemaslahatan kehidupan manusia, menurut visi masing-masing. Masalah apakah kemudian suatu pemikiran disepakati sebagai keliru bahkan salah, karena telah dicapai pemikiran lain yang lebih baik, adalah masalah lain. Sejarah adalah sejarah yang tidak mungkin dihapus. Adanya sesuatu hari ini mau tak mau, suka tak suka adalah sebagai akibat dari kontak dengan masa lalu. Di sinilah dialektika terjadi, saling berdebat, saling menanggapi.
Pemikiran para filsuf, apalagi filsuf besar, adalah merupakan harta dunia yang tiada terbilang nilainya. Jelas ia memberi sumbangan bagi kemajuan berpikir berikutnya. Sumbangannya bagi sejarah peradaban dunia patut untuk disampaikan senantiasa oleh kita yang hidup di jaman yang katanya modern ini; minimal sebagai ungkapan terima kasih kita kepada mereka, yang pemikirannya langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kehidupan kita hari ini. Kita mau mengenal filsuf dari kehidupan dan karya-karyanya. Insya Allah, bagian ini akan membahas filsuf dengan pemikiran-pemikiran dan kehidupannya, sejak filsafat Yunani Klasik hingga filsafat yang berkembang akhir-akhir ini. Cabang-cabang filsafat yaitu :
♪ Ontologi, merupakan pengetahuan tentang "semua pengada sejauh mereka ada". Suatu studi yang membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin ketahui, atau, dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang "ada".
♪ Teologi metafisik, membicarakan tentang pertanyaan apakah Tuhan ada dan tentang nama-nama ilahi. Suatu studi tentang hakikat, ragam dan objek kepercayaan agama. Apa hubungan antara akal dan iman? Apa sesungguhnya agama? Dapatkah Allah diketahui lewat pengalaman langsung? Dapatkah eksistensi kejahatan didamaikan dengan iman akan suatu Allah yang sempurna dan berpribadi? Apakah istilah-istilah religius memiliki makna khusus?
♪ Antropologi, membicarakan tentang manusia ("filsafat manusia"). Suatu studi yang membicarakan manusia seluruhnya, dengan segala sudutnya, namun dengan mementingkan penggunaan metode filosofis dalam penyelidikannya.
♪ Kosmologi, membicarakan tentang alam, kosmos. Suatu studi yang hendak mengetahui "rahasia alam". Dari mana datangnya alam ini, betapa terjadinya, bagaimana kemajuannya dan ke mana sampainya?
♪ Etika, membicarakan tentang tindakan manusia. Suatu studi tentang prinsip-prinsip dan konsep-konsep yang mendasari penilaian terhadap perilaku manusia. Contohnya: Dengan patokan apa kita membedakan antara tindakan yang benar dan yang salah secara moral? Apakah kesenangan merupakan satu-satunya ukuran untuk menentukan sesuatu sebagai "baik"? Apakah keputusasaan moral bersifat sewenang-wenang atau sekehendak hati?
♪ Estetika, mencoba menyelidiki mengapa sesuatu dialami sebagai indah. Suatu studi tentang prinsip-prinsip yang mendasari penilaian kita atas berbagai bentuk seni. Apakah tujuan seni? Apa peranan rasa dalam pertimbangan estetis? Apa yang ditangkap, dialami, dirasakan dan dihayati sebagai indah?
♪ Sejarah filsafat dunia, mengajar apa jawaban pemikir-pemikir jaman atas pertanyaan-pertanyaan manusia.
Tidak semua filsuf setuju dengan pembagian seperti diuraikan di atas. Ada filsuf yang menyangkal kemungkinan ontologi atau kemungkinan seluruh metafisika. Namun, pembagian seperti di atas ini merupakan sekma yang paling klasik dan paling umum diterima.

C A B A N G
Epistemologi, membicarakan tentang kebenaran.
Filsafat Biologi, membicarakan tentang hidup.
Filsafat Psikologi, membicarakan tentang jiwa.
Filsafat Antropologi, membicarakan tentang manusia.
Filsafat Sosiologi, membicarakan tentang masyarakat dan negara.
Etika, membicarakan tentang baik dan buruk.
Estetika, membicarakan tentang indah.
Filsafat Agama, membicarakan tentang agama.
Harry Hamersma di dalam bukunya Pintu Masuk Ke Dunia Filsafat (Kanisius, 1981), membicarakan sepuluh cabang filsafat, yang masih dapat dikembalikan lagi kepada empat bidang induk, sebagai berikut:
Filsafat tentang pengetahuan:
Epistemologi
Logika
Kritik ilmu-ilmu
Filsafat tentang keseluruhan kenyataan:
Metafisika umum (atau, ontologi)
Metafisika khusus, terdiri dari:
Teologi metafisik (disebut juga "teodise" dan "filsafat ketuhanan")
Antropologi
Kosmologi (disebut juga "filsafat alam")
Filsafat tentang tindakan:
Etika (disebut juga "filsafat moral")
Estetika (disebut juga "filsafat seni", "filsafat keindahan")
Sejarah filsafat
Berikut ini penjelasan masing-masing secara lebih dalamnya:
Epsitemologi, merupakan "pengetahuan tentang pengetahuan". Suatu studi tentang asal usul, hakikat, dan jangkauan pengetahuan. Beberapa pertanyaan yang mungkin diajukan dalam espistemologi adalah: Apakah pengalaman merupakan satu-satunya sumber pengetahuan? Apakah yang menyebabkan suatu keyakinan benar dan yang lain salah? Adakah soal-soal penting yang tidak dapat dijawab oleh sains (ilmu spesial)? Dapatkah kita mengetahui pikiran perasaan orang lain?
Logika, menyelidiki aturan-aturan yang harus diperhatikan supaya cara berpikir kita sehat. Suatu studi tentang prinsip-prinsip yang dipakai untuk membedakan antara argumen yang masuk akal dan argumen yang tidak masuk akal, serta tentang berbagai bentuk argumentasi. Contohnya: apa perbedaan antara pemikiran induktif dan deduktif? Mengapa argumentasi "Semua anjing adalah kucing. Sokrates adalah anjing. Maka, Sokrates adalah kucing" dianggap valid? Apa pebedaan antara logika penjelasan ilmiah dan logika pertimbangan moral?
Kritik ilmu-ilmu, menyelidiki titik pangkal, metode, objek dari ilmu-ilmu ("filsafat ilmu"). Suatu studi tentang metode, asumsi, dan batas-batas ilmu pengetahuan. Adakah satu metode yang khas dalam ilmu pengetahuan? Apakah perbedaan antara sebuah teori dan sebuah hukum dalam ilmu pengetahuan? Apakah hakikat penjelasan ilmiah? Apakah kebebasan manusia selaras dengan ilmu pengetahuan?
Filsafat bertanya tentang seluruh kenyataan, tetapi selalu salah satu segi dari kenyataan yang sekaligus menjadi titik fokus penyelidikan kita. Filsafat selalu bersifat "filsafat tentang" sesuatu tertentu, misalnya: filsafat tentang manusia, filsafat alam, filsafat kebudayaan, filsafat seni, filsafat agama, filsafat bahasa, filsafat sejarah, filsafat hukum, filsafat pengetahuan, dan seterusnya.
Aristoteles mengadakan pengelompokan sebagai berikut:
Sejarah logika, yaitu ajaran tentang kategori, pengambilan kesimpulan dab pembuktian serta topika yaitu dialektika,
Ilmu-ilmu pengetahuan alam, berisi antara lain tentang fisika, langit, meteorologi, jiwa, binatang,
Etika,
Politik,
Bahasa dan seni.
Cassidorus menyebut tujuh macam seni liberal, yaitu:
Trivium, terdiri atas Gramatika, Logika, Retorika, dan
Quadrivium yang terdiri atas Ilmu hitung, Ilmu Ukur, Astronomi dan Musik.
Kant (Stroriq, 1972) di dalam Kritik-nya Terhadap Rasio Murni mengadakan pembagian sebagai berikut:
Bagian pertama berisi ajaran elementer yang transendental,
Bagian kedua berisi ajaran transendental tentang metode.
Ajaran elementer tersebut dibagi lagi menjadi estetika transendental, yang membicarakan tentang kemampuan inderawi dan logika transendental yang membicarakan tentang kemampuan berpikir. Logika dibagi lagi menjadi analitika transendental dan dialektika transendental. Selanjutnya dalam Kritik-nya Terhadap Rasio Yang Praktik ia banyak membicarakan tentang Etika dan Religi.
Di dalam bukunya, Perspectives in Social Philosophy (1967), Beck (1967) menyebut lapangan filsafat, yaitu:
Epistemologi atau filsafat pengetahuan. Yang dibicarakan antara lain adalah sumber, kriteria, dan hakikat pengetahuan.
Metafisika atau teori tentang realitas. Yang dibicarakan antara lain segala sesuatu yang ada, hekikat realita, prinsip pemahaman kosmos.
Ilmu pengetahuan normatif, yang terdiri atas etika, estetika dan filsafat ketuhanan.
Demikian seterusnya terdapat jenis penggolongan cabang-cabang filsafat. Katsoff dalam bukunya Elements of Philosophy mengadakan penggolongan sebagai berikut:
Logika, membicarakan tentang hukum-hukum penyimpulan yang benar.
Metodologi, membicarakan tentang teknik atau cara penelitian.
Metafisika, membicarakan tentang segala sesuatu yang ada.
Ontologi, membicarakan tentang hakikat segala sesuatu yang ada.
Kosmologi. membicarakan tentang segala sesuatu yang ada yang teratur.

PENGANTAR UMUM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Filsafat Pendidikan Islam terdiri atas perkataan Filsafat Pendidikan dan Islam. Namun ketiganya mempuyai hubungan yang erat menurut hukum DM sehingga ketiganya mewakili satu pengertian yang bulat dan tersendiri. Pokok yang dibicarakan ialah FILSAFAT, tetapi filsafat tentang apa? Jawabannya : Filsafat tentang pendidikan. Pendidikan yang bagaiamana ? pendidikan yang bercorak Islam.
Jadi perlu dipahami secara per definisi dari masing-masing ata, yaitu filsafat, penidikan dan islam. Menurut LO Kattsoff, filsafat adalah suatu analiis hati-hati terhadap alasan-alasan yang diajukan megenai suatu msalah dan penyusunan secara sengaja serta sistematis suatu sudut pandang yang menjadi dasar suatu tindakan. Menurut orang Yunani (Greece), filsafat adalah suatu pandangan rasional tentang segala-galanya.
Jadi filsafat adalah pemikiran analitis, sistematis, dan rasional tentang segala sesuatu yang pada akhirnya menjadi dasar tindakan. Secara kronologis menurut Van peursen, filsafat adalah suatu usaha pemikiran yang secara kritis berusaha menelusuri kembali akar segala sesuatu, sehingga nampak sikap hidup dan arah religius yang mendasari suatu tindakan.
Pendidikan menurut AD Marimba adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian utama. Menurut corak pemahaman diagramatis yang dikemukakan oleh AD Marimba maka kedua pengertian tersebut yaitu filsaft danpendidikan harus dipahami secara integral sebagai filsafat pendidikan.
Menurut Attoumiy Asy Syaibani, filsafat pendidikan adalah aktivitas pikiran yang teratur dengan mempergunakan metode filsafat untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan. Dua problem utama filsafat pendidikan adalah landasan dan metode pengajaran. Sedangkan pendidikan menurutnya adalah proses pertumbuhan membentuk pengalaman dan perubahan yang dikehendaki dalam tingkah laku individu dan kelompok mlalui interaksi dengan alam dan lingkungan.
Jadi secara sederhana dapat disimpulkan bahwa FILSAFAT adalah alat yang melahirkan teori dan PENDIDIKAN adalah alat yang dipakai untuk mempraktekkan teori. Maka hubungan antara keduanya dapat disimpulkan, yaitu filsafat adalah basis dari bangunan pendidikan (filsafat sebagai induk ilmu).
Dengan memperhatikan hubungan filsafat dan ilmu di atas keduanya memiliki hubungan fungsional, yitu ilmu menjalankan fungsi filsafat dalam hal memberikan jawaban teoritis terhadap berbgai permsalahan sebagai jabaran dari kritik filsafat. Sebaliknya filsafat menjalankan fungsinya sebagai basis bagi aktivitas berbagai disiplin ilmu. Dan Islam di sini dipahami sebagai tata nilai yang berisi seperankat ajaran perilaku hidup manusia secara lengkap (aqidah, muamalah, syariah, dan ibadah) yang berasal dari wahyu Allah SWT.
J filsafat pendidikan islam adalah suatu analisis atau pemikiran rasional yang dilakukan secara kritis, radikal, sistematis dan metodologis untuk memperoleh pengetahuan tentang hakikat pendidikan islam. Untuk sampai pada pengertian tersebut perlu dikemukakan pertanyaan-pertanyaan sbb:

ÿ What : apakah pendidikan itu
ÿ How : mungkinkah manusia dididik dan melakukan pendidikan, bagaimana pendidikan dilakukan
ÿ By what : dengan apa pendidikan dijalankan
ÿ What aims : apa tujuannya
ÿ What content is : apa isi pendidikan itu
ÿ For what : untuk apa pendidikan itu dilaksanakan
ÿ What kind of : apanya manusia yang dididik
ÿ Whom : siapa yang berhak dididik
ÿ Who : siapa yang berhak mendidik
ÿ What result of : apa indikasi keberhasilan pendidikan
Jadi fungsi filsafat pendidikan Islam adalah :
ó Untuk dijadikan pedoman dan patokan dasar perencanaan dan pelaksanaan pendidikan secara dinamis sejalan dengan perkembangan dan perubahan masyarakat serta ilmu pengetahuan
ó Pemberian corak kepribadian peserta didik sesuai dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam serta kondisi sosial, budaya, ekonomi serta politik umat Islam.
ó Sedang sumber filsafat pendidikan islam adalah seluruh khazanah budaya dan ilmu pengetahuan manusia yang dapat dihubungkan dengan ajaran islam; oleh karena itu filsafat pendidikan islam adalah sebuah sintesis realisme idealistis atau idealisme realistis.
Sebagaimana ilmu yang lain filsafat pendidikan islam juga mempunyai objek materia dan objek forma. Yang dimaksud objek materia adalah adlah segala hal yang memiliki sifat fundamental yang disebut ADA. Sedang objek forma adalah substansi dan esensi dari segala yang ada tersebut atau secara gamblang adalah cara pandang atau model pendekatan yang dipergunakan untuk melihat objek materia tersebut.
Objek materia fpi : segala hal yang berkaitan dengan ushan manusia secara sadar untuk menciptakan kondisi yang memberi peluang berkembangnya kecerdasan, pengetahuan dan kpribadian atau pola kelakuan peserta didik.
Objek forma fpi : peciptaan kondisi yang memberi peluang pengembangan kecerdasan, pengetahuan dan kepribdian atau pola kelakuan sehigga peserta didik memiliki kemampuan untuk menjalani dan menyelesaikan permasalahan hidupnya dengan menempatkan islam sebagai hudan dan furqon.
Maka prinsip umum pendidikan islam terletak pda pendekatan INPUT ORIENTED peserta didik secara individual dan pendekatan proses pemberian peluang – INPUT AND PROCESS ORIENTED bukan pada OUT PUT ORIENTED karena akhirnya hanya Allah yang berhak memberi petunjuk kepada manusia, sementara manusia diberi kebebsan etis untuk tunduk atau ingkar.

maka substansi pendidikan adalah belajar mengajar dan esensi pendidikan adalah tindakan sadar. Substansi dapat dianalogikan sebagai objek material dan esensi sebagai objek formal.
Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat pendidikan islam adalah basis yang melahirkan teori-teori yang dipraktekkan dalam pendidikan islam. Atau lebih teatnya fpi sebagai basis yang melahirkan konsep-konsep teoritis ilmu pendidikan islam yang diterapkan dalam praktek pendidikan. Inilah yang dimaksud fpi sebagai basis keilmuan.

METODE YANG DIGUNAKAN DALAM MEMPELAJARI FPI

– KONTEMPLASI dan SPEKULASI
Menurut Dogebart, kontemplasi adalah pengetahuan tentang sesuatu objek yang dilawankan dengan menikmati (suatu objek) oleh pikiran yang langsung mencapai titik kesadaran (pusat kesadaran). Menurut Noorsyam, kontemplasi adalah perenungan dalam arti memikirkan sesuatu hal yang bersifat abstrak tanpa keharusan adanya kontak langsung dengan objeknya. Dalam hal ini tuhan dapat menjadi objek kontemplasi.
Sedang spekulasi adalah suatu doktrin yang didasarkan pada teori kebenaran koherensi dimana realitas dibandingkan dengan prinsip-prinsip spiritual, pikiran dan kesadaran diri. Menurut Noorsyam, spekulasi adalah perenungan dengan pikiran yang tenang, kritis dan reflective thinking, cenderung membuat analisa mencari hubungan antara masalah, berulang-ulang sampai mantap. Dua cakupan makna ini dalam terminologi Islam termaktub dalam istilah TAFAKUR. Tafakur di sini mengandung unsur FIKR dan NADHAR – pengamatan.
dengan bertafakur kita akan sampai pada hakikat kebenaran seperti taqdir, iman, islam, manusia, alam, pencipta, konsep hidup. Dalam formulasi ayat tersebut kita harus sampai maqam ZIKIR.
– NORMATIF
Normatif artinya nilai, aturan, hukum. Melalui pendekatan ini fpi harus melahirkan norma-norma, patokan-patokan, nilai tentang pendidikan islam yang merujuk pada sumber nilai islam. Sebagai analog dalam fpi dikenal pendekatan syar’iyyah atau dalam ijtihad fiqhiyah istihsan, maslahatul mursalah, al’adah muhakamah.
– ANALISA KONSEP DAN ANALISA BAHASA
Menurut Zuhairini, konsep adalah tangkapan, atau pengertian seseorang terhadap sesuatu objek. Setiap orang mempunyai tangkapan yang berbeda-beda terhadap satu objek yang sama. Tangkapan seseorang ini diemukakan melalui bahasa yang mengandung pengertian dimana ia dibatasi oleh ruang dan waktu. Dalam khazanah islam dikenal istilah TAFSIR dan TA’WIL. Ta’wil adalah penjabaran sesuatu konsep secara interpretatif dan tafsir adalah penjabaran sesuatu dari tinjauan bahasa.
– SEJARAH
Sejarah secara umum dipahami sebagai catatan atas peristiwa yang telah berlalu. Catatan ini bisa dalm bentuk peninggalan monumental atau catatan berbentuk tulisan. Dalam islam sejarah ini merupakan bagian besar yang dijabarkan oleh wahyu; sehingga manusia dapat mengambil hikmahnya. M Baqir Ash Shadr dalam bukunya Sejarah dalam Perspektif Alquran menemukan hal-hal sbb :
☺ Jika terjadi kerusakan di muka bumi maka azab Allah akan menimpa secara merata pada seluruh kaum tanpa pandang bulu, orang salih atau fasid
☺ Tiap-tiap umat ada batas waktunya
☺ Ada pergiliran hukum sejarah yang menang dan kalah sesuai dengan kadar terpenuhinya persyaratan atasnya secara objektif tanpa membeda-bedakan salih dan fasid
maka karakteristik hukum sejarah adalah :
universal
hukum-hukum masyarakat mempunyai segi ilahiah atau ciri ketuhanan
hukum sejarah konsisten dengan kebebasan manusia
– ILMIAH
Metode ilmiah adalah suatu cara untuk mencari jawab atas sesuatu yang didasarkan pada pengamatan, eksperimentasi dan konseptualisasi teoritis. Di sini tampak hubungan fungsional antara filsafat dan ilmu pendidikan.

LANDASAN KEILMUAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

METAFISIKA

METAFISIKA menurut Pudjo Wijatno adalah sesuatu di luar sesuatu yang bersifat fisik atau dibalik yang fisik. Dalam struktur keilmuan metafisika adalah salah satu cabang filsafat yang mempersoalkan hakikat kebenaran itu sendiri terlepas dari objek itu sendiri. Dalam kaitannya dengan FPI, metafisika adalah kebenaran yang dikaitkan dengan kebenaran ilahiah yaitu menempatkan ALLAH sebagai kebenaran mutlak dimana di luar diriNya hanyalah mungkin atau relatif. ALLAH sebagai wajibul wujud atau dalam khazanah filsafat dikenal dengan necessary being. Logikanya penalaran ini berdasarkan kalimah tauhid laa ilaah illa allah. Kalimat ini terdiri dari dua bagian yaitu laa ilaah yang menegasikan seluruh ilah dan illa allah yang mengafirmasi satu saja yang benar, yaitu Allah. Nilai kebenaran ini mutlak karena menempatkan Allah sebagai “yang bukan alam” sebagai necessary being yang berarti sesuatu selainnya adalah nothing atau being of.
Implikasi pemahaman ini adalah dengan memahami kebenaran konsepsi metafisika ini telah menempatkan Allah sebagai necessary being – wjibul wujud sehingga sesuatu yang datangnya dari Allah akan bernilai mutlak. Jadi dasar kebenrannya adalah wahyu yaitu Alquran sebagai dasar pengembangan kependidikan Islam dan tujuannya adalah ridho Allah.
H.M. Arifin merumuskan secara definitif tujuan pendidikan Islam yaitu menjadikan anak didik sebagai muslim sejati yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam serta menjadi hamba Allah yang berkepribadian.
Jadi dengan logika pemahaman demikian telah menjadikan manusia bermartabat dimana ketinggian martabatnya itu tergantung pada usahanya. Selain Allah bisa ADA bisa juga TIDAK ADA. Artinya jika ADA-nya ditinjau dari manfaa kemanusiaan sebenarnya tidak perlu ADA maka ikhtiarlah yang diperlukan. Demikian juga sebaliknya. Tetapi untuk mengADAkan sesuatu atau meniADAkan sesuatuharus berdasar pada ketentuan Allah sebagai dasar normatifnya.

EPISTEMOLOGI

Tinjauan bahasa berasal dari bentukan epistemei dan logos. Epistemologi berarti ilmu tentang pengetahuan manusia atau sering dikatakan sebagai teori pengetahuan. Dalam pendidikan islam perwujudan bangunan epistemologis yang pertama adalah meletakkan wahyu sebagai kebenaran mutlak, sebagai dasar ontologis eksistensi kebenarannya.
Yang kedua logika pembuktiannya dirubah, yaitu :
V Pembuktian kebenaran formal diganti dengan pembuktian material dan substansial. Contohnya : kebenaran yang dijadikan pegangan bukan hanya berdasar pada kenyataan teoritis atau kesesuaian dengan akal tapi harus sampai pada pembuktian pada materi dan substansi masalahnya.
V Pembuktian kategorik diganti dengan pembuktian probabilistik. Contohnya : eksistensi sebuah kebenaran tidak dianggap secara kategorik berlaku terus benar tapi secara probabilistik punya peluang yang sama untuk senantiasa berubah mengikuti hukum ruang waktu yang melingkupinya.
Yang ketiga, epistemologi yang dibangun dengan penawaran dua postulasi, yaitu :
V Semua yang gaib (zat Allah, surga, neraka, alm barzah) itu adalah urusan Allah, bukan kawasan ilmu. Sedang alam semesta adalah kawasan ilmu yang dapat dijelajahi.
V Manusia adalah makhluk yang dhoif, lemah dibandingkan kebijaksanaan Allah sehingga kebenaran mutlak dari Allah tidak tertangkap oleh manusia. Pada dataran ini manusia hanya mampu menangkap kebenaran Alquran pada tingkatan relatif dan eksistensinya hanyalah sampai pada probabilistik.
Di sini sekaligus sudah dapat dilihat bahwa epistemologi yang ditawarkan bernuasa aksiologi islami. Sehingga ontologi substansi kebenaran dalam Islam mempunyai empat strata kebenaran, yaitu :
@ Empirik sensual sebagai ayah (tanda/ bukti)
@ Empirik logik sebagai isyarah(isyarat/ teoritis)
@ Empirik etik sebagai hudan (petunjuk)
@ Empirik transendental sebagai hikmah (filosofis).
Dari seluruh penjelasan tadi dapat disusun suatu kerangka paradigmatik tentang pendidikan Islam sbb :
Pertama, asumsi dasar yang dipakai adalah adanya pengakuan terhadap adanya keteraturan alam semesta dimana keteraturan ini ciptaan Allah. Filsafat yang mengakui adanya keteraturan alam adalah realisme metafisik.
Kedua, postulasi ontologiknya, keteraturan tersebut tampil dalam eksistensi kebenaran multi faset atau multi strata, yaitu sensual, logik, etik dan transendental.
Ketiga, postulasi aksiologisnya : ilmu pendidikan itu ilmu normatif sehingga perlu dan harus diorientasikan kepada nilai baik yang insaniah dan yang ilahiah.
Keempat, tesis epistemologis utamanya : wahyu adalah kebenaran mutlak.
Kelima, tesis epistemologis I : karena dhoif nya maka kebenaran yang dapat dijangkau oleh manusia hanyalah kebenaran probabilistik.
Keenam, tesis epistemologis II : wujud kebenaran yang dapat dicapai dapat berupa eksistensi sensual, logis, etis dan transendental.
Ketujuh, tesis epistemologis III : karena kebenaran yang dapat dijangkau manusia adalah kebenaran probabilistik maka logika untuk pembuktiannya adalah logika probabilistik.
Kedelapan, tesis epistemologis IV : untuk pemahaman hubungan antara manusia dengan alam sejauh tidak berkaitan dengan nilai baik yang insaniah maupun yang ilahiah, model pembuktiannya adalah induktif probabilistik.
Kesembilan, tesis epistemologis V : untuk pemahaman beragam tersebut jika terkait dengan nilai, model pembuktiannya deduktif probabilistik.
Kesepuluh, tesis epistemologis VI : untuk menerima kebenaran mutlak nash, model logika yang dipakai adalah reflektif probabilistik dengan terapan tematik.

AKSIOLOGI

Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai pada umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Salah satu hasil dari penelitian kefilsafatan tentang nilai ialah pembedaan antara yang bernilai dan yang diberi nilai, antara nilai intrinsik dan instrumental, antara keharusan dan kenyataan. Menurut LO Kattsoff hakikat nilai antara lain :
a Nilai sebagai kualitas empiris dan tidak dapat didefinisikan.
a Nilai sebagai objek suatu kepentingan
a Nilai sebagai hasil pemberian
a Nilai sebagai esensi
Jadi pada dasarnya AKSIOLOGI itu mempelajari tentang kebernilaian sesuatu. Maka dalam konsep islam kebernilaian sesuatu itu dikaitkan dengan Islam. Jadi sesuatu itu akan bernilai jika dikembalikan pada inti ajarannya yaitu SYAHADAT.
Jika kebernilaian sesuatu dalam Islam dipersyaratkan sebagai MUSLIM maka pada dasarnya ia telah berdiri di atas SYAHADAT sebagai persaksian sekaligus perwujudan. Kematian janganlah hanya untuk kematian saja karena akan tidak berarti sama sekali. Kematian adalah untuk SYAHADAT sebagai bukti persaksian dan perwujudannya.

FILSAFAT MANUSIA

Pendidikan adalah tindakan khusus yang hanya dapat dilakukan oleh manusia langsung maupun tidak langsung. Bahkan hanya manusialah yang mampu mencerna secara sempurna pendidikan dari Tuhan melalui kemampuan intuitifnya. Jadi dalam pendidikanlah manusia mempunyai keunggulan komparatif dibandingkan dengan makhluk Tuhan yang lain. Keunggulan komparatif ini pula yang menyebabkan manusia diberi kedudukan yang sangat tinggi di mata Tuhan sebagai khalifah. Mengikuti pendapat Naquib Al Attas, tarbiyah berasal dari akar kata rab yang artinya mendidik. Jadi wajarlah jika manusia mendapat perhatian istimewa karena ternyata ia memang memilki “kemampuan ketuhanan”. Maka pembahasan tentang pendidikan adalah pembahasan tentang manusia.
Persoalan manusia adalah persoalan abadi. Kehadirannya dalam percaturan dunia setua manusia itu sendiri. Manusia sebagai diri adalah pengada bertanya. Ia bertanya pada diri sendiri siapakah ia. Pertanyaan itu bukanlah soal biasa yang dapat dengan mudah dipuaskan hanya dengan satu jawaban. Manusia selalu harus diperlakukan sebagai tujuan dan nilai yang berharga dalam dan untuk dirinya sendiri.
Jawaban atas pertanyaan apa, siapa, bagaimana, mengapa, untuk apa manusia ada selalu menghiasi sejarah perkembangan ilmu pengetahuan. Sokrates mulai memberi jawaban sebagai pengantar filsafat manusia gnoti seauton, kenalilah dirimu. Jawaban Sokrates menuntut berbagai konsekuensi. Meskipun ia tidak perlu mengenal dan mengerti segala hal, setidaknya ia harus mengenal serta mengenal dirinya sendiri secara cukup mendalam untuk dapat mengatur sikapnya dalam hidup. Tetapi untuk dapat mengatur diri, untuk dapat membedakan apa yang baik atau buruk baginya, ia harus sudah memperoleh pandangan yang cukup tepat tentang apakah hakikat sifat manusia itu, kemampuan apa yang dimiliki oleh sifat manusiawi itu dan apa yang dicita-citakannya, apa yang benar-benar dapat mengembangkan serta menyempurnakannya. Sebab semua orang yakin, atau setidak-tidaknya mempunyai rasa, bahwa pribadinya merupakan suatu hal yang berharga, yang perlu dikembangkan dan dilaksanakanan (Leahy, 1989 : 2).
Akhirnya apakah sebenarnya manusia itu, apakah yang memang khas bagi sifat manusiawi, apakah yang membuat manusia itu berkedudukan di atas makhluk-makhluk lainnya, dan apakah yang membentuk harga dirinya. Inilah sebenarnya eternal question itu.
Untuk memulai menyusun suatu pandangan kefilsafatan tentang manusia perlu disadari tentang adanya keberatan-keberatan yang dihadapi. Kenyataan yang dihadapi adalah manusia tidak dapat dipahami sebagai apa dirinya terlepas dari konteks kesejarahannya. Adalah benar bahwa ilmu-ilmu pengetahuan dan seni serta sastra telah banyak mengajar kita mengenai aspek-aspek manusia yang berbeda-beda, pelbagai tahap dalam pertumbuhan serta evolusinya. Filsafat berdiri di tempat yang berbeda dari semua ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Posisi beda inilah awal dari semua kesulitan filsafat manusia. Bagi Sastraprateja manusia adalah makhluk yang histories. Hakekat manusia sendiri adalah suatu sejarah, suatu peristiwa dan bukan semata-mata suatu datum. Apa yang diperoleh dari pengamatan atas pengalaman manusia adalah rangkaian anthropological constants yang terdiri dari (a) relasi manusia dengan kejasmanian, alam dan lingkungan ekologis; (b) keterlibatan dengan sesama; (c) keterikatan dengan struktur social dan institusional; (d) keteergantungan masyarakat dan kebudayaan pada waktu dan tempat; (e) hubungan timbal balik antara teori dan praksis; (f) kesadaran religius atau para-religius (Sastraprateja, 1983 : ix). Pembatasan ini dapat dipakai untuk menyusun suatu kerangka konseptual tentang filsafat manusia.
Dari uraian terdahulu dapat disimpulkan bahwa manusia disebut makhluk metafisik. Maksudnya, manusia adalah makhluk yang mampu berpikir, bernalar. Manusia tidak saja mampu memikirkan dan memahami apa yang dilihatnya secara empiris dan yang bersifat relatif, tetapi juga, dan lebih dari itu, ia mampu mengatasi semua itu. Manusia dengan kata lain mampu melihat sesuatu yang mutlak di balik suatu benda. Ide mengenai yang ada, mengenai yang mutlak dan sang realitas merupakan pusat dan dasar semua metafisika. Berdasar kenyataan ini manusia dapat dikatakan dari hakikatnya, metafisik. Ia dalam pengetahuan dan seluruh eksistensinya melebihi kodrat : Homo additus naturae (Bagus, 1991 :5).
Tesis homo additus naturae sebenarnya dapat dijadikan sebagai penyimpul seluruh tesis tentang manusia. Para filosof memberikan jawaban berupa tesis-tesis yang kadang tampak berlawanan. Bagi Plato dan Plotinos, manusia adalah makhluk ilahi. Bagi Epikuros dan Lukretius, manusia adalah suatu makhluk yang berumur pendek, lahir karena kebetulan dan tak berisi apa-apa. Tesis-tesis ini bagi para filosof pembuatnya bukan hanya tesis kosong tanpa isi. Mereka bertindak sesuai dengan tesis yang mereka buat sampai batasan tertentu.
Tesis tentang manusia tidak hanya monopoli para filosof Yunani dan filsof Barat lain. Di belahan Timur bahkan mendapat porsi lebih besar. Manusia dianggap sebagai mikrokosmos yang mewadahi alam besar makrokosmos. Sebagai mikrokosmos manusia dipandang pusat aktivitas alam semesta yang sampai batas tertentu bercorak antroposentris. Jadi sebagai diri wujud, manusia adalah mikrokosmos tapi realitas yang mampu dijabarkannya adalah realitas makrokosmos. Situasi ganda ini menempatkan ia pribadi unik.
Kenyataan menunjukkan bahwa di dalam diri manusia terdapat kesatuan (unitas) dan sekaligus keberagaman (kompleksitas) yang tidak mungkin disangkal kebenarannya. Unitas dan kompleksitas jatidiri manusia inilah yang memberikan kekayaan kepada manusia, tetapi sekaligus menyebabkan kesulitan untuk memahaminya secara tepat apa dan siapakah aku, apa dan siapakah jatidiriku. Unitas dan kompleksitas jatidiri inilah yang menyebabkan timbulnya bermacam-macam pendapat mengenai jatidiri manusia (Hadi, 2000 : 26).
Bagi F. Schuon (1997 : 85) manusia pertama-tama dicirikan oleh sebuah inteligensi sentral atau total. Kedua ia (manusia) ditandai oleh kehendak bebas bukan sekedar insting. Ketiga, dicirikan oleh kemampuan mengasihi dan ketulusan bukan sekedar refleks-refleks egoistis. Di sini Schuon menempatkan inteligensi sebagai yang utama meskipun makna inteligensi menurutnya berbeda dari makna yang umum dipakai oleh ahli-ahli lain. Inteligensi bagi Schuon adalah persepsi tentang yang nyata, dan a fortiori persepsi tentang yang Nyata itu sendiri. Ia, ipso facto, sesuai kenyataannya, adalah pembeda antara yang Nyata dan yang tidak nyata – atau yang kurang nyata (Ibid., 3).
Beberapa persoalan di seputar pandangan filsafat manusia di atas sebenarnya hanyalah gambaran bagaimana susahnya membahas manusia dan pendidikan. Untuk memudahkan penelusuran jawaban yang diperlukan di sini adalah sikap memihak dari berbagai macam pandangan yang dilakukan secara kritis. Pemihakan di sini bukan berarti prejudice bagi yang lain tapi lebih sebagai pembatasan masalah.
Filsafat secara umum menganggap manusia (The Liang Gie, 1998: 31-32) sebagai sebuah tingkatan ke-manusia-an dimana manusia tersususn sebagai sebuah sistem yang menyerupai karakter pendahulunya, yaitu tingkatan hewani. Manusia mempunyai mobilitas yang lebih tinggi, kebiasaan teologis, kesadaran diri, membangun informasi dalam sebuah imaji dan pandangan menyeluruh dari lingkungan. Pada sisi lain tingkatan “human” adalah satu karakter unik yang ditandai dengan kesadaran diri. Manusia tidak hanya tahu, tetapi dia tahu bahwa dia tahu. Manusia tidak hanya merasa bahagia dan sedih tapi sadar bahwa dia bahagia dan sedih. Unisitas manusia yang lain adalah lompatannya dalam penggunaan bahasa dan simbol. Manusia berbeda dari semua sistem kehidupan lain dalam hal kemampuannya memproduksi, menyerap dan menafsirkan simbol. Imajinya tentang lingkungan juga lebih menyeluruh dan kompleks terutama tentang waktu, relasi dan bahkan tentang kematian.
Pandangan umum filsafat sebagaimana terwakili pendapat di muka menempatkan manusia sebagai tingkatan yang mempunyai kemungkinan tak terbatas dalam keterbatasannya sebagai manusia. Lebarnya kemungkinan manusia menjadikannya pribadi mandiri makhluk Tuhan. Inilah kedudukan kodrat manusia (Damardjati, 1993: 8). Pengakuan ini penting karena seberapun kemampuan manusia ia tidak bisa menolak akan keberadaan “sang ada” apapun itu kemudian disebut. Kearifan sikap pada dasarnya tidak akan mengurangi apapun pada predikat “human” yang disandangnya.
Pada sisi lain eksistensi manusia tidak hanya berada dalam ruang – waktu tapi juga dalam sejarah. Bagi Hegel, sejarah adalah sejarah kesadaran. Pikiran baik dalam arti subjek berpikir maupun objek yang dipikirkan pada dasarnya adalah sesuatu yang bukan bendanya. Dalam diri subjek pikiran adalah kata kerja – berpikir. Aktifitas berpikir tidak terletak dalam otak (cerebrum) tetapi dalam kesadaran diri subjek berpikir. Letak kesadaran (manusia) tidak berada dalam otaknya tetapi dalam seluruh totalitas dirinya. Otak dalam dirinya sendiri bersifat pasif dan netral. Ia hanyalah fasilitator yang lugu dan intensionalitas kesadaran (diri) lah sebenarnya penyebab otak bekerja. Hukum-hukum logis diterima begitu saja secara niscaya oleh otak sebagai sesuatu yang harus diterima sebagai benar. Mengapa demikian ? Otak sebagai mesin hanya dapat bekerja jika telah ada kesepakatan-kesepakatan kesadaran diri diantara manusia menetapkan sesuatu sebagai begitu saja benar. Penerimaan sebagai ada - benar ini oleh kesadaran diri terjadi secara intuitif, tak terkatakan.
Secara umum kesadaran ini berisi kegiatan sadar dan isi. Kesadaran akan isi atau objeknya akan membawa kesadaran langsung; sementara kesadaran akan kegiatan sadar membawa kesadaran tak langsung yang bersifat refleksif (J.Sudarminta, 2002 :62). Bahkan kesadaran akan sesuatu selalu bersifat intensional. Artinya, kesadaran selalu mengarahkan diri pada objeknya baik benda fisik, gagasan atau yang lain. Jadi kesadaran tidak pernah tanpa keterarahan pada objek tertentu. Kehidupan manusia akhirnya adalah kehidupan yang bertujuan. Tujuan dalam kehidupan manusia adalah sesuatu yang dibentuk, direncanakan dan diusahakan oleh dirinya sendiri. Agama meskipun memberi panduan bagi manusia untuk membentuk tujuan hidupnya tetaplah berada di luar kehidupan manusia itu sendiri tetapi dalam jangkauan kesadarannya. Agama dengan demikian berada dalam wilayah kesadaran manusia.
Dari upaya peneguhan teoritik sebagaimana uraian terdahulu muncul pertanyaan sederhana, apakah manusia dalam usia dini juga masuk dalam cakupan teoritis tersebut. Jawaban atas pertanyaan sederhana ini tidak sesederhana pertanyaannya. Secara umum cakupan teori tersebut berlaku umum pada makhluk yang bernama manusia, tetapi pada dataran praktis banyak hal yang harus diberi penjelasan tambahan.
Hal kedua yang harus menjadi fokus adalah pendidikan. Pendidikan khususnya pendidikan Islam harus dirumuskan terlebih dahulu untuk menerapkan seperangkat teori tentang filsafat manusia tersebut. Di sini dipakai istilah filsafat manusia bukan berarti kajian ini menjadi kajian filsafat manusia tapi lebih tepat kajian filsafat tentang manusia dalam pendidikan.Pendidikan Islam sebagai sebuah konsep mempunyai dua wilayah yaitu wilayah teoritis dan wilayah praktis. Wilayah teoritis mencakup bidang-bidang keilmuan yaitu Ilmu Pendidikan Islam dan Filsafat Pendidikan Islam. Ilmu Pendidikan Islam membicarakan konsep-konsep teoritis tentang pendidikan. Konsep-konsep teoritis tersebut mencakup pengertian pendidikan Islam, fungsi pendidikan Islam, dasar dan tujuan pendidikan Islam, isi pendidikan Islam, tanggung jawab pendidikan Islam, pendidikan Islam sebagai sebuah sistem dan kedudukan manusia dalam pendidikan Islam. Konsep-konsep tersebut dijabarkan secara teoritis dan faktor-faktor yang melingkupinya. Filsafat sebagai sebuah metode berfikir sistematis, kritis, universal tentang yang ada memberikan ruang cukup luas bagi penemuan hakekat pendidikan Islam. Filsafat pendidikan Islam dengan demikian adalah penerapan metode kefilsafatan pada umumnya untuk mengkaji pendidikan Islam sebagai sebuah objek kajian. Kerangka pemikiran dan pendekatan metodik (obyek formal) tersebut menunjukkan bahwa filsafat adalah kerangka analisis yang penting karena hasilnya akan menentukan bagaimana pengelolaan dan sistematisasi kegiatan kependidikan Islam. Secara teknis filsafat pendidikan Islam adalah suatu analisis yang bersifat rasional dengan pendekatan kritis, radikal yang dilakukan secara sistematis dan metodologis untuk memperoleh pengetahuan mengenai hakikat pendidikan Islam. Hasil yang didapat melalui proses filsafat tersebut menjadi bahan untuk merumuskan teori dan konsep yang terdapat dalam ilmu pendidikan Islam. Sedang hasil dari telaah filsafat pendidikan Islam dan teoritisasi ilmu pendidikan Islam inilah yang membentuk bangunan pendidikan Islam secara praktis.
Untuk dapat merumuskan pendidikan Islam dengan baik perlu dijelaskan apa yang dimaksud pendidikan Islam itu. Pendidikan Islam dapat dipahami dalam dua pengertian yaitu pendidikan yang diselenggarakan oleh orang Islam dan pendidikan yang berlandaskan Islam. Konsekuensi dari dua pengertian tersebut adalah segala bentuk pendidikan yang diselenggarakan oleh orang Islam dapat disebut sebagai pendidikan Islam. Pengertian yang pertama ini menafikan cara (metode), isi pendidikan, tujuan dan ruang lingkup pendidikannya apakah sesuai dengan ajaran Islam. Pengertian kedua mempunyai konsekuensi siapapun yang melaksanakan suatu bentuk pendidikan asal berlandaskan ajaran Islam disebut pendidikan Islam. Islamologi dan Islamic Studies termasuk dalam cakupan pengertian kedua meskipun penyelenggaranya bukan orang Islam.
Pendidikan Islam dalam arti pertama mengandung banyak kelemahan. Secara substansial terdapat perbedaan yang menonjol antara pendidikan umum dengan pendidikan Islam. Perbedaan tersebut terdapat dalam konsep metafisika, epistemologi dan aksiologi.
Dalam menyelenggarakan pendidikan diperlukan pendirian mengenai pandangan dunia yang bagaimanakah yang diperlukan. Inilah yang dimaksud kajian metafisika (Barnadib, 1994 : 21). Pandangan metafisika akan membentuk jiwa pendidikan. Dalam pendidikan umum pandangan metafisika sebanyak aliran dalam filsafat pendidikan. Metafisika dalam pendidikan membentuk tujuan pendidikan. Pandangan metafisika ini pada akhirnya akan membentuk epistemologi.
Masalah epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan (Kattsoff, 1996: 135). Epistemologi diperlukan antara lain dalam hubungan dengan penyusunan dasar-dasar kurikulum. Kurikulum diartikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan pendidikan. Bangunan epistemologi yang dibuat haruslah sesuai dengan pandangan dunia yang menjadi tujuan pendidikan. Jadi aliran dalam epistemologi sebanyak aliran yang terdapat dalam metafisika.
Aksiologi didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari cara-cara yang berbeda dalam mana sesuatu dapat baik atau buruk, yaitu mempunyai akibat positif atau negatif dan hubungan nilai menilai di suatu pihak dan dengan fakta-fakta eksistensi objektif di pihak lain (Fatimah, 1992: 56). Aksiologi sebagai cabang filsafat yang mempelajari nilai-nilai dekat pula dengan ilmu pendidikan, karena dunia nilai menjadi dasar pendidikan pula dan karenanya selalu dipertimbangkan dalam penentuan tujuan-tujuan pendidikan. Pandangan aksiologi dipengaruhi oleh pandangan metafisika dan epistemologi namun pada akhirnya mempengaruhi pandangan metafisika dan epistemologi. Perumusan tujuan tanpa memperhatikan prinsip-prinsip dari dunia nilai adalah hampa. Pendidikan sebagai fenomena kehidupan sosial, kultural dan keagamaan tidak dapat dari sistem nilai.
Tiga pilar yang menyangga bangunan pendidikan tersebut akan sangat menentukan wajah pendidikan. Dalam sistem pendidikan umum tiga pilar tersebut sangat dipengaruhi pandangan dunia barat yang dominan yaitu empirisme dalam berbagai wajah. Jiwa empirisme yang membatasi hanya pada kajian pengalaman fisik, rasional dan ideal akan membentuk struktur kesadaran pada dataran material.
Jadi pendidikan yang didasarkan pada norma-norma demikian akan sangat berbeda dengan pendidikan yang didasarkan pada ajaran-ajaran Islam. Perbedaan tersebut memunculkan pengaruh yang berbeda dalam kehidupan sosiokultural.
Pandangan Islam tentang metafisika adalah substansi kebenaran mengandung pengertian bukan sekedar kebenaran obyektif yang memerlukan upaya mencari tahu (Muhadjir, 1994: 5). Asumsi dasar yang dipakai adalah mengakui keteraturan alam semesta. Keteraturan tersebut adalah ciptaan Allah.
Dalam bidang epistemologi Islam memandang bahwa wahyu adalah kebenaran mutlak. Kebenaran ilmu yang dapat dicapai relatif. Pandangan ini sangat berbeda dengan telaahan epistemologi pada umumnya.
Aksiologi Islam menempatkan ilmu adalah instrumen bagi peran ketuhanan. Pemahaman mengenai struktur transendental ilmu menjadikan ilmu sarat nilai. Nilai tersebut adalah nilai-nilai ketuhanan.
Pendidikan Islam dibangun diatas ketiga pilar tersebut sehingga mempunyai bentuk yang berbeda dari sistem pendidikan lain. Jadi pendidikan Islam adalah pendidikan yang mendasarkan pandangan metafisika, epistemologi dan aksiologinya pada norma norma Islam.

FILSAFAT MEMBACA MANUSIA

Apa yang sebenarnya dicari oleh filsafat adalah kearifan. Kearifan itu telah mulai dicari sejak 25 (dua puluh lima) abad yang lalu. Socrates tidak memberi jawaban sebagaimana para filsuf sesudahnya. Sebuah kisah pencarian yang penting adalah ilustrasi seorang filsuf yang lagi termenung dan tiba-tiba wajahnya berubah-ubah. Ia berseru aku tahu-aku tahu apa yang aku cari. Kearifan itu adalah manusia maka aku akan mencari manusia. Dengan obor di tangan sang filsuf berlari-lari sambil berujar di mana manusia, di mana manusia, aku mencari manusia. Socrates 25 abad yang lalu tidak menjawab hanya tersenyum sambil berujar gnoti seauton ! Socrates mengajarkan kearifan bukan mendiskusikan kearifan. Apa yang dilakukan oleh Socrates tersebut telah menyadarkan berpuluh-puluh filsuf untuk arif pada dirinya sendiri. Kearifan-kearifan pada diri itulah yang melahirkan tesis-tesis tentang manusia. Manusia ternyata adalah unfinished reality.
Manusia bukan hanya homo erectus, makhluk yang dapat tegak berdiri atas kedua kakinya. Tubuhnya yang tegak pada dasarnya mewartakan bahasa batin. Keunikan ini hanya dimiliki oleh manusia sebagai homo erectus. Simbol ketegakan tubuhnya sebenarnya adalah citra pribadi mandiri.
Di samping ia makhluk yang tegak beridiri ia juga makhluk yang suka membuat alat, homo mechanicus. Kegemaran membuat alat bukan sekedar permainan belaka tapi mempunyai tujuan bagi kehidupannya. Bagi Heidegger, dorongan ketakutan fundamental akan kematian menjadikan manusia terus bersibuk-sibuk menggarap teknik, bermain dengan permainan dan aturan-aturannya (rule of games), yang dilakukannya sepanjang hidup guna melupakan jati-dirinya sebagai ada-menuju-kematian (Siswanto, 1998 : 126). Dalam pandangan Heidegger sebagai homo mechanicus manusia menemukan ruang ekspresi yang cukup untuk berkarya mencipta alat karena kedhaifannya di hadapan kematian yang pasti, karena kematian adalah ada dan milikku sendiri. Kreativitas mencipta manusia pada dasarnya karena ia inferior di hadapan kuasa kematian.
Homo mechanicus ada bersama homo ludens, makhluk bermain. Perbedaan utama antara keduanya terletak pada keluasan cakupannya. Pada tingkatan mekanik, kegiatan mencipta alat oleh manusia terbatas pada citra fisiknya maka ia lebih dekat dengan homo erectus. Tingkatan manusia sebagai homo ludens mencakup wilayah-wilayah yang lebih abstrak. Hakikat permainan bagi manusia adalah kebebasan (Huizinga, 1990: 11). Permainan berbeda dengan “yang sungguhan”. Unsur pembeda antara “permainan” dan “yang sungguhan” terletak pada kesadaran dan tujuan yang menyertainya. Perminan dalam bentuk apapun dibuat dengan tujuan bermain itu sendiri bukan sesuatu di luarnya, walaupun di dalamnya terdapat unsur kesungguhan. Permainan muncul dalam keadaan sukarela. Sifat sukarela ini disadari oleh mereka yang ikut dalam permainan tersebut sehingga tercipta suatu rule of games. Sifat bermain ini bahkan terus dipupuk oleh manusia sampai ia dewasa.
Gabungan ketiga tesis tentang manusia sebagai homo erectus, homo mechanicus dan homo ludens akan membentuk kualitas baru yaitu homo faber, manusia tukang. Kemampuan manusia sebagai tukang meliputi kecakapan ketiganya. Artinya manusia adalah makhluk yang mampu berdiri sendiri sekaligus ia juga sebagai “tukang” pembuat alat dan “tukang” bermain. Homo faber menempatkan manusia sebagai ahli yang berbeda dengan makhluk lain. Ia di samping ahli mekanik juga ahli dalam konstruksi abstrak.
Gagasan lain tentang manusia adalah homo sapiens, makhluk bijaksana. Kebijaksanaan manusia dalam konsep homo sapiens terletak dalam kemampuannya sebagai animal rationale dan animal symbolicum. Sebagai animal rationale manusia adalah makhluk bijaksana yang mempunyai rasio tinggi sebagai alat pengenalan atas realitas. Realitas bagi manusia ditangkap sebagai simbol-simbol bahasa. Di sini bahasa memegang peranan vital dalam kehidupan manusia karena ia berperan sebagai pengungkap simbol-simbol. Kemampuan mengenal dan membuat simbol pada manusia tak terbatas dan terus berkembang. Jadi kebijaksanaan manusia adalah akibat anugerah rasional dan simbolik yang diterimanya.
Tesis lain tentang manusia adalah homo recentis¸ makhluk yang peka menerima sesuatu. Kepekaan pada manusia tidak sama dengan kepekaan instinktif pada hewan dan tumbuhan. Kepekaan pada hewan sangat terbatas dan tidak pernah berubah atau berkembang. Pada diri manusia kepekaan menjadi tidak terbatas sesuai dengan kehendak untuk mengembangkannya. Munculnya satu kepekaan pada manusia tidak secara otomatis menghilangkan kepekaan yang telah dimiliki se belumnya. Kepekaan ini bahkan dapat dilatih, dimunculkan, dibuat varian dan dihilangkan sesuai dengan kebutuhannya. Daya jangkau kepekaan yang dimiliki manusia tidak hanya dalam kawasan-kawasan empirik tetapi juga meta empirik.
Manusia di samping memiliki kepekaan juga memiliki hasrat bertualang. Homo volens, makhluk bertualang atau pencari adalah salah satu karakter khas manusia. Sebagai makhluk petualang sekaligus pencari, manusia mencari sesuatu tidak hanya berdasar kebutuhan sesaat atau atas dasar instink yang dimilikinya. Di sini pencarian tertinggi manusia adalah kebenaran. Jadi manusia adalah makhluk pencari kebenaran. Akhirnya kedua tesis ini, homo recentis, homo volens, menyatu menjadi homo mensura, makhluk penilai.
Manusia sebagai homo mensura adalah makhluk penilai yang mempunyai pertimbangan-pertimbangan. Pertimbangan pada manusia selalu berada dalam wilayah kesadarannya. Tindakan menilai pada manusia pada dasarnya menunjukkan hakikat kemanusiaannya, karena hanya manusialah yang mempunyai kemampuan menilai. Homo faber dan homo mensura menyatu menjadi homo educandum (Supadjar, 1993: 84).
Homo educandum menempatkan manusia lebih tinggi dari makhluk yang lain. Pada manusia pemenuhan diri hanya akan optimal melalui kegiatan pendidikan. Tindakan pendidikan merangkum sebagian besar potensialitas manusia pada susunan kodratnya.
Sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu sosial muncul dalam tesis-tesis homo economicus dan homo socius. Tesis homo economicus menempatkan manusia sebagai individu yang senang bertransaksi untuk memenuhi kebutuhan pribadinya. Kegiatan memenuhi kebutuhan pribadi merupakan sifat kodrati manusia yang mementingkan diri sehingga menimbulkan persaingan antarpribadi. Persaingan ini muncul karena di antara manusia masing-masing kebutuhannya ingin terpenuhi.
Di samping keinginan untuk memenuhi segala kebutuhannya manusia juga membutuhkan sosialisasi dengan yang lain. Sosialisasi ini pada dasarnya adalah upaya aktualisasi diri di tengah-tengah pribadi-pribadi lain. Pengakuan orang lain menjadi tujuan dari tindakan sosial ini. Hal itu penting karena tingkat pengakuan orang lain akan menjamin eksistensinya sehingga tingkat penerimaan menjadi tolok ukur bagi keberhasilan sosialisasinya.
Di samping sifat kodratnya, manusia mempunyai kedudukan kodrat sebagai homo religiosus dan homo viator. Homo religiosus menempatkan kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan. Bagi Mircea Eliade, Homo religiosus adalah tipe manusia yang hidup dalam suatu alam yang sakral, penuh dengan nilai-nilai religius dan dapat menikmati sakralitas yang ada dan tampak pada alam semesta, alam materi, alam tumbuh-tumbuhan, alam binatang dan manusia (Mangunhardjono, 1983: 38). Kesadaran akan kedudukan kodratnya sebagai makhluk Tuhan ini pada akhirnya akan menjadikan dirinya sebagai pribadi mandiri, homo viator. Manusia sebagai pribadi mandiri menjadi pusat dari tata kosmis. Ini tidak berarti bahwa setiap manusia dapat mencapai keutuhan pemenuhan diri tersebut karena sifat bebasnya akan memberinya pilihan. Tesis homo religiosus dan homo viator menyatu menjadi homo concors, yaitu makhluk yang siap untuk transformasi diri dan adaptif. Pada capaian tertinggi sebagai homo concors manusia telah menjadi pribadi paripurna yang kebaikannya mengatasi seluruh alam semesta.
ANCANGAN MODEL PENDIDIKAN
Pembacaan filsafat atas manusia telah memberi secara komprehensip pengenalan akan siapa sebenarnya manusia itu. Pendidikan seharusnya dibangun di atas fondasi filsafat, khususnya filsafat manusia. Sebagai makhluk hidup, manusia mempunyai potensi-potensi yang dapat berkembang dan dikembangkan. Upaya pengembangan potensi-potensi ini dilakukan secara sadar dan berlangsung terus menerus seumur hidup. Inilah yang sering disebut pendidikan.
Sebagai individu manusia mempunyai kekhasan dari lainnya sehingga tidak ada manusia yang sama di dunia ini (Wirawan, 1976: 26). Perbedaan-perbedaan individual ini secara otomatis berpengaruh pada pelaksanaan pendidikan. Perbedaan-perbedaan ini harus diketahui oleh seorang pendidik. Pengabaian pengetahuan tentang karakter manusiawi akan mengakibatkan gagalnya pendidikan yang diselenggarakan. Kegagalan dalam pendidikan berarti kegagalan upaya pembangunan kebudayaan dan masyarakat (Syariati, 1984: 62).
Dari uraian terdahulu dapat diketahui mengapa pendidikan Islam khususnya dan pendidikan pada umumnya di Indonesia mengalami kegagalan. Faktor utama penyebab kegagalan tersebut adalah tidak diterapkannya filsafat dalam merancang konsep pendidikan. Pendidikan cenderung hanya memberikan pengetahuan yang dianggap berguna bagi anak didik tanpa memandang bahwa mereka adalah manusia yang unik. Berdasar kenyataan-kenyataan tersebut maka menurut hemat penulis pembaharuan pendidikan harus dimulai dalam usia dini. Asumsi ini dibangun berdasar kenyataan bahwa penerapan konsep filsafat pada model pendidikan bagi anak-anak yang sudah berkembang tidak banyak berpengaruh kecuali aspek-aspek kognitif. Pembentukan sikap sebagai bentuk perubahan perilaku hanya mungkin dilakukan pada usia konsep, yaitu usia di mana anak lebih banyak menerima daripada menolak atas apa yang mereka dapatkan. Untuk itu hal-hal yang harus diajarkan adalah :
1.Berdiri
Pelajaran berdiri diajarkan kepada anak pada usia dini karena berdiri adalah dasar bagi gerak-gerak yang lain. Berdiri berarti mengakui dan sadar akan ke-diri-annya, tidak melebih-lebihkan diri, tetapi juga tidak menghinakan diri (Mangunwijaya, 1996: 54). Anak pada usia dini sudah harus diberi pengertian tentang mengapa ia harus berdiri. Dalam pandangan Islam berdiri dianggap sebagai simbol keteguhan (Q.S.18: 14), penghormatan (Q.S.11: 71), kekuatan (Q.S. 33: 33), kebaikan (Q.S.22: 36). Kata berdiri juga dilawankan dengan sebutan lemah (Q.S.4: 9).arti lain dari berdiri adalah menghidupkan, kehidupan (Q.S. 2: 43). Perintah shalat adalah dengan berdiri dan dilanjutkan dengan mendirikan. Bahkan berdiri diakui secara eksplisit sebagai sifat Tuhan. Susunan kodrat manusia sebagai homo erectus, haruslah disadari sebagai wujud eksistensinya dalam sorotan ilahiah. Berdiri akhirnya menjadi awal bagi munculnya kedirian dan kemandirian. Inilah awal bagi lahirnya kreatifitas.
2.Membuat alat
Pelajaran kedua yang harus diajarkan adalah berkarya dengan keterampilan fisiknya. Kreatifitas tidak mungkin muncul dengan pengajaran teoritik tetapi mengolah konsep dalam tindakan praktis. Manusia sebagai homo mechanicus selalu ingin mewujudkan angan-angannya dalam karya nyata. Di sini terjadi eksplorasi imajinasi menuju tindakan praktis (Q.S.42: 30). Perbuatan ini dapat dijadikan sebagai dasar bagi upaya perbaikan. Kegiatan membuat alat juga dapat menadi sarana bagai pemahaman anak tentang terjadinya kausalitas, yaitu hubungan sebab dengan akibat. Pemahaman akan adanya kausalitas akan memunculkan kesadaran akan tanggung jawab dari setiap perbuatannya kelak di kemudian hari.
3.Bermain
Pelajaran ketiga dalam pendidikan usia dini adalah bermain. Bermain adalah sarana bagi anak untuk mendeskripsikan dunia dalam bentuk yang menyenangkan. Dunia yang indah akan mudah diterima apa adanya. Prinsip kebebasan ekpresip dalam bermain menjadi sarana sangat penting bagi pembentukan nilai-nilai dasar kemanusiaan. Meskipun dunia bermain adalah dunia bebas tapi tidak sepenuhnya bebas karena ada aturan yang menjadi pembatasnya. Pemahaman atas prinsip ini akan menjadikan anak mempunyai toleransi yang tinggi terhadap yang lain, rasa tanggung jawab pada diri sendiri, kerjasama dan kesadaran bahwa permainan ada batasnya. Hal-hal lain yang dapat diajarkan lewat bermain adalah adanya tugas di luar permainan (Q.S. 29:64). Tugas di luar permainan sebenarnya adalah hal yang lebih penting untuk dikerjakan sehingga pengaturan waktu menjadi sangat penting untuk tidak jadi orang yang merugi (Q.S. 103: 1-3). Kesadaran menghargai waktu lewat bermain akan menjadikan anak terbiasa merencanakan tindakannya dengan benar sehingga dapat bertindak efektif dan efisien.
4.Berfikir
Ciri lain manusia adalah kemampuannya menjangkau hal-hal yang abstrak dengan pikirannya. Manusia sebagai homo faber mempunyai kemampuan membuat konstruksi tidak hanya yang empirik tetapi juga yang abstrak. Konstruksi abstrak dibentuk melalui kerja berfikir. Pembentukan pengertian melalui tiga momen penting, yaitu momen indera, momen rasional dan momen metafisik (Drijarkara, 1989 : 62). Pikiran menjangkau materi dengan membentuk konsep. Pada manusia pengenalan inderawi yang masih bersifat infra human sebenarnya adalah satu kesatuan proses ke tingkat human. Artinya hal-hal yang tampak sepenuhnya inderawi bagi manusia bukan lagi hanya ditangkap sebagai wujud materi tetapi plus konsep. Tahap paling awal perkembangan kognitif anak dimulai pada periode sensorimotor, yaitu periode anak usia 0 – 2 tahun (Suparno, 2001 : 26). Pada tahap ini kognisi dimulai dari ‘belum mempunyai gagasan menjadi mempunyai gagasan’ dan kausalitas dari ‘ belum mempunyai konsep menjadi sudah mempunyai konsep’. Pada tahap umur lebih tinggi proses ini tetap berlangsung namun dalam bentuk yang lebih kompleks. Pengamatan inderawi diarahkan untuk pembentukan konsep-konsep berfikir dari tingkat paling sederhana ke tingkat yang lebih rumit. Tahap awal ini sangat penting bagi keberhasilan pencapaian pada tahap berikutnya. Hasil pembentukan konsep ini akan melatih manusia mempunyai kepekaan (homo recentis) terhadap alam sekitarnya sehingga meningkatkan rasa ingin tahu (curiousity) yang merupakan modal penting bagi pencarian kebenaran. Manusia membutuhkan kekuatan mencari bagi kehidupannya kelak (homo volens). Proses ini hendaknya tidak hanya diarahkan pada pencapaian momen rasional tetapi sekaligus momen metafisik (Q.S. 30 : 8). Penyertaan dimensi metafisik akan melahirkan pengertian bahwa setiap perbuatan itu mengandung tujuan (Q.S. 3: 191).
5.Berbahasa
Bahasa adalah warisan manusia paling berharga dari satu generasi ke generasi berikutnya. Namun bahasa bukan warisan statis yang tidak berubah tetapi ia senantiasa berubah dan diperkaya. Proses pengayaan bahasa terjadi dari intensitas interaksi antara manusia dan budaya. Hal ini terjadi karena bahasa mempunyai dua fungsi utama, yaitu fungsi komunikasi dan fungsi ekspresi (Mustansyir, 1988 : 25). Sebagai sarana komunikasi perkembangan bahasa mengikuti percepatan budaya manusia. Fungsi ekspresif bahasa menempatkannya sebagai sarana pengungkapan diri paling fleksibel. Bahasa tidak membatasi dirinya hanya untuk ekspresi tertentu saja tetapi selalu terbuka sesuai situasi dan kondisi yang melingkupinya. Kondisi ini menyebabkan bahasa dianggap cerminan budaya. Semakin tinggi bahasa yang digunakan akan berarti semakin tinggi pula tingkat budayanya. Simbol memegang peranan sangat penting dalam komunikasi antarmanusia. Simbol dapat merangkum banyak ekspresi yang sifatnya multipolar.
Fungsi Pendidikan Islam
Untuk mendapat gambaran lebih jelas mengenai pendidikan maka yang perlu diketahui adalah fungsi pendidikan Islam. Dengan pengertian pendidikan seperti tersebut di muka maka fungsi mikro pendidikan Islam adalah memelihara dan mengembangkan potensi dan sumber daya insani yang ada pada subjek didik menuju terbentuknya manusia seutuhnya sesuai dengan norma Islam. Secara makro fungsi pendidikan Islam dapat ditinjau dari fenomena yang muncul dalam perkembangan peradaban manusia dengan asumsi bahwa peradaban manusia senantiasa tumbuh dan berkembang melalui pendidikan (Achmadi, 1992: 21). Secara teknis fungsi pendidikan Islam dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Mengembangkan wawasan subjek didik mengenai dirinya dan alam sekitarnya, sehingga dengannya akan timbul kreativitas;
2. Melestarikan nilai-nilai insani yang akan menuntun jalan kehidupannya sehingga keberadaannya baik secara individual maupun sosial lebih bermakna
3. Membuka pintu ilmu pengetahuan dan keterampilan yang sangat bermanfaat bagi keberlangsungan dan kemajuan hidup individual maupun sosial.
Dari ketiga fungsi tersebut dapat diketahui bahwa pendidikan mempunyai fungsi yang luas bagi kehidupan manusia. Fungsi-fungsi tersebut diterjemahkan dalam tujuan pendidikan Islam.
A. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam
1. Dasar Pendidikan Islam
Dasar pendidikan Islam identik dengan dasar ajaran Islam itu sendiri. Keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu Quran dan Hadis (Said, 1994: 37). Bagi Achmadi dari sumber dasar tersebut dapat dijabarkan dalam beberapa pokok yang fundamental yaitu:
A. Tauhid
Formulasi tauhid yang paling singkat tetapi tegas ialah kalimah thoyibah : “La ilaah illallah” yang berarti “Tidak ada tuhan selain Allah”. Kalimah Thoyibah tersebut merupakan kalimat penegas dan pembebas bagi manusia dari segala pengkultusan dan penyembahan , penindasan dan perbudakan sesama manusia dan menyadarkan bahwa ia mempunyai derajat yang sama dengan manusia lain. Senada dengan Achmadi menurut Ismail Raji Al Faruqi Tauhid harus menjadi sumbu utama pengetahuan yang memiliki tiga sumbu, yaitu , pertama, sumbu kesatuan pengetahuan; kedua, kesatuan hidup dan ketiga, kesatuan sejarah (Faruqi, 1984: xii).
B. Kemanusiaan
Yang dimaksud kemanusiaan adalah pengakuan akan hakekat dan martabat manusia. Yang membedakan antara seseorang dengan lainnya hanyalah ketaqwaannya. Jadi setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk memperoleh dan menyelenggarakan.
C. Kesatuan Umat Manusia
Alam ini sendiri merupakan orde moral Zat Yang Mutlak dan merupakan norma pokok dan ideal, tidak terbagi-bagi dan tidak dapat dilukiskan. Kebaikan setinggi-tingginya bagi manusia tercapai bila manusia dapat menyesuaikan diri secara harmonis dengan orde tersebut. Banyak sekali ayat Alquran yang menegaskan tentang persatuan dan kesatuan umat manusia. Pada dasarnya mereka semua memiliki tujuan hidup yang sama yakni mengabdi kepada Allah.
D. Keseimbangan
Prinsip keseimbangan dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari prinsip keesaan maupun prinsip persatuan dan kesatuan. Secara khusus prinsip keseimbangan itu terlihat pada penciptaan alam. Prinsip keseimbangan yang harus diperjuangkan dalam kehidupan, khususnya melalui pendidikan antara lain :
i. Keseimbangan antara kepentingan hidup dunia dan akhirat;
ii. Keseimbangan kebutuhan jasmani dan rohani
iii. Keseimbangan kepentingan indifidu dan sosial
iv. Keseimbangan antara ilmu dan amal
2. Tujuan Pendidikan Islam
Masalah tujuan pendidikan adalah masalah sentral dalam pendidikan. Tanpa perumusan yang jelas dari tujuan pendidikan, perbuatan mendidik itu bisa sesat, atau kabur tanpa arah. Karena itu perumusan secara tegas tujuan pendidikan menjadi inti dari seluruh perenungan teoritis pedagogis dan perenungan filsafi.
Masalah tujuan pendidikan adalah masalah norma. Masalah norma adalah masalah filsafat, khususnya filsafat tentang hakekat manusia, dan kedudukan manusia di tengah dunianya dengan segenap harapan-harapannya; baik harapan yang sekuler - das Sein maupun yang keakhiratan - Nachweltliches Sein (Kartono, 1991: 17).
Konsepsi pendidikan Islam, tidak hanya melihat bahwa pendidikan itu sebagai upaya “mencerdaskan” semata (pendidikan intelek, kecerdasan), melainkan sejalan dengan konsepsi Islam tentang manusia dan hakikat eksistensinya (Usa, 1991: 29). Jadi tujuan pendidikan Islam sejalan dengan missi Islam, yaitu mempertinggi nilai-nilai akhlak hingga mencapai tingkat akhlak al-karimah (Said: 38). Sistem pendidikan Islam dirancang agar dapat merangkum tujuan hidup manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, yang pada hakikatnya tunduk pada hakikat penciptaannya. Pertama, tujuan pendidikan Islam itu bersifat fitrah, yaitu membimbing perkembangan manusia sejalan dengan fitrah kejadiannya. Kedua, tujuan pendidikan Islam merentang dua dimensi, yaitu tujuan akhir bagi keselamatan hidup di dunia dan di akhirat. Ketiga, tujuan pendidikan Islam mengandung nilai-nilai yang bersifat universal yang tak terbatas oleh ruang lingkup geografis dan paham-paham (isme) tertentu. Sedang tujuan itu sendiri berfungsi, Pertama, mengakhiri usaha. Kedua, mengarahkan usaha. Ketiga, merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lain. Keempat,memberi nilai pada usaha (Marimba, 1986: 45).
B. Isi Pendidikan Islam
Untuk mencapai tujuan pendidikan Islam sebagaimana telah dibicarakan terdahulu, perlu adanya isi atau materi pendidikan yang disampaikan dan diinternalisasikan pada subjek didik melalui interaksi pendidikan. Materi akan selalu mengalami perubahan dari masa ke masa. Bahkan untuk setiap bangsa yang mempunyai tujuan pendidikan berbeda. Secara definitif kurikulum adalah :
1) Sejumlah pengalaman pendidikan, kebudayaan, sosial, olahraga dan kesenian yang disediakan oleh sekolah bagi murid-muridnya di dalam dan di luar sekolah dengan maksud menolongnya berkembang secara menyeluruh dalam segala segi dan mengubah tingkah laku mereka sesuai dengan tujuan-tujuan pendidikan.
2) Kurikulum adalah sejumlah kekuatan, faktor-faktor pada lingkungan pengajaran dan pendidikan yang disediakan oleh sekolah bagi murid-muridnya di dalam dan di luar sekolah, dan sejumlah pengalaman yang lahir dari interaksi dengan kekuatan-kekuatan dan faktor-faktor itu (Said :44).
Selanjutnya Jalaludin menjelaskan bahwa aspek-aspek yang terkandung dalam kurikulum adalah :
1) Tujuan pendidikan yang akan dicapai oleh kurikulum;
2) Pengetahuan (knowledge), ilmu-ilmu, data, aktivitas-aktivitas dan pengalaman-pengalaman yang menjadi sumber terbentuknya kurikulum;
3) Metode dan cara-cara mengajar dan bimbingan yang diikuti oleh murid-murid untuk mendorong mereka ke arah yang dikehendaki oleh tujuan yang dirancang;
4) Metode dan cara penilaian yang digunakan dalam mengukur hasil proses pendidikan yang dirancang dalam kurikulum.
Materi pendidikan akan mudah diterima oleh subjek didik apabila sesuai dengan fitrah manusia karena memberikan sesuatu yang hakekatnya memang dibutuhkan. Materi pendidikan yang bersifat demikian tidak lain ialah ilmu Allah yang dapat mengantarkan subjek didik ke tujuan yang tertinggi dan terakhir yaitu :
1) Ma’rifatullah dan ta’abud ilallah;
2) Mampu berperan sebagai khalifatullah fil ard;
3) Memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Selanjutnya pendidikan Islam mempunyai prinsip-prinsip :
1) Demokrasi dan kebebasan;
2) Pembentukan akhlakul karimah;
3) Sesuai kemampuan akal peserta didik;
4) Diversifikasi metode;
5) Pendidikan Kebebasan;
6) Orientasi individual;
7) Bakat keterampilan terpilih;
8) Proses belajar dan mencintai ilmu;
9) Kecakapan berbahasa dan dialog;
10) Pelayanan;
11) Sistem universitas dan rangsangan penelitian (Mulkhan, 1993 : 77).
Selanjutnya pendidikan Islam mengandung konsep agama (din), konsep manusia (insan), konsep ilmu (‘ilm dan ma’rifah), konsep kebijakan (hikmah), Konsep keadilan (‘adl), konsep amal dan konsep perguruan tinggi (Usa :9). Materi-materi tersebut diinternalisasikan dalam seluruh kurikulum pendidikan Islam. Tujuan yang hendak dicapai harus termuat dalam keseluruhan isi kurukulum pendidikan Islam.
C. Kedudukan pengetahuan dalam pendidikan Islam
Islam sebagai agama fitrah Islam menempatkan manusia dengan segala aspek hidupnya dalam posisi sentral. Salah keunikan makhluk ciptaan Tuhan pada diri manusia dibanding makhluk lain adalah akal dan pengetahuannya. Sejak diciptakan manusia sudah diberi ruh yang mengakibatkan seluruh potensi non jasmani menjadi aktual. Unisitas inilah yang dicemburui malaikat dan dimusuhi iblis. Juga dengan inilah manusia diberi amanah sebagai khalifah di muka bumi.
Masalah penting yang saling terkait dalam peningkatan kualitas hidup manusia adalah masalah pendidikan dan kebudayaan. Pengembangan dan pelestarian kebudayaan berlangsung dalam proses pendidikan yang membutuhkan perekayasaan pendidikan. Sementara pengembangan pendidikan juga membutuhkan suatu sistem kebudayaan seebagai akar dan pendukung bagi kelangsungan pendidikan. Pengembangan pendidikan membutuhkan stabilitas, sementara pengembangan kebudayaan membutuhkan kebebasan kreatif.
Hubungan ketergantungan pendidikan dan kebudayaan mengandung pengertian bahwa kualitas pendidikan akan menunjukkan kualitas budaya dan kualitas budaya akan menunjukkan kualitas pendidikan. Lahirnya kebudayaan merupakan konsekuen dari proses kreatif manusia dalam berilmu yang antara lain berbentuk penafsiran logis terhadap dirinya sendiri, lingkungan hidupnya dan bahkan Allah itu sendiri. Penafsiran kreatif tersebut kemudian membentuk suatu formulasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang kemudian mewujud dalam pola-cipta dan pola-kelakuan sebagai budaya.
Islam memperhatikan pentingnya iman sama dengan pentingnya ilmu pengetahuan (Q.S. 2: 255). Konsep pendidikan Islam tidak hanya melihat pendidikan itu sebagai upaya mencerdaskan semata (pendidikan intelek) melainkan sejalan dengan konsepsi Islam tentang manusia dan hakekat eksistensinya.
1) Sumber dan Metode Ilmu
Sumber dan metode ilmu menurut Naquib Al Attas adalah (Naquib, 1995 : 34) : adalah :
i. Indera-Indera Lahir dan Batin
Akal dan Intuisi
Otoritas
i. Indera-Indera Lahir dan Batin
Islam memandang bahwa ilmu datang dari Tuhan dan diperoleh melalui sejumlah saluran yaitu indera yang sehat, laporan yang benar yang disandarkan pada otoritas, akal yang sehat dan intuisi.
Indera yang sehat mengacu pada persepsi dan pengamatan, yang mencakup lima indera lahiriah. Kelima indera lahiriah itu adalah perasa tubuh, pencium, perasa lidah, penglihat dan pendengar, yang semuanya berfungsi untuk mempersepsi hal-hal partikular dalam dunia lahir.
Terkait dengan pancaindera lahir adalah lima indera batin yang secara batiniah mempersepsi citra-citra inderawi dan maknanya, menyatukan atau memisah-misahkannya, mencerap (mengkonsepsi) gagasan-gagasan, menyimpan hasil-hasil pencerapan dan melakukan inteleksi. Kelima indera batin ini adalah indera umum (common sense), representasi, estimasi, ingatan dan pengingatan kembali dan imajinasi. Dalam hal ini yang dipersepsi adalah “ rupa “ (form) dari objek lahiriah atau inderawi bukan realitas itu sendiri.
ii. Akal dan Intuisi
Kegiatan keilmuan merupakan pengertian pertama yang diwahyukan. Mengenai akal yang sehat tidak hanya terbatas pada unsur-unsur inderawi atau pada fakultas mental yang secara lodis menyistimatisasi dan menafsirkan fakta-fakta pengalaman inderawi , atau yang mengubah data pengalaman inderawi menjadi suatu citra akliah yang dapat dipahami setelah melalui proses abstraksi. Atau yang melaksanakan kerja abstraksi fakta-fakta dan data inderawi serta hubungan keduanya dan mengaturnya dalam suatu aturan yang menghasilkan hukum-hukum sehingga menjadikan alam tabi’i dapat dipahami. Akal adalah suatu substansi ruhaniah yang melekat dalam organ ruhaniah yang disebut kalbu. Kalbu merupakan tempat terjadinya intuisi.
Intuisi adalah pemahaman langsung akan kebenaran-kebenaran agama, realitas dan eksistensi Tuhan. Realitas eksistensi sebagai lawan esensi sesungguhnya dalam lebih tinggi adalah intuisi terhadap eksistensi itu sendiri.


iii. Otoritas
Otoritas terbagi menjadi dua yaitu, Pertama, otoritas yang terbentuk oleh kesepakatan bersama, termasuk di dalamnya sarjana, ilmuwan dan orang yang berilmu pada umumnya. Kedua, otoritas yang bersifat mutlak. Otoritas pada akhirnya didasarkan pada pengalaman intuitif, yaitu baik yang terkait dengan tatanan indera dan realitas inderawi maupun yang terdapat dalam realitas transendental. Tingkat otoritas tertinggi adalah Al-Quran dan Sunnah Nabi s.a.w. termasuk pribadi suci Rasulullah.
2) Proses Epistemologi
Keharusan memahami wahyu dengan akalnya, menjadikan akal sebagai medium bagi manusia untuk mengerti kehadiran tuhan yang menciptakannya. Institusionalisasi akal kemudian mendodrong berkembangnya ilmu dan selanjutnya berdasarkan ilmu yang diketemukannya manusia melakukan tindakan berpola dan lahirlah kebudayaan. Dengan demikian kebudayaan dan ilmu adalah cara manusia berhubungan dengan Allah, memahami, mengenal dan menaatinya.
Persoalan pendidikan Islam adalah persoalan ilmu dan kebudayaan. Namun perlu disadari jika pengembangan akal manusia melahirkan ilmu dan kemudayaan, maka setiap ilmu dan kebudayaanharuslah bersifat akaliah. Kebenaran ilmiah adalah nilai tertinggi yang dapat dicapai akal. Setiap bentuk pemikiran akaliah atau ilmiah hanya akan mencapai tingkat kebenaran ilmiah.
Watak kebenaran ilmiah adalah ketergantungan historis sehingga selalu terjadi perubahan atau bahkan revolusi hasil pemikiran akal. Masalah kebudayaan dan ilmu merupakan kunci penjelas berbagai kecenderungan kehidupan manusia dan masyarakatnya. Sebagai arah dari kehidupan manusia menurut Islam ialah al-akhirat, maka orientasi pengembangan ilmu dan kebudayaan haruslah sejalan dengan arah tindakan manusia itu sendiri.
D. Kedudukan manusia dalam pendidikan Islam
Pemikiran tentang hakekat manusia, sejak zaman dahulu kala sampai zaman modern sekarang ini belum juga berakhir dan tak akan berakhir. Ilmu yang menyelidiki dan memandang manusia dari segi fisik Antropologi Fisik, yang memandang dari sudut budaya Antropologi Budaya, dan yang memandang dari segi hakikat atau adanya disebut Antropologi Filsafat.
Berbicara tentang manusia ada 4 (empat) aliran, yaitu aliran serba zat, aliran seba ruh, aliran dualisme dan aliran eksistensialisme (Zuhairini, 1991: 71).
Aliran serba zat mengatakan bahwa yang sungguh-sunbgguh ada itu hanyalah zat atau materi. Zat atau materi itulah hakikat dari sesuatu. Alam adalah zat atau materi, dan manusia adalah unsur dari alam. Maka hakikat manusia adalah zat atau materi. Sebagai makhluk materi pertumbuhannya beerproses dari materi juga. Adapun apa yang disebut ruh atau jiwa, pikiran, perasaan (tanggapan, kemauan, kesadaran, ingatan,khayalan, asosiasi, penghayatan dan sebagainya) dari zat atau materi yaitu sel-sel tubuh.
Aliran serba roh berpendapat bahwa segala hakekat sesuatu yang ada di dunia adalah ruh. Hakikat manusia adalah ruh. Adapun zat itu adalah manifestasi dari ruh di atas dunia. Ruh adalah sesuatu yang tidak menempati ruang, sehingga tak dapat disentuh atau dilihat oleh pancaindera
Aliran dualisme menganggap bahwa manusia itu pada hakikatnya terdiri dari dua substansi yaitu jasmani dan rohani, badan dan ruh. Kedua substansi ini masing-masing merupakan unsur asal yang adanya tidak tergantung satu sama lain. Jadi badan tidak berasal dari ruh dan sebaliknya ruh tidak berasal dari badan. Antara badan dan ruh terjalin hubungan bersifat kausal, sebab akibat. Artinya antara keduanya saling mempengaruhi.
Aliran eksistensialisme mencari inti hakikat manusia yaitu apa yang menguasai manusia secara menyeluruh. Aliran ini memandang manusia tidak dari sudut serba zat atau serba ruh atau dualisme dari aliran itu, tetapi memandangnya dari segi eksistensi manusia itu sendiri, yaitu cara beradanya manusia itu sendiri di dunia.
Aliran-aliran dalam filsafat tersebut sangat berpengaruh pada pengembangan model keilmuan karena pengembangan ilmu disesuaikan dengan kebutuhan manusia. Selanjutnya menurut Achmadi pada hakekatnya adalah makhluk pedagogik, yaitu makhluk yang dapat mendidik dan dididik (Achmadi, 1992: 28). Sehubungan dengan anggapan dasar tersebut di atas masalah-masalah esensial yang terkait dan perlu dibicarakan ialah fitrah manusia.
(a) Pengertian Fitrah
Fitrah berasal dari kata fatara yang sepadan dengan kata khalaqa yang artinya mencipta. Kata fatara dan khalaqa dalam Al-Quran menunjukkan pengertian mencipta sesuatu yang sebelumnya belum ada dan masih merupakan pola dasar yang perlu penyempurnaan. Penyempurnaannya kadang-kadang secara langsung dilakukan oleh Allah, tetapi kadang-kadang pengembangan dan penyempurnaannya diserahkanlebih lanjut kepada manusia.
Kata yang biasanya digunakan dalam Al-Quran untuk menunjukkan penyempurnaan pola dasar ciptaan Allah itu adalah ja’ala yang artinya menjadikan. Pengertian fitrah yang asal katanya sepadan dengan khalaqa berarti kejadian asal. Jika dikaitkan dengan kejadian manusia maka pengertiannya adalah kejadian asal atau pola dasar kejadian manusia. Jika dikaitkan dengan sifat-sifat manusia, maka pengertiannya adalah sifat asli yang secara kodrati ada pada manusia. Sedang pengertian kejadian yang berasal dari kata ja’ala adalah kejadian lanjut atau kelengkapan manusia untuk mengembangkan fitrahnya.
(b) Fitrah Manusia
Fitrah atau pola dasar kejadian manusia dengan sifat-sifat aslinya dapat dipahami dengan meninjau beberapa aspek, yaitu:
1. Hakekat wujud manusia
2. Tujuan penciptaannya
3. Sumber daya insani sebagai kelengkapan hidup manusia
4. Citra manusia dalam Islam
1. Hakekat Wujud Manusia
a) Manusia Makhluk Jasmani Rohani Yang Paling Mulia
Kemuliaan manusia dapat ditinjau dari segi jasmani dan rohani. Segi fisik berasal dari tanah yang dalam bentuk manusia dalam Al-Quran disebut basyar. Dari segi rohani setelah pembentukan fisik mendekati sempurna dalam bentuk janin Allah meniupkan ruh-Nya kepada manusia dan sejak itu benar-benar menjadi makhluk jasmani rohani yang mulia sehingga malaikat para malaikat pun diperintah oleh Allah agar tunduk kepada manusia.
b) Manusia Makhluk Yang Suci Sejak Lahir
Kesucian manusia dikaitkan dengan kata fitrah. Ditinjau dari segi bahasa hal ini sesungguhnya kurang tepat karena pengertian fitrah ialah asal kejadian atau pola dasar penciptaan. Makna kesucian tersebut , Pertama, ruh manusia berasal dari Zat Yang Maha Suci, karena itu sejak lahir sudah memiliki modal kesucian., Kedua, anak yang lahir tidak membawa dosa ,turunan menurut konsepsi Islam tidak seorang pun memikul dosa orang lain.
c) Manusia Makhluk Etik Religius
Sebagai rangkaian wujudnya yang suci sejak lahir, Tuhan senantiasa akan membimbing dengan agama fitrah, yakni agama yang sesuai dengan fitrah manusia agar sampai akhir hayatnya tetap suci. Manusia dicipta Allah dengan diberi naluri beragama, yaitu agama tauhid. Karena itu jika manusia tidak beragama tauhid dianggap tidak wajar wlau mungkin hal itu terjadi lantaran pengaruh lingkungan.
d) Manusia Makhluk Individu dan Sosial
Individu adalah seseorang yang belum diketahui predikatnya. Proses perkembangan individu itu disebut individualisasi, yaitu proses perkembangan seseorang dengan seluruh wujudnya sebagai orang yang meliputi semua fitrah dan sumber daya insaninya, termasuk tanggung jawabnya. Dengan perkembangan itu manusia menyadari hidupnya lepas dari kehidupan keseluruhan dimana ia ikut menjadi bagiannya. Ajaran Islam menjelaskan bahwa insan bukanlah kumpulan binatang yang tunduk kepada suatu bentuk acuan umum seperti makhluk lainnya, tetapi setiap insan merupakan satu alam yang tersendiri. Secara garis besar Al-Quran menjelaskan perbedaan masing-masing individu dengan menunjukkan adanya kelebihan yang satu dengan yang lain. Yang paling ditekankan dalam hal ini adalah adanya tanggung jawab individu baik terhadap Tuhan, terhadap lingkungan maupun terhadap dirinya sendiri. Islam memandang manusia sebagai makhluk individu dan masyarakat berdasar prinsip kesatuan dan persatuan umat. Sedang peranan individu dalam masyarakat menurut Islam terletak pada tanggung jawabnya dalam mencipta tatanan kehidupan yang sejahtera dalam naungan dan ampunan ilahi.
2. Tujuan Penciptaan
a) Tujuan utama pencptaan manusia adalah agar beribadah kepada Allah.
Pengertian ibadah meliputi segala amal perbuatan yang titik tolaknya ikhlas karena Allah, tujuannya keridlaan Allah, garis amalnya saleh. Tujuan utma ibadah adalah mendekatkan diri kepada Allah dan menyucikan diri.
b) Manusia dicipta untuk diperankan sebnagai Wakil Allah di muka bumi (khalifatullah fil-Ard)
Karena Allah Zat yang menguasai dan memelihara alam semesta, maka tugas utama manusia sebagai wakil Allah adalah menata ,memelihara ,melestarikan dan menggunakan alam sebaik-baiknya untuk kesejahteraan hidupnya. Jabatan sebagai khalifatullah merupakan anugerah sekaligus amanah. Oleh karena itu segala aktivitas yang berkaitan dengan kekhalifahan ini harus dipertanggungjawabkan kepada Allah.
c) Manusia dicipta untuk membentuk masyarakat.
Pembentukan masyarakat haruslah masyarakat yang saling mengenal, hormat menghormati dan tolong menolong antara satu dengan yang lain dalam rangka menunaikan tugas kekhalifahannya. Sebagai individu atau kelompok dalam suatu tatanan masyarakat masing-masing diberi kesempatan untuk meraih prestasi dalam menunaikan tanggung jawab kekhalifahan.


3. Sumber Daya Insani Sebagai Kelengkapan Hidup
Allah tidak membiarkan manusia hidup tanpa bekal yang memadai. Bekal tersebut adalah :
a) Kebebasan
Kebebasan yang dimaksud di sini adalah kebebasan berkehendak dan berbuat. Dengan kebebasan ini manusia memiliki dinamika, daya adaptasi terhadap lingkungan dan kreativitas hidupnya sehingga kehidupan manusia dan lingkungan hidupnya bervariasi. Kebebasan yang dimiliki menyebabkan manusia mampu memilih mana yang baik dan buruk, benar dan salah. Kemampuan memilih ini berkaitan dengan adanya dua kecenderungan baik dan buruk dalam diri manusia.
b) Hidayah Allah
Manusia tidak hanya diberi kebebasan untuk dapat menentukan pilihan yang tepat, tetapi juga diberi sarana yang berupa akal untuk pertimbangan. Akal dapat mempertimbangkan sesuatu setelah sesuatu itu direkam lewat indera pendengaran dan penglihatan. Karena pendengaran dan penglihatan hanya mampu menangkap sesuatu yang bersifat empirik, maka akal pun hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat empirik. Sedangkan hal-hal yang bersifat non empirik (gaib) diperlukan petunjuk khusus, yakni wahyu Allah berupa agama. Dengan berbagai kelemahan itu akal manusia yang semestinya dapat berbuat cermat, teliti dan penuh pertimbangan menjadi kacau dan tidak objektif lagi. Disinilah pentingnya hidayah agama untuk memberikan bimbingan dan pedoman hidup, termasuk dalam memelihara akal agar tetap sehat dan berfungsi sebagaimana mestinya.
4. Citra Manusia Dalam Islam
Berdasar uraian tentang fitrah manusia yang ditinjau dari hakekat wujudnya, tujuan penciptaannya dan sumber daya insaninya, citra manusia menurut pandangan Islam adalah :
(a) Islam berwawasan optimistik tentang manusia dan menolak sama sekali anggapan pesimistik. Wawasan optimistik ini timbul dari kenyataan bahwa hakekat wujud manusia sejak semula sudah memiliki kesempurnaan dengan membawa kemuliaan, kesucian, kecenderungan etik religius dan kapasitas individual serta kodrat sosial.
(b) Perjuangan hidup manusia bukan sekedar trial and error belaka tetapi sudah mempunyai arah dan tujuan hidup yang jelas. Untuk mencapainya manusia telah diberi pedoman serta kemampuan yakni akal dan agama.
(c) Manusia dikaruniai kebebasan berkehendak sekaligus bertanggungjawab atas penggunaannya baik terhadap dirinya sendiri, lingkungannya maupun terhadap Tuhan.
Uraian tersebut yang disebut paradigma pendidikan Islam. Secara teoritis paradigma tersebut belum baku karena disiplin ilmu pendidikan Islam belum menjadi ilmu yang diakui secara ilmiah sebagai ilmu mandiri. Hal ini dapat dimaklumi karena munculnya teori tentang pendidikan Islam relatif belum begitu lama dan perkembangannya tidak mendapat sambutan yang memadai. Sambutan yang memadai baru muncul pada dasawarsa terakhir. Sambutan tersebut dimulai dari banyaknya para ahli pendidikan, scientis, filsafat yang merasa perlu membuka wacana baru paradigma keilmuan yang didominasi epistemologi barat yang fragmentaris. Fragmentasi terjadi ketika epistemologi barat memisahkan antara ilmu dengan agama dan ideologi yang memisahkan ilmu dengan nilai (kemanusiaan).
Perkembangan pemikiran tentang manusia pada saat ini telah mencapai tahapan yang pada abad-abad lalu tidak tergambarkan. Penemuan tentang potensi manusia yang terdiri dari inteligensia, emosi dan spiritual telah membongkar pandangan lama tentang manusia. Bahkan konsepsi filsafat yang membumi puluhan abad lamanya. Manusia adalah makhluk multi dimensi, dimensi material dan dimensi spiritual. Dimensi material memuat aktifitas fisik manusia dalam suatu ruang dan waktu tertentu. Dimensi spiritual meliputi kesadaran manusia dalam kaitannya dengan makna aktifitas sehari-hari. Makna menjadi sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Makna mengarahkan tindakan manusia pada suatu nilai-nilai tertentu. Makna memberi arti tindakan manusia melampaui aktifitas fisiknya. Makna menjadi sesuatu yang sangat dicari dan didamba oleh makna. Demi pencapaian makna manusia sanggup mengorbankan sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya bahkan hidup itu sendiri.
Pencapaian makna telah mampu menciptakan puncak-puncak peradaban dalam sejarah kemanusiaan. Socrates telah mengawali tradisi keunikan sejarah pencapaian makna. Demi kebenaran yang diyakininya Socrates telah rela meminum racun yang dilakukan dengan sepenuh kesadarannya bukan karena ia secara emosional sedang terganggu. Galileo Galilei rela mengalami pembunuhan karakter eksistensial demi pembelaan kebenaran teori heliosentris Copernicus. Bruno bahkan rela mengalami pembakaran hidup-hidup demi keyakinan akan kebenaran pengetahuan yang ditemui di luar gereja. Mansur Al Hallaj rela dipenggal leher demi keyakinan penyatuannya pada al Haqq. Syeh Siti Jenar rela diasingkan dan dibunuh karakternya demi ajaran hulul nya. Goresan pena sepanjang sejarah ini telah melahirkan puncak-puncak kebudayaan. Kematian Socrates telah menjadikan filsafat dan kemerdekaan berfikir menjadi demikian didambakan oleh hampir setiap manusia sampai kini. Kematian Galileo dan Bruno telah menumbuhkan keberanian eksplorasi atas alam beserta hukum-hukumnya sedemikian mencengangkan. Kematian Mansur al Hallaj dan Syeh Siti Jenar telah melahirkan puluhan teologi rasional dan aliran mistik yang hiruk pikuk.
Bahkan di antara hiruk-pikuk petualangan manusia meneliti sesuatu yang berada di luar dirinya, manusia juga mulai mencari makna dari dalam dirinya sendiri. Apa sebenarnya yang paling menentukan pada manusia ? Pertanyaan ini melahirkan penelitian menyeluruh atas prestasi manusia. Apa sebenarnya yang paling menentukan dalam keberhasilan usaha manusia menjadi bahan penelitian paling serius sampai saat ini. Kata kunci yang hingga kini tetap dipakai adalah KECERDASAN. Hasil yang telah didapat dari penelitian ini manusia memiliki 8 (delapan) macam kecerdasan. Kedelapan macam kecerdasan ini ditemukan oleh Howard Gardner, seorang guru besar Psikologi Universitas Harvard (Dryden, 2001 : 121), yaitu : kecerdasan linguistik, matematis/ logis, visual/ spasial, musikal, naturalis, interpersonal, intrapersonal dan fisik. Delapan macam tipe kecerdasan ini masuk dalam kategori kecerdasan intelektual (IQ).
Tipe kecerdasan yang lain adalah kecerdasan emosional. Daniel Goleman yang mempopulerkan tipe kecerdasan ini mengatakan kontribusi IQ paling banyak sekitar 20% terhadap keberhasilan hidup sehingga 80% sisanya ditentukan oleh faktor-faktor lain yang disebut KECERDASAN EMOSIONAL. Penemuan ini menunjukkan bahwa Emotional Quotient (EQ) mutlak diperlukan. Angka 80 dalam prosentase adalah angka yang sangat besar karena ia berarti 4 (empat) kali lebih besar sebagai penyokong kesuksesan seseorang daripada IQ. Apa-apa yang termuat dalam EQ bukanlah hal-hal yang didapat dari luar dirinya. Ia sepenuhnya berasal dari dalam diri manusia individu. Bekerjanya IQ sepenuhnya bergantung dari adanya rangsang dari luar yang diproses dalam diri individu. IQ tidak bisa bekerja tanpa adanya data-data luar yang diambil oleh individu. Ketepatan data akan menentukan presisi IQ. Bahkan bukan hanya data yang harus tepat. Seperangkat hukum yang harus dipatuhi dan dipahami juga sangat menentukan ketepatan dan tingkat pencapaian IQ. Contoh sederhana dapat penulis berikan. Seorang anak yang secara potensial memiliki IQ tinggi – misal matematika atau berhitung – tetapi dia tidak diajarkan ilmu matematika maka ia tidak akan mampu mengerjakan apapun tentang matematika. Atau jika ia diajarkan tetapi sengaja diberi rumus yang salah – misal + diganti – maka ia tidak akan pernah benar dalam mengerjakan berhitung. Inilah bukti betapa rentan IQ yang dulu sangat didewa-dewakan. IQ bergantung sepenuhnya pada sesuatu yang berasal bukan dari dirinya. Inilah sebenarnya ciri IQ yang empiristik dan rasionalistik.
Berbeda dengan IQ, EQ bekerja berdasar prinsip-prinsip yang berada dalam dirinya sendiri. Emosionalitas senantiasa bersifat unique. Sifat unik ini menyebabkan pola emosionalitas satu individu dengan individu yang lain tidak akan sama. Bahkan ketika ditampilkan data yang sama respon emosionalitas akan berbeda-beda pada tiap individu. Ini mengandung arti cakupan EQ jauh lebih luas daripada IQ. Dalam wilayah EQ hukum-hukum tidak bekerja secara ketat. Interpretasi individu memiliki sebaran yang sangat luas. Hukum-hukum EQ yang pada dasarnya ditemukan oleh IQ tidak mampu menggambarkan secara tepat situasi emosionalitas individu. Pakar EQ, Daniel Goleman berpendapat bahwa meningkatkan kualitas kecerdasan emosi sangat berbeda dengan IQ. IQ pada umumnya tidak berubah selama kita hidup. Tidak seperti IQ, kecerdasan emosi dapat meningkat dan terus ditingkatkan sepanjang hayat. Kecakapan emosi dapat dipelajari kapan saja. Tidak peduli orang tersebut pemalu, peka atau tidak, pemarah atau sulit bergaul dengan orang lain sekalipun. Dengan motivasi dan usaha yang benar, kita dapat mempelajari dan menguasai kecakapan emosi tersebut (Goleman, 1999: 286).
Pemikiran Goleman tentang EQ ini mengajarkan pada kita bahwa masih banyak yang belum diketahui dari manusia. Penelitian EQ oleh Goleman telah melahirkan jawaban tentang salah satu yang paling menentukan dalam kehidupan manusia. Orang-orang terkaya di dunia seperti Bill Gates, Larry Ellison dan Michael Dell adalah contoh dari orang yang EQ-nya tinggi. Kekayaan dan kesuksesan yang diraih bukanlah karena IQ-nya tinggi. Mereka adalah orang-orang biasa yang menjadi luar biasa karena EQ-nya tinggi. Keberhasilan itu mereka raih dengan kerja keras, komitmen dan visi yang kuat. Karakter-karakter ini tidak terdapat dalam IQ. IQ hanya mampu mengukur tingkat kecerdasan kognitif. Sementara, sebagian besar kehidupan manusia ditentukan oleh afeksi dan psikomotornya. Dari sikap dan tindakannya. Lahirnya kebudayaan-kebudayaan tinggi bukan hanya karena difikirkan tetapi karena dilahirkan dalam karya nyata. Inilah keunggulan EQ. Ia menilai manusia dari tindakannya. Jadi hal paling penting pada manusia adalah tindakannya. EQ meneliti kekuatan apa yang mendorong dan menggerakkan manusia sehingga mampu melahirkan karya-karya besar.
Singgasana kebesaran EQ mulai diguncang. Benarkah keberhasilan manusia dikendalikan dari tingkat [kecerdasan] emosinya ? Darimana manusia mendapatkan makna dalam hidupnya ? Jawaban atas pertanyaan sederhana ini sungguh fantastis. Kesuksesan ternyata bukanlah hakikat yang ingin dicari manusia dalam hidupnya. Kesuksesan hanyalah satu tahap dalam perjalanan hidup manusia. Bagaimana halnya mereka yang tidak termasuk sukses dalam hidupnya ? Apakah mereka tidak mempunyai arti ? Dua tipe kecerdasan yang IQ dan EQ masih diskriminatif dalam memandang manusia. Diskriminasi ini menyebabkan keterpecahan kepribadian manusia. IQ melukiskan manusia dalam selubung jasmaninya sendiri. EQ melukiskan relasi manusia dengan manusia lain secara horizontal. Makna didapat bukan dari kedalaman kulit jasmani manusia atau dari relasi antara manusia. Makna didapat dari sistem nilai yang hakikatnya berada di luar kedua hal tersebut. Nilai adalah hal yang mendasari tindakan manusia. Darimana nilai atau sistem nilai tersebut diadopsi manusia. Inilah yang dijawab oleh penelitian Spiritual Quotient (SQ).
Spiritual Quotient (SQ) digagas pertama kali oleh Danah Zohar dan Ian Marshall secara ilmiah (Agustian, 2003 : xxxix). Pembuktian ilmiah tentang kecerdasan spiritual sebagaimana digagas oleh Zohar dan Marshall pertama kali dilakukan oleh Michael Persinger pada awal tahun 1990-an dan yang paling mutakhir oleh V.S. Ramachandran. Dia menemukan eksistensi God-Spot dalam otak manusia. God-Spot sebagai pusat spiritual ternyata sudah built in diantara jaringan syaraf dan otak manusia.
Wolf Singer pada era tahun 1990-an menemukan apa yang ia sebut sebagai The Binding Problem. Ia menemukan adanya proses dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada usaha mempersatukan dan memberi makna dalam pengalaman hidup kita. Suatu jaringan syaraf yang secara literal mengikat pengalaman kita secara bersama untuk “hidup lebih bermakna”. Pada God-Spot inilah sebenarnya fitrah manusia yang terdalam. Ia adalah suara hati.
Apa yang telah ditemukan para ahli barat tentang God-Spot ini baru sebatas pada persoalan biologi dan psikologi. Pertanyaan tentang dari mana God-Spot ini muncul dan apa saja isinya tidak terjawab oleh mereka. Istilah God-Spot dipakai oleh mereka hanyalah karena dasar ilmiah tidak lagi mampu menampung keberadaannya. Artinya God-Spot bukanlah tuhan dalam arti Tuhan dalam agama. Apa yang tidak ditemukan istilahnya dalam sains mereka sebut itu dari tuhan atau tahayul. Jadi pada dasarnya tidak ada bedanya bagi mereka tuhan dengan tahayul, yaitu sesuatu yang tidak ilmiah atau tidak bisa dimasukkan dalam cakupan ilmiah.
Beberapa kenyataan di atas sungguh telah memacu seorang Ary Ginanjar Agustian untuk bertanya pada Tuhannya. Apa sebenarnya yang disebut God-Spot ini. Jawaban yang ia dapat adalah menggabungkan ketiga kecerdasan manusia, yaitu IQ, EQ dan SQ menjadi ESQ (Emotional and Spiritual Quotient). IQ hanya menggambarkan kecerdasan manusia individual. EQ menggambarkan kecerdasan manusia dalam berhubungan dengan manusia lain. SQ menggambarkan kecerdasan manusia dalam menangkap makna melalui hubungannya dengan tuhan. ESQ menggambarkan kecerdasan manusia secara utuh sebagai individu, antara manusia dan antara manusia dengan tuhan. God-Spot bagi Ary Ginanjar Agustian adalah percikan Asmaul Husna.
Dari sejarah pemikiran di atas, apa yang tersisa adalah manusia adalah makhluk transenden. Transendensi manusia ditemukan ketika ia bertemu dengan Tuhannya. Tuhan sebagai Yang Transenden manifes dalam diri manusia sebagai kebenaran. Kebenaran membawa manusia pada pencarian yang terus menerus. Pencarian kebenaran inilah sebenarnya drama transendensi manusia.
Persoalan kebenaran muncul karena kebutuhan manusia akan pengetahuan. Pengetahuan ini dibutuhkan manusia karena ia harus berinteraksi dengan dunia dan lingkungan sosialnya. Kebutuhan hidup manusia dengan demikian dapat dikatakan merupakan suatu faktor yang mendasari dan mendorong berkembangnya pengetahuan. Salah satu kebutuhan manusia adalah memperoleh pengetahuan. Bagi manusia memperoleh pengetahuan merupakan kebutuhan untuk dapat hidup yang menjadi satu bagian dari cara berada manusia. Dalam arti ini kegiatan mengetahui merupakan bagian hakiki dari cara berada manusia.
Sebagai sarana yang dibutuhkan untuk hidup, bagi manusia, pengetahuan juga merupakan suatu alat, strategi, dan kebijaksanaan. Berbeda dengan binatang, manusia adalah makhluk yang mampu menciptakan alat, memiliki strategi, dan kebijaksanaan dalam bertindak. Pengetahuan dengan demikian dapat dikatakan merupakan upaya menafsirkan, memahami dan akhirnya menguasai dan memanfaatkan dunia sekitar guna menunjang pemenuhan kebutuhannya. Di samping dimensi pragmatis ini, yaitu pengetahuan dibutuhkan untuk pemecahan masalah kehidupan dan kebutuhan hidup, pengetahuan dicari demi dirinya sendiri yang terdorong rasa ingin tahu atau cinta akan kebenaran. Kebenaran pada akhirnya menjadi kebutuhan setiap manusia karena jaminan yang diberikannya menenteramkan jiwanya. Ketenteraman itu muncul karena kepastian yang muncul dari kebenaran dapat mengikat tindakan-tindakan manusia. Daya rekat kepastian inilah yang membingkai manusia dengan sesamanya.
Persoalan muncul ketika manusia mempertanyakan apa yang menjamin kepastian kebenaran itu. Kepastian itu akhirnya sesuatu yang diandaikan dengan syarat-syarat tertentu. Penetapan syarat-syarat ini kemudian dijadikan standar bagi pengandaian kebenaran itu sehingga kepastian yang muncul tidak semena-mena. Kesemena-menaan dalam penetapan kepastian kebenaran pengetahuan manusia dianggap sebagai kebalikan dari kebenaran itu sendiri. Maka muncullah pasangan kebenaran dan ketidakbenaran (true and falls).
Kepastian yang didamba manusia pada aras sebagaimana uraian di atas tidak mampu menjamin apa yang sebenarnya dicari selama ini. Dimensi transenden yang sebenarnya telah hadir secara nyata di hadapan manusia diangkat terpisah dari sumbernya. Sumber kebenaran yang dicari manusia berabad-abad ini sebenarnya telah begitu terangnya hadir di depan dirinya sendiri tapi senantiasa dihindarinya. Sumber kebenaran itu sebenarnya adalah cahaya Tuhan yang telah melekat semenjak dulu dalam lubuk hatinya pada diri setiap manusia. Inilah God-Spot yang senantiasa menarik manusia untuk bekerja pada orbitnya. Ini pula yang senantiasa membuat manusia bingung ketika ia bekerja di luar orbitnya. Ketika suara hati dalam God-Spot manusia akan mengalami split personality karena IQ dijadikan sesuatu yang dominan dalam kehidupannya. Atau EQ dipisahkan dari IQ dan SQ. Ketenteraman yang sangat didamba manusia ini bukan berada di luar dirinya. Ia berada dalam diri manusia sebagai anugerah Tuhan yang tak pernah disyukuri. Syukur yang benar adalah menggabungkan ketiga kecerdasan anugerah Allah ini menjadi satu kesatuan model. Penerimaan Tuhan dalam kehidupan pada dasarnya akan memberi makna transenden manusia. Makna transenden inilah sebenarnya yang dicari manusia berabad-abad lewat berbagai cara termasuk lewat agama. Pemaknaan transenden sebagai penerimaan akan kehadiran Tuhan dalam dirinya akan menjamin keseimbangan yang menenteramkan. Tuhan bukan lagi sesuatu yang abstrak dalam diri manusia. Ia begitu nyata hadir dalam kehidupan bahkan lebih dekat dari urat leher . Pernyataan ini menjadi sepenuhnya benar karena God-Spot secara fisik berada diantara syaraf dan otak manusia dan secara metafisik berada dalam kesadaran terdalam manusia yaitu hati nurani. Pernyataan Socrates Gnoti Seauton – kenalilah dirimu sendiri – menjadi kenalilah suara hatimu sendiri. Pengenalan akan suara hati ini sepenuhnya akan membawa kearifan pada pengenalan pada Tuhannya.

KERJA SEBUAH TRANSENDENSI BAGI MANUSIA

Manusia adalah makhluk bekerja. Kerja bagi manusia akan menentukan eksistensi manusia dalam kehidupannya. Kerja menjadi ciri sekaligus pembeda anatara manusia dengan makhluk yang lain. Bagi manusia kerja adalah kebutuhan. Dalam kerja manusia mendapatkan penghargaan, penghormatan, upah, tempat berkreasi, ilmu, masa depan, dan seluruh hidupnya. Ketinggian derajat manusia ditentukan oleh hasil kerjanya. Demikian juga kerendahan martabat ditentukan dari hasil kerjanya. Manusia tidak bisa hidup tanpa kerja bahkan seandainya seluruh kehidupannya telah disediakan. Kerja akan memberi makna eksistensi manusia. Manusia bekerja hakikatnya adalah mencari makna dalam kehidupan. Makna tidak bergantung pada materi, tetapi materi adalah wahana makna.
Kerja yang baik adalah kerja yang mampu menampilkan ketinggian martabat manusia. Ciri ini ditandai dengan apa yang dikenal sebagai transparency, fairness, responsibility, accountability and social awareness. Hasil survey dari enam benua yang dilakukan oleh The Leadership Challenge karakter-karakter terbaik yang harus dimiliki seorang CEO (Chief Executive Officer) adalah sbb : jujur, berpikiran maju, bisa memberi inspirasi, kompeten, adil, mendukung, berpandangan luas, cerdas, berterus terang, berani, bisa diandalkan, bekerja sama, berdaya imajinasi, memperhatikan orang lain, matang/ dewasa, tegas, berambisi, setia, menguasai diri, mandiri (Agustian, 2004 : 77-78). Dua sifat dasar ini ada dalam setiap individu karena merupakan cerminan suara hati atau God-Spot. Pertanyaan yang sering muncul adalah mengapa tidak semua orang berhasil menampilkan sifat-sifat ini ? Jawabannya sederhana : karena ia tidak mau. Mengapa ia tidak mau karena “ke-mau-an” ini membutuhkan syarat yang tidak semua orang nyaman menjalani. Syarat ini oleh A. Riawan Amin disebut sebagai The Celestial Management (Kompas, 29 September 2004 : 2).
The Celestial Management memuat dua hal yaitu Istiqomah (Konsisten dalam Arah Tujuan) dan Kaaffah (Konsiten dalam Cakupan). Falsafah ini mengambil makna dari air. Air mengajari kita banyak hal. Ia selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Ia tidak pernah ragu untuk terus mengalir. Ia tidak pernah lelah menyusuri ratusan hingga ribuan kilometer melintas hutan, membelah padang dengan satu tujuan : muara. Air adalah guru kehidupan. Betapa kerasnya cadas ketika tetesan air mengenai permukaannya lama kelamaan akan berlobang juga. Inilah prinsip istiqomah, yaitu sikap konsiten dalam memperjuangkan cita-citanya dengan tidak kenal lelah. Konsisten tidak selalu bicara tentang arah dan tujuan. Konsisten juga bicara tentang cakupan, tentang keselarasan antara berbagai peran dan aspek dalam kehidupan berorganisasi dan pribadi. Konsistensi menuntut keselarasan dalam segala aspek kehidupan. Keselarsan itu mencakup aspek fisik, mental, sosial dan spiritual. Inilah yang disebut kaaffah atau konsisten dalam cakupan. Syarat inilah yang dibutuhkan untuk mampu memunculkan karakter-karakter terbaik suara hati manusia. Itulah yang dilakukan oleh para CEO terbaik di dunia.
Pertanyaan baru muncul : bagaimana mereka mampu bekerja konsisten ? Jawabannya mereka bekerja sungguh dengan ikhlas tanpa mengharap sesuatu kecuali hasil sebaik-baiknya bagi orang lain. Keyakinan akan adanya hasil yang hakikatnya tidak mereka ketahui memaksa mereka berusaha sungguh-sungguh dan tidak pernah menyerah. Keyakinan ini muncul dengan sendirinya ketika ia mendengarkan bisikan suara hatinya. Di sinilah sebenarnya letak dari semua akar keberhasilan dan kegagalan. Kerja hakikatnya adalah transendensi manusia karena dalam kerja yang benar manusia mengalami kedekatan dengan Allah. Dalam kerja manusia merasa tidak mampu berbuat apa-apa kecuali atas izin Allah. Dalam kerja manusia menemukan kepasrahan total kepada Tuhannya karena hasil itu sepenuhnya bukan dia yang menentukan. Hasil senantiasa tidak dapat dipastikan. Kepastian yang menjadi harapan manusia tidak akan didapat dari kerja. Dari sinilah sebenarnya manusia mulai benar dalam melangkahkan kakinya. Kerja adalah kerja yang dilakukan dengan ikhlas, tawakal dan penuh cinta akan pekerjaan itu. Cinta itu adalah cinta pada Tuhan yang senantiasa bersamanya. Inilah sebenarnya kepastian yang senantiasa dicari dan didamba. Kekhawatiran akan hasil yang tidak pasti memaksa manusia bekerja sungguh-sungguh tidak kenal lelah sekaligus pasrah pada Allah yang Maha menentukan hasil. Inilah hakikat transendensi kerja pada manusia. Bahkan dengan kepasrahan ini suara hati makin nyaring dan merdu didengar. Keberhasilan bukanlah tujuan akhir tapi sebuah perjalanan - succsess is not a destination but a journey. Keberhasilan pasti akan diraih ketika suara hati menjadi pembimbingnya karena ia hakikatnya telah menggabungkan IQ, EQ dan SQ menjadi ESQ.
Di sisi lain manusia menuju dua kutub, yaitu SUPERIOR dan INFERIOR. Sikap superior atau inferior pada dasarnya muncul dari sifat dasar manusia untuk berkuasa. Keberhasilan perwujudan sifat ini akan melahirkan sikap superior sementara kegagalannya akan melahirkan sikap inferior. Superior maupun inferior mempunyai akar yang sama dalam diri manusia. Islam sebagai agama telah memberi peringatan kepada umatnya untuk tidak terjebak pada salah satu dari dua sikap tersebut. Sikap superior muncul karena adanya kesombongan yang menghinggapi diri manusia (Q.S. 17:37). Kesombongan ini pada akhirnya akan membawa pelakunya tidak objektif, dan merendahkan orang lain. Sementara itu sikap inferior sebagai kutub yang lain juga dilarang (Q.S. 3: 139) karena “rasa lemah” ini akan menghancurkan dirinya sendiri (Q.S. 4: 9). Secara ekstrem dua sikap ini sebenarnya derivat dari “fujur” dan “taqwa”. Superioritas muncul dari api panas “keiblisan “ yang tidak mau tunduk kepada “pasifitas” Adam. Tapi justru kebengalan iblis ini harus dikelola menjadi potensi yang melahirkan dinamika kreatif (Zubair, 2002 : 2). Sementara pasifitas Adam jangan sampai jatuh pada lembah inferioritas berhadapan dengan materia api iblis atau bahkan untuk saling melenyapkan.
Dari uraian terdahulu dapat disederhanakan secara konseptual persoalan superior dan inferior sebenarnya hanyalah persoalan pengelolaan. Potensi superior dan nferior merupakan kelengkapan seorang khalifah untuk menjadi penguasa wakil Tuhan. Artinya kehendak berkuasa bukanlah hal yang buruk (dalam terma Nietzsche adalah akar segala bentuk kekerasan dan penindasan) dan harus dihilangkan tetapi perlu mendapat bimbingan secara benar. Potensi khilafah ini pada hematnya merupakan daya dorong (drives) yang menjadi motif dasar tindakan manusia. Batas antara kreatifitas dan destruktifitas memang tipis, antara tumbuh-kembang dan kehancur-luluhan hampir bisa dikatakan berada pada satu garis berimpit. Pada kenyataannya antara yang superior dan inferior bisa bertindak amat keras (Purwoko, 2001 :7). Hal itu terjadi karena mereka mengingkari prinsip kesetaraan. Realitas ini bukan hanya dalam kehidupan sehari-hari yang tidak ilmiah bahkan dalam prinsip-prinsip keilmiahan suatu ilmu kesetaraan susah ditemukan. Kritik kaum posmodern adalah adanya ketimpangan antara yang superior dan yang inferior. Munculnya gerakan fundamentalisme karena tiadanya kesetaraan dalam berbagai sendi kehidupan. Bahkan menurut Gellner (1994: 114) fundamentalisme rasionalis menolak segala pewahyuan substantif yang menjadi ciri khas agama-agama dunia yang menisbatkan posisi dan otoritas yang adi duniawi dan lintas-budaya terhadap afirmasi dan nilai substantif. Bagi Gellner bentuk paling nyata dari fundamentalisme rasionalis adalah empirisisme David Hume yang agnostik dan skeptik. Kesimpulan David Hume yang “terpaksa” menyingkirkan tuhan karena ketiadaan bukti, paralel dengan penolakan atheisme atas adanya tuhan. Prinsip objektivitas ilmu yang menolak kemungkinan ditemukannya kebenaran di luar prinsip metode ilmiah adalah bukti pengingkaran atas prinsip kesetaraan epistemologis. Ilmu-ilmu maupun teori tidak dapat dibandingkan secara setara karena tidak ada standar yang sama (incommensurability). Prinsip ketiadaan standar ini menjadi pokok kritik Thomas Kuhn dan Feyerabend atas determinisme ilmu pengetahuan. Pendapat ini sebenarnya dapat menjadi dasar bagi penolakan atas determinasi metode dan kebenaran sebagaimana dikemukakan oleh Gadamer dengan hermeneutikanya. Secara filosofis sikap superior metodologi ilmiah Barat bertentangan dengan prinsip ilmiah itu sendiri. Sehingga metode keilmuan lain diposisikan inferior terhadap metode keilmuan Barat yang sudah mapan.
Berangkat dari tesis di atas pengembangan keilmuan baru yang tidak harus berbasis metodologi ilmiah barat mendapat peluang. Apa yang diperlukan di sini adalah model. Model pengembangan keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan menurut standar tertentu yang dipakai menjadi syarat utama. Artinya penetapan standar dengan ukuran-ukuran tertentu perlu disajikan tanpa harus merasa diri inferior.
Kajian lebih jauh atas sikap superior dan inferior sebenarnya tidak juga bisa sepenuhnya lepas dari tradisi keilmuan barat yang telah mapan. Kemapanan barat didukung terutama oleh bangunan filsafat ilmu yang kuat. Apa yang sebenarnya dibicarakan hiruk pikuk di dunia telah diberi standar yang jelas oleh filsafat ilmu. Konsekuensi logis dari kenyataan ini adalah apapun yang dihasilkan oleh tradisi keilmuan barat dapat diterima oleh dunia ilmu. Bahkan penyimpangan-penyimpangan atas kodrat, harkat dan martabat manusia pun dapat ditoleransi atas nama ilmu. Ilmu telah menjadi superior atas diri manusia. Ilmu tidak lagi untuk kesejahteraan manusia tetapi demi ilmu itu sendiri harus bebas nilai. Satu-satunya diktum yang masih diterima adalah kepentingan. Kepentingan telah menjadi penguasa atas diri manusia, atau kepentingan telah menjadi superior atas diri manusia dan ilmu. Prinsip kesetaraan yang dianut Islam dapat dijadikan sebagai dasar nilai pengembangan ilmu. Islam tidak saja menganut prinsip kesetaraan tetapi juga prinsip kemanusiaan. Penerapan kedua prinsip ini dalam bangunan filsafat ilmu menjadi kebutuhan yang mendesak untuk menyelamatkan umat manusia dari ilmu yang dikembangkannya dan kepentingan yang membelenggunya. Artinya pengembangan keilmuan harus menganut prinsip kesetaraan dan kemanusiaan bukan ilmu untuk ilmu dan ilmu untuk kepentingan. Superioritas dan inferioritas tidak harus menjadi beban yang menindih kebebasan berekspresi ilmu.
PENUTUP
Jika ada kalimat yang paling indah sebagai penyimpul maka kalimat itu tiada lain : Dari kesenyapan yang luar biasa, kesenyapan permulaan yang tak berawal muncul kerinduan Tuhan : “Aku adalah Perbendaharaan Tersembunyi, dan Aku Ingin Dikenal”.
RINGKASAN
@ Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam
Dasar
1. Tauhid
2. Kemanusiaan
3. Kesatuan Umat
4. Keseimbangan
5. Rahmatan lil’alamin
Tujuan Pendidikan Islam
1. Definisi : perubahan yang diharapkan pada subjek didik setelah mengalami proses pendidikan.
2. Fungsi Tujuan : ☺memberi arah bagi proses pendidikan, memberi motivasi dalam aktivitas pendidikan, merupakan kriteria atau ukuran evaluasi pendidikan.
3. Tahap-tahap Tujuan :
a. Tujuan Tertinggi/Final/Ultimate Goal
i. Menjadi hamba Allah yang paling taqwa.
ii. Menjadi khalifah fil ardh
iii. Untuk memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
b. Tujuan Umum
i. Bersifat realistik dan empirik, yaitu tujuan yang berfungsi sebagai arah yang taraf pencapaiannya dapat diukur seperti perubahan sikap, perilaku dan kepribadian
ii. Self realization : aktualisasi diri sebagai optimalisasi fitrah manusia.
c. Tujuan Khusus
Bersifat relatif berdasarkan ciri-ciri tertentu.
Dasar pengkhususan adalah :
i. Kultur dan cita-cita suatu bangsa.
ii. Minat, bakat dan kesanggupan subjek didik.
iii. Tuntutan situasi dan kondisi pada kurun waktu tertentu.

@ ISI PENDIDIKAN ISLAM
Klasifikasi Ilmu
Perrenial Knowledge
1. Aqidah Ontologi
2. Syariah Epistemologi
3. Akhlak Aksiologi
Acquired Knowledge
1. Imajinatif
2. Sosial Humaniora
3. Pasti Alam
4. Terapan
5. Praktis

HAKIKAT PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan Islam memuat hal-hal sebagai berikut :
1. Pemahaman tentang esensi bahwa manusia adalah monodualis menyebabkan pendidikan tidak hanya bersifat antroposentris tapi sekaligus teosentris.
2. Manusia adalah makhluk yang berkembang dengan tahapan-tahapan, maka pendidikan mestilah sejalan dengan tahapan-tahapan yang dilaluinya.
3. Konsep pendidikan dalam Alquran adalah memperhatikan nilai keseimbangan antara jasmani dan rohani.
4. Nilai pendidikan Islam terletak pada keseimbangan antara aspek pemikiran dan perasaan.
5. Setelah keseimbangan antara pikir dan rasa dapat ditumbuhkembangkan, maka akan terbentuklah manusia yang seimbang antara dimensi abd (kehambaan, kepatuhan) dan kekhalifahan (kepemimpinan, kreativitas)

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN TENTANG PENDIDIKAN ISLAM

IBNU KHALDUN

Pandangan Ibnu Khaldun tentang manusia yi, manusia adalah hewan yang berpikir dan bermasyarakat. Jadi diri manusia itu ditentukan dari kegiatan berfikir dan cara bermasyarakatnya. Keistimewaan manusia adalah kemampuan bermasyarakatnya yang didasarkan pada produk berfikir bukan pada instink belaka.
Jadi hal yang esensial dalam pendidikan adalah ilmu teoritis dan ilmu yang didasarkan pada tabiat manusia guna kebutuhan manusia menuju pada pemahaman ilmu yang berbeda-beda.
Epistemology
Ilmu dibagi menjadi ilmu pokok yaitu, syariah, kedokteran, matematika, fisika dan teologi. Ilmu alat, yaitu bahasa Arab, ilmu hisab bagi ilmu syariat, dan ilmu mantiq bagi filsafat.
Kurikulum pendidikan
Pendidikan awal adalah pengajaran Alquran sebagai sarana syiar agama
Pendidikan dilarang dengan kekerasan.
Filsafat manusia.
Hakikat pendidikan adalah untuk mewujudkan INSAN KAMIL yang memiliki karakteristik :
v Aql tamyiz adalah pemahaman intelektual manusia terhadap segala sesuatu di luar alam semesta yang lahir, dalam tatanan alam yang berubah-ubah. Kemampuan manusia membedakan untuk memperoleh kebaikan dan menolak kesia-siaan.
v Aql bilfi’li (akal eksperimen): kemampuan membuat apersepsi dalam pengalaman.
v aql nazhari (akal sepekulatif), pengetahuan hipotesis, mengenai sesuatu di belakang persepsi indera.
Muhamad Abduh

Pendidikan adalah sarana penanaman aqidah yang benar sesuai dengan aql manusia. Rasio dan tauhid adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan karena menggunakan aql adalah satu dari dasar-dasar Islam. Keimanan seseorang tidak sempurna kalau tidak didasarkanpada aql. Manusia bagi Abduh mempunyai free will dan free act.

Ibn Sina (370 – 428 H/ 980 – 1038)

Ia berpendapat ilmu dibagi menjadi dua yaitu ilmu yang tidak kekal dan ilmu yang kekal. Ilmu yang kekal adalah ilmu hikmah yang didasarkan pada logika. Berdasar pada tujuannya, ilmu dibagi menjadi ilmu praktis dan ilmu teoritis.
Ilmu praktis terdiri dari :ilmu akhlak, ilmu pengurusan rumah tangga, ilmu tata kota, ilmu kenabian.. ilmu teoritis terdiri dari : ilmu kealaman, ilmu matematika, ilmu ketuhanan dan ilmu umum.
Konsep pendidikannya, yaitu pendidikan bercorak individu bagaimana seseorang mengendalikan diri yang dilanjutkan dengan bimbingan kepada keluarga, masyarakat dan seluruh umat manusia. Tujuan pendidikan nya yaitu mencapai kebahagiaan yang dicapai secara bertahap. Kebahagiaan yang menyeluruh hanya akan dapat dicapai dengan risalah kenabian. Kurikulum pendidikannya disesuaikan dengan tingkat usia, kemampuan dan bakat yang mengakui adanya perbedaan individual (individual differencies). Catatan : pemikiran pendidikan yang menyangkut pendidikananak di barat baru dimulai menjelang abad 18, yaitu dietrich Tiedemann (1787). Ia adalah seorang ahli psikologi anak. Sebelum ini anak dianggap sebagai orang dewasa yang berujud kecil.
Muhamad Iqbal
Setiap pengembangan teori pendidikan yang mantap harus memiliki anggapan dasar berupa konsep tertentu tentang hakikat individualitas dan hubungannya dengan masyarakat, serta tujuan akhir kehidupan insani.
Khudi (individualitas) adalah sesuatu kesatuan yang riil, nyata, mantap dan tandas yang merupakan pusat dan landasan dari keseluruhan kehidupan manusia. Khudi harus merupakan satu kesadaran mandiri yang tidak larut dalam apapun.
Criteria untuk menentukan martabat realitas dari setiap organisme adalah seberapa jauh ia dapat menghayati ego nya yang kukuh dan tangguh. Artinya yang pantas dinyatakan ada dalam arti yang sesungguhnya hanyalah yang mampu menyatakan inilah aku. Individualitas adalah maslah tingkatan dan tak pernah terealisasikan secara penuh.
Maka insan kamil bagi Iqbal merupakan cita ideal yang selalu harus diusahakan. Jadi tingkat ke kamil an seseorang tergantung pada seberapa besar usaha untuk melakukan pemenuhan diri. Perkembangan individualitas merupakan suatu proses kreatif dimana individu memainkan peranan aktif, selalu mengadakan aksi dan reaksi yang bertujuan pada pembentukan lingkungan. Jadi proses ini bukanlah suatu kejadian dimana individu hanya tinggal menyesuaikan diri secara pasif terhadap lingkungan yang statis.
Syarat pertumbuhan kepribadian yang tangguh adalah :
kreativitas : perkembangan kreativitas merupakan atribut kemanusiaan paling tinggi yang mempertautkannya dengan ilahi.
orisinalitas : orisinalitas merupakan pra syarat bagi segala perubahan yang mengarah pada kemajuan dan mempradugakan kebebasan.
kebebasan : individu tidak mungkin mengembangkan kekuatannya yang laten apabila tidak bernafaskan udara dan suasana kebebasan.
Tujuan akhir pendidikan – demikian juga tujuan tertinggi segala usaha dan gerak social budaya – hendaklah memperkokoh dan memperkuat individualitas dari semua pribadi, sehingga mereka menyadari segala kemungkinan yang dapat saja menimpa mereka. Konsep ini sesuai dengan konsep Alquran yang menekankan cara yang wajar tetapi mantap, menekankan pada individualitas serta unisitas (kekhasan) manusia. Konsep tersebut menggariskan pula dengan tandas mengenai masalah tujuan akhir manusia sebagai satu kesatuan dari kehidupannya.

Konsep-konsep pokok pendidikan
metafisika : realitas pada akhirnya bersifat ruhani dan kehidupannya berlangsung dalam kegiatan sehari-hari yang temporal. Sedangkan ruhani menampilkan diri dalam kehidupan alam material maupun duniawi. Oleh karena itu segala yang bersifat bendawi akhirnya bertopang pada akar ruhani. Materi saja tidak mungki9n memiliki substansi apabila tidak mengakar pada dunia ruhani. Apa saja yang kita alami sebagai materi merupakan ruang lingkup bagi realisasi diri ruh.
epistemology : pendidikan hendaknya diarahkan pada penundukan ruhani terhadap jasmani untuk meraih dunia.
axiology : yaitu seperangkat nilai akan terealisir secara efektif apabila pribadi dipenuhi dengan kesadaran dan penghayatan. Moralitas tidak mungkin dipelajari dan diajarkan dalam suatu pengasingan atau isolasi. Jadi ada pertautan antara perbuatan social dan perbuatan susila.
Konsep ideal manusia
Hidup yang baik ialah hidup yang penuh usaha dan perjuangan, bukan suatu cara hidup yang menarik diri dan memencilkan diri, bukan corak kehidupan yang dihiasi kemalasan dan memandang segala serba enteng.
Orang yang baik hendaknya belajar menerapkan inteligensinya secara meningkat terus dalam rangka penjelajahan dan pengendalian daya dan kekuatan alam; sambil mengembangkan dan menambah pengetahuan dan kekuatannya sendiri. Tanpa pengembangan intelektualnya secara optimal ia akan tetap menjadi permainan bagi kekuatan lingkungan sekitar (konsep khalifatullah filardh).
Maka pendidikan harus mengembangkan komponen-komponen utama bagi pendidikan watak, yaitu :
Keberanian : keberanian dapat dipupuk dan dijadikan satu pertanda dari watak dengan jalan menjadikan tauhid sebagai prinsip kerja yang melandasi segala tingkah laku kita.
Toleransi : menghargai individualitas orang lain yaitu kepercayaan, fikiran dan perbuatannya.
Faqr dan Istighna : materi tidak membelenggu kehidupan rohani. Zuhud di bidang intelektual dan emosional yang tidak memalingkan diri dari dunia – yaitu dunia sebagai sumber kejahatan –melainkan memanfaatkan dunia itu dalam rangka pencapaian maksud-maksud baik penuh makna dan berbobot nilai ilahiah.

DAFTAR PUSTAKA
Alquranul Karim
Bagus, Lorens, 2000, Kamus Filsafat, Jakarta, Gramedia
Gellner, Ernest, 1994, Menolak Posmodernisme antara Fundamentalisme Rasionalis dan fundamentalisme Religius, Terjemahan :Postmodernism, Reason and Religion, Bandung, Mizan,, p. 114
Hadi, Hardono, 2000, Jatidiri Manusia Menurut Filsafat Organisme Whitehead, Yogyakarta, Kanisius
Huizinga, 1990, Homo Ludens, Jakarta, LP3ES
Kattsoff, Louis O., 1996, Pengantar Filsafat, Yogyakarta, Tiara Wacana
Leahy, Louis, 1989, Manusia Sebuah Misteri, Jakarta, Gramedia
Mangunhardjono, 1983, Homo Religiousus Menurut Mircea Eliade dalam M.Sastraprateja (Ed)., Manusia Multi Dimensional , Jakarta, Gramedia
Purwoko, Herudjati, 2001, Aturan Main, Fair Play & Kekerasan Massal, dalam RENAI Jurnal Penelitian Ilmu Sosial & Humaniora, Edisi Musim Penghujan Oktober 2000
Sastraprateja (Ed.), 1983, Manusia Multi Dimensional , Jakarta, Gramedia
Leahy, Louis, 1989 : Manusia Makhluk Paradoksal, Gramedia, Jakarta
Bagus, Lorenz, 1991 : Metafisika, Gramedia, Jakarta
F. Schuon , 1997 : Hakikat Manusia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Wirawan, 1976 : Pengantar Umum Psikologi, Bulan Bintang, Jakarta
The Liang Gie, 1998: Filsafat Ilmu Pengetahuan, Gadjah Mada Press, Yogyakarta
Damardjati, 1993: Nawangsari, Mandala, Yogyakarta
J.Sudarminta, 2002 : Epistemologi Dasar, Gramedia, Jakarta
Barnadib, 1994 : Filsafat Pendidikan, Andi Offset, Yogyakarta
Fatimah, Irma, (Ed.).,1992: Filsafat Islam Tinjauan Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, LESFI, Yogyakarta
Muhadjir, 1994: Metodologi Penelitian Kualitatif, Rake Sarasin, Yogyakarta
Siswanto, 1998 : Sistem-Sistem Metafisika, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Syariati, 1984: Tugas Cendekiawan Muslim, Rajawali Press, Jakarta
Diposkan oleh Mufiq di 23:01 0 komentar
Materi Filsafat Pendidikan Islam
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
SEDIKIT MENGENAL TENTANG FILSAFAT

Kata-kata "filsafat", "filosofi", "filosofis", "filsuf", "falsafi" bertebaran di sekeliling kita. Apakah pemakaiannya dalam kalimat-kalimat sudah tepat atau sesuai dengan arti yang dimilikinya, kita acapkali tidak merisaukan hal itu, mungkin karena kita sendiri juga kurang paham dan belum berkesempatan memeriksa beberapa literatur atau pun bertanya kepada mereka yang berkompeten menjelaskan hal itu. Sementara itu, kita mengerti bahwa beberapa peristilahan ada karena memiliki latar belakang yang unik.
Suatu peristilahan perlu dipahami konteks-nya untuk memperoleh kejelasan maknanya, baik itu konteks sosial, budaya bahkan politik. Karena suatu peristilahan pada hakikatnya adalah melukiskan atau pun mewakili suatu konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dari yang dilukiskan atau diwakilinya, dan memperlihatkan bagaimana istilah-istilah yang disebutkan tadi bisa digunakan. Juga mengenai relasi antara filsafat, ilmu dan agama; hal yang tak jarang menjadi bahan persoalan.

FILSUF, HIDUP DAN KARYANYA

Filsuf (atau, filosof) atau disebut juga ahli pikir ialah mereka yang gemar menilik sesuatu realitas dengan kemerdekaan berpikir yang ada padanya sampai sesuatu itu '"terbongkar" sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya. Apa yang dilakukan oleh para filsuf tetap kembali pada suatu usaha menemukan kebenaran, meskipun jalan, metode yang dipakai berbeda-beda antara satu filsuf dengan filsuf yang lain. Oleh karenanya, tak heran bila muncul istilah-istilah seperti "filsafat Plato", "filsafat Thomas", "filsafat Kant", "filsafat Habermas", dan seterusnya, di sampingnya "filsafat Yunani", "filsafat India", "filsafat eksistensialisme", dsb. Itu karena memang produk pemikiran masing-masing filsuf tersebut adalah khas, tiada duanya, baik dari segi: pola pemikirannya, titik tolak di mana bermula, bahasa yang digunakannya, cara penyampaiannya dan posisi (berpikir)nya, meskipun para filsuf sendiri hidup dalam konteks sejarah dengan segala suasana batin dan pemikiran yang melingkupinya.
Apa yang diberikan oleh para filsuf kepada masyarakat dunia, kalau boleh disebut demikian, selalu menarik untuk ditinjau. Bagaimana suatu persoalan dirumuskan, ditelaah, bagaimana jawaban-jawaban dan pertanyaan-pertanyaan selalu diformulasi kembali sepanjang jaman, hanya dalam rangka mencari kebenaran untuk kemaslahatan kehidupan manusia, menurut visi masing-masing. Masalah apakah kemudian suatu pemikiran disepakati sebagai keliru bahkan salah, karena telah dicapai pemikiran lain yang lebih baik, adalah masalah lain. Sejarah adalah sejarah yang tidak mungkin dihapus. Adanya sesuatu hari ini mau tak mau, suka tak suka adalah sebagai akibat dari kontak dengan masa lalu. Di sinilah dialektika terjadi, saling berdebat, saling menanggapi.
Pemikiran para filsuf, apalagi filsuf besar, adalah merupakan harta dunia yang tiada terbilang nilainya. Jelas ia memberi sumbangan bagi kemajuan berpikir berikutnya. Sumbangannya bagi sejarah peradaban dunia patut untuk disampaikan senantiasa oleh kita yang hidup di jaman yang katanya modern ini; minimal sebagai ungkapan terima kasih kita kepada mereka, yang pemikirannya langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kehidupan kita hari ini. Kita mau mengenal filsuf dari kehidupan dan karya-karyanya. Insya Allah, bagian ini akan membahas filsuf dengan pemikiran-pemikiran dan kehidupannya, sejak filsafat Yunani Klasik hingga filsafat yang berkembang akhir-akhir ini. Cabang-cabang filsafat yaitu :
♪ Ontologi, merupakan pengetahuan tentang "semua pengada sejauh mereka ada". Suatu studi yang membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin ketahui, atau, dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang "ada".
♪ Teologi metafisik, membicarakan tentang pertanyaan apakah Tuhan ada dan tentang nama-nama ilahi. Suatu studi tentang hakikat, ragam dan objek kepercayaan agama. Apa hubungan antara akal dan iman? Apa sesungguhnya agama? Dapatkah Allah diketahui lewat pengalaman langsung? Dapatkah eksistensi kejahatan didamaikan dengan iman akan suatu Allah yang sempurna dan berpribadi? Apakah istilah-istilah religius memiliki makna khusus?
♪ Antropologi, membicarakan tentang manusia ("filsafat manusia"). Suatu studi yang membicarakan manusia seluruhnya, dengan segala sudutnya, namun dengan mementingkan penggunaan metode filosofis dalam penyelidikannya.
♪ Kosmologi, membicarakan tentang alam, kosmos. Suatu studi yang hendak mengetahui "rahasia alam". Dari mana datangnya alam ini, betapa terjadinya, bagaimana kemajuannya dan ke mana sampainya?
♪ Etika, membicarakan tentang tindakan manusia. Suatu studi tentang prinsip-prinsip dan konsep-konsep yang mendasari penilaian terhadap perilaku manusia. Contohnya: Dengan patokan apa kita membedakan antara tindakan yang benar dan yang salah secara moral? Apakah kesenangan merupakan satu-satunya ukuran untuk menentukan sesuatu sebagai "baik"? Apakah keputusasaan moral bersifat sewenang-wenang atau sekehendak hati?
♪ Estetika, mencoba menyelidiki mengapa sesuatu dialami sebagai indah. Suatu studi tentang prinsip-prinsip yang mendasari penilaian kita atas berbagai bentuk seni. Apakah tujuan seni? Apa peranan rasa dalam pertimbangan estetis? Apa yang ditangkap, dialami, dirasakan dan dihayati sebagai indah?
♪ Sejarah filsafat dunia, mengajar apa jawaban pemikir-pemikir jaman atas pertanyaan-pertanyaan manusia.
Tidak semua filsuf setuju dengan pembagian seperti diuraikan di atas. Ada filsuf yang menyangkal kemungkinan ontologi atau kemungkinan seluruh metafisika. Namun, pembagian seperti di atas ini merupakan sekma yang paling klasik dan paling umum diterima.
C A B A N G
Epistemologi, membicarakan tentang kebenaran.
Filsafat Biologi, membicarakan tentang hidup.
Filsafat Psikologi, membicarakan tentang jiwa.
Filsafat Antropologi, membicarakan tentang manusia.
Filsafat Sosiologi, membicarakan tentang masyarakat dan negara.
Etika, membicarakan tentang baik dan buruk.
Estetika, membicarakan tentang indah.
Filsafat Agama, membicarakan tentang agama.
Harry Hamersma di dalam bukunya Pintu Masuk Ke Dunia Filsafat (Kanisius, 1981), membicarakan sepuluh cabang filsafat, yang masih dapat dikembalikan lagi kepada empat bidang induk, sebagai berikut:
Filsafat tentang pengetahuan:
Epistemologi
Logika
Kritik ilmu-ilmu
Filsafat tentang keseluruhan kenyataan:
Metafisika umum (atau, ontologi)
Metafisika khusus, terdiri dari:
Teologi metafisik (disebut juga "teodise" dan "filsafat ketuhanan")
Antropologi
Kosmologi (disebut juga "filsafat alam")
Filsafat tentang tindakan:
Etika (disebut juga "filsafat moral")
Estetika (disebut juga "filsafat seni", "filsafat keindahan")
Sejarah filsafat
Berikut ini penjelasan masing-masing secara lebih dalamnya:
Epsitemologi, merupakan "pengetahuan tentang pengetahuan". Suatu studi tentang asal usul, hakikat, dan jangkauan pengetahuan. Beberapa pertanyaan yang mungkin diajukan dalam espistemologi adalah: Apakah pengalaman merupakan satu-satunya sumber pengetahuan? Apakah yang menyebabkan suatu keyakinan benar dan yang lain salah? Adakah soal-soal penting yang tidak dapat dijawab oleh sains (ilmu spesial)? Dapatkah kita mengetahui pikiran perasaan orang lain?
Logika, menyelidiki aturan-aturan yang harus diperhatikan supaya cara berpikir kita sehat. Suatu studi tentang prinsip-prinsip yang dipakai untuk membedakan antara argumen yang masuk akal dan argumen yang tidak masuk akal, serta tentang berbagai bentuk argumentasi. Contohnya: apa perbedaan antara pemikiran induktif dan deduktif? Mengapa argumentasi "Semua anjing adalah kucing. Sokrates adalah anjing. Maka, Sokrates adalah kucing" dianggap valid? Apa pebedaan antara logika penjelasan ilmiah dan logika pertimbangan moral?
Kritik ilmu-ilmu, menyelidiki titik pangkal, metode, objek dari ilmu-ilmu ("filsafat ilmu"). Suatu studi tentang metode, asumsi, dan batas-batas ilmu pengetahuan. Adakah satu metode yang khas dalam ilmu pengetahuan? Apakah perbedaan antara sebuah teori dan sebuah hukum dalam ilmu pengetahuan? Apakah hakikat penjelasan ilmiah? Apakah kebebasan manusia selaras dengan ilmu pengetahuan?
Filsafat bertanya tentang seluruh kenyataan, tetapi selalu salah satu segi dari kenyataan yang sekaligus menjadi titik fokus penyelidikan kita. Filsafat selalu bersifat "filsafat tentang" sesuatu tertentu, misalnya: filsafat tentang manusia, filsafat alam, filsafat kebudayaan, filsafat seni, filsafat agama, filsafat bahasa, filsafat sejarah, filsafat hukum, filsafat pengetahuan, dan seterusnya.
Aristoteles mengadakan pengelompokan sebagai berikut:
Sejarah logika, yaitu ajaran tentang kategori, pengambilan kesimpulan dab pembuktian serta topika yaitu dialektika,
Ilmu-ilmu pengetahuan alam, berisi antara lain tentang fisika, langit, meteorologi, jiwa, binatang,
Etika,
Politik,
Bahasa dan seni.
Cassidorus menyebut tujuh macam seni liberal, yaitu:
Trivium, terdiri atas Gramatika, Logika, Retorika, dan
Quadrivium yang terdiri atas Ilmu hitung, Ilmu Ukur, Astronomi dan Musik.
Kant (Stroriq, 1972) di dalam Kritik-nya Terhadap Rasio Murni mengadakan pembagian sebagai berikut:
Bagian pertama berisi ajaran elementer yang transendental,
Bagian kedua berisi ajaran transendental tentang metode.
Ajaran elementer tersebut dibagi lagi menjadi estetika transendental, yang membicarakan tentang kemampuan inderawi dan logika transendental yang membicarakan tentang kemampuan berpikir. Logika dibagi lagi menjadi analitika transendental dan dialektika transendental. Selanjutnya dalam Kritik-nya Terhadap Rasio Yang Praktik ia banyak membicarakan tentang Etika dan Religi.
Di dalam bukunya, Perspectives in Social Philosophy (1967), Beck (1967) menyebut lapangan filsafat, yaitu:
Epistemologi atau filsafat pengetahuan. Yang dibicarakan antara lain adalah sumber, kriteria, dan hakikat pengetahuan.
Metafisika atau teori tentang realitas. Yang dibicarakan antara lain segala sesuatu yang ada, hekikat realita, prinsip pemahaman kosmos.
Ilmu pengetahuan normatif, yang terdiri atas etika, estetika dan filsafat ketuhanan.
Demikian seterusnya terdapat jenis penggolongan cabang-cabang filsafat. Katsoff dalam bukunya Elements of Philosophy mengadakan penggolongan sebagai berikut:
Logika, membicarakan tentang hukum-hukum penyimpulan yang benar.
Metodologi, membicarakan tentang teknik atau cara penelitian.
Metafisika, membicarakan tentang segala sesuatu yang ada.
Ontologi, membicarakan tentang hakikat segala sesuatu yang ada.
Kosmologi. membicarakan tentang segala sesuatu yang ada yang teratur.

PENGANTAR UMUM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Filsafat Pendidikan Islam terdiri atas perkataan Filsafat Pendidikan dan Islam. Namun ketiganya mempuyai hubungan yang erat menurut hukum DM sehingga ketiganya mewakili satu pengertian yang bulat dan tersendiri. Pokok yang dibicarakan ialah FILSAFAT, tetapi filsafat tentang apa? Jawabannya : Filsafat tentang pendidikan. Pendidikan yang bagaiamana ? pendidikan yang bercorak Islam.

Jadi perlu dipahami secara per definisi dari masing-masing ata, yaitu filsafat, penidikan dan islam. Menurut LO Kattsoff, filsafat adalah suatu analiis hati-hati terhadap alasan-alasan yang diajukan megenai suatu msalah dan penyusunan secara sengaja serta sistematis suatu sudut pandang yang menjadi dasar suatu tindakan. Menurut orang Yunani (Greece), filsafat adalah suatu pandangan rasional tentang segala-galanya.
Jadi filsafat adalah pemikiran analitis, sistematis, dan rasional tentang segala sesuatu yang pada akhirnya menjadi dasar tindakan. Secara kronologis menurut Van peursen, filsafat adalah suatu usaha pemikiran yang secara kritis berusaha menelusuri kembali akar segala sesuatu, sehingga nampak sikap hidup dan arah religius yang mendasari suatu tindakan.
Pendidikan menurut AD Marimba adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian utama. Menurut corak pemahaman diagramatis yang dikemukakan oleh AD Marimba maka kedua pengertian tersebut yaitu filsaft danpendidikan harus dipahami secara integral sebagai filsafat pendidikan.
Menurut Attoumiy Asy Syaibani, filsafat pendidikan adalah aktivitas pikiran yang teratur dengan mempergunakan metode filsafat untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan. Dua problem utama filsafat pendidikan adalah landasan dan metode pengajaran. Sedangkan pendidikan menurutnya adalah proses pertumbuhan membentuk pengalaman dan perubahan yang dikehendaki dalam tingkah laku individu dan kelompok mlalui interaksi dengan alam dan lingkungan.
Jadi secara sederhana dapat disimpulkan bahwa FILSAFAT adalah alat yang melahirkan teori dan PENDIDIKAN adalah alat yang dipakai untuk mempraktekkan teori. Maka hubungan antara keduanya dapat disimpulkan, yaitu filsafat adalah basis dari bangunan pendidikan (filsafat sebagai induk ilmu).
Dengan memperhatikan hubungan filsafat dan ilmu di atas keduanya memiliki hubungan fungsional, yitu ilmu menjalankan fungsi filsafat dalam hal memberikan jawaban teoritis terhadap berbgai permsalahan sebagai jabaran dari kritik filsafat. Sebaliknya filsafat menjalankan fungsinya sebagai basis bagi aktivitas berbagai disiplin ilmu. Dan Islam di sini dipahami sebagai tata nilai yang berisi seperankat ajaran perilaku hidup manusia secara lengkap (aqidah, muamalah, syariah, dan ibadah) yang berasal dari wahyu Allah SWT.
J filsafat pendidikan islam adalah suatu analisis atau pemikiran rasional yang dilakukan secara kritis, radikal, sistematis dan metodologis untuk memperoleh pengetahuan tentang hakikat pendidikan islam. Untuk sampai pada pengertian tersebut perlu dikemukakan pertanyaan-pertanyaan sbb:

ÿ What : apakah pendidikan itu
ÿ How : mungkinkah manusia dididik dan melakukan pendidikan, bagaimana pendidikan dilakukan
ÿ By what : dengan apa pendidikan dijalankan
ÿ What aims : apa tujuannya
ÿ What content is : apa isi pendidikan itu
ÿ For what : untuk apa pendidikan itu dilaksanakan
ÿ What kind of : apanya manusia yang dididik
ÿ Whom : siapa yang berhak dididik
ÿ Who : siapa yang berhak mendidik
ÿ What result of : apa indikasi keberhasilan pendidikan
Jadi fungsi filsafat pendidikan Islam adalah :
ó Untuk dijadikan pedoman dan patokan dasar perencanaan dan pelaksanaan pendidikan secara dinamis sejalan dengan perkembangan dan perubahan masyarakat serta ilmu pengetahuan
ó Pemberian corak kepribadian peserta didik sesuai dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam serta kondisi sosial, budaya, ekonomi serta politik umat Islam.
ó Sedang sumber filsafat pendidikan islam adalah seluruh khazanah budaya dan ilmu pengetahuan manusia yang dapat dihubungkan dengan ajaran islam; oleh karena itu filsafat pendidikan islam adalah sebuah sintesis realisme idealistis atau idealisme realistis.
Sebagaimana ilmu yang lain filsafat pendidikan islam juga mempunyai objek materia dan objek forma. Yang dimaksud objek materia adalah adlah segala hal yang memiliki sifat fundamental yang disebut ADA. Sedang objek forma adalah substansi dan esensi dari segala yang ada tersebut atau secara gamblang adalah cara pandang atau model pendekatan yang dipergunakan untuk melihat objek materia tersebut.
Objek materia fpi : segala hal yang berkaitan dengan ushan manusia secara sadar untuk menciptakan kondisi yang memberi peluang berkembangnya kecerdasan, pengetahuan dan kpribadian atau pola kelakuan peserta didik.
Objek forma fpi : peciptaan kondisi yang memberi peluang pengembangan kecerdasan, pengetahuan dan kepribdian atau pola kelakuan sehigga peserta didik memiliki kemampuan untuk menjalani dan menyelesaikan permasalahan hidupnya dengan menempatkan islam sebagai hudan dan furqon.
Maka prinsip umum pendidikan islam terletak pda pendekatan INPUT ORIENTED peserta didik secara individual dan pendekatan proses pemberian peluang – INPUT AND PROCESS ORIENTED bukan pada OUT PUT ORIENTED karena akhirnya hanya Allah yang berhak memberi petunjuk kepada manusia, sementara manusia diberi kebebsan etis untuk tunduk atau ingkar.

maka substansi pendidikan adalah belajar mengajar dan esensi pendidikan adalah tindakan sadar. Substansi dapat dianalogikan sebagai objek material dan esensi sebagai objek formal.
Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat pendidikan islam adalah basis yang melahirkan teori-teori yang dipraktekkan dalam pendidikan islam. Atau lebih teatnya fpi sebagai basis yang melahirkan konsep-konsep teoritis ilmu pendidikan islam yang diterapkan dalam praktek pendidikan. Inilah yang dimaksud fpi sebagai basis keilmuan.

METODE YANG DIGUNAKAN DALAM MEMPELAJARI FPI

– KONTEMPLASI dan SPEKULASI
Menurut Dogebart, kontemplasi adalah pengetahuan tentang sesuatu objek yang dilawankan dengan menikmati (suatu objek) oleh pikiran yang langsung mencapai titik kesadaran (pusat kesadaran). Menurut Noorsyam, kontemplasi adalah perenungan dalam arti memikirkan sesuatu hal yang bersifat abstrak tanpa keharusan adanya kontak langsung dengan objeknya. Dalam hal ini tuhan dapat menjadi objek kontemplasi.
Sedang spekulasi adalah suatu doktrin yang didasarkan pada teori kebenaran koherensi dimana realitas dibandingkan dengan prinsip-prinsip spiritual, pikiran dan kesadaran diri. Menurut Noorsyam, spekulasi adalah perenungan dengan pikiran yang tenang, kritis dan reflective thinking, cenderung membuat analisa mencari hubungan antara masalah, berulang-ulang sampai mantap. Dua cakupan makna ini dalam terminologi Islam termaktub dalam istilah TAFAKUR. Tafakur di sini mengandung unsur FIKR dan NADHAR – pengamatan.
dengan bertafakur kita akan sampai pada hakikat kebenaran seperti taqdir, iman, islam, manusia, alam, pencipta, konsep hidup. Dalam formulasi ayat tersebut kita harus sampai maqam ZIKIR.
– NORMATIF
Normatif artinya nilai, aturan, hukum. Melalui pendekatan ini fpi harus melahirkan norma-norma, patokan-patokan, nilai tentang pendidikan islam yang merujuk pada sumber nilai islam. Sebagai analog dalam fpi dikenal pendekatan syar’iyyah atau dalam ijtihad fiqhiyah istihsan, maslahatul mursalah, al’adah muhakamah.
– ANALISA KONSEP DAN ANALISA BAHASA
Menurut Zuhairini, konsep adalah tangkapan, atau pengertian seseorang terhadap sesuatu objek. Setiap orang mempunyai tangkapan yang berbeda-beda terhadap satu objek yang sama. Tangkapan seseorang ini diemukakan melalui bahasa yang mengandung pengertian dimana ia dibatasi oleh ruang dan waktu. Dalam khazanah islam dikenal istilah TAFSIR dan TA’WIL. Ta’wil adalah penjabaran sesuatu konsep secara interpretatif dan tafsir adalah penjabaran sesuatu dari tinjauan bahasa.
– SEJARAH
Sejarah secara umum dipahami sebagai catatan atas peristiwa yang telah berlalu. Catatan ini bisa dalm bentuk peninggalan monumental atau catatan berbentuk tulisan. Dalam islam sejarah ini merupakan bagian besar yang dijabarkan oleh wahyu; sehingga manusia dapat mengambil hikmahnya. M Baqir Ash Shadr dalam bukunya Sejarah dalam Perspektif Alquran menemukan hal-hal sbb :
☺ Jika terjadi kerusakan di muka bumi maka azab Allah akan menimpa secara merata pada seluruh kaum tanpa pandang bulu, orang salih atau fasid
☺ Tiap-tiap umat ada batas waktunya
☺ Ada pergiliran hukum sejarah yang menang dan kalah sesuai dengan kadar terpenuhinya persyaratan atasnya secara objektif tanpa membeda-bedakan salih dan fasid
maka karakteristik hukum sejarah adalah :
universal
hukum-hukum masyarakat mempunyai segi ilahiah atau ciri ketuhanan
hukum sejarah konsisten dengan kebebasan manusia
– ILMIAH
Metode ilmiah adalah suatu cara untuk mencari jawab atas sesuatu yang didasarkan pada pengamatan, eksperimentasi dan konseptualisasi teoritis. Di sini tampak hubungan fungsional antara filsafat dan ilmu pendidikan.

LANDASAN KEILMUAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

METAFISIKA
METAFISIKA menurut Pudjo Wijatno adalah sesuatu di luar sesuatu yang bersifat fisik atau dibalik yang fisik. Dalam struktur keilmuan metafisika adalah salah satu cabang filsafat yang mempersoalkan hakikat kebenaran itu sendiri terlepas dari objek itu sendiri. Dalam kaitannya dengan FPI, metafisika adalah kebenaran yang dikaitkan dengan kebenaran ilahiah yaitu menempatkan ALLAH sebagai kebenaran mutlak dimana di luar diriNya hanyalah mungkin atau relatif. ALLAH sebagai wajibul wujud atau dalam khazanah filsafat dikenal dengan necessary being. Logikanya penalaran ini berdasarkan kalimah tauhid laa ilaah illa allah. Kalimat ini terdiri dari dua bagian yaitu laa ilaah yang menegasikan seluruh ilah dan illa allah yang mengafirmasi satu saja yang benar, yaitu Allah. Nilai kebenaran ini mutlak karena menempatkan Allah sebagai “yang bukan alam” sebagai necessary being yang berarti sesuatu selainnya adalah nothing atau being of.
Implikasi pemahaman ini adalah dengan memahami kebenaran konsepsi metafisika ini telah menempatkan Allah sebagai necessary being – wjibul wujud sehingga sesuatu yang datangnya dari Allah akan bernilai mutlak. Jadi dasar kebenrannya adalah wahyu yaitu Alquran sebagai dasar pengembangan kependidikan Islam dan tujuannya adalah ridho Allah.
H.M. Arifin merumuskan secara definitif tujuan pendidikan Islam yaitu menjadikan anak didik sebagai muslim sejati yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam serta menjadi hamba Allah yang berkepribadian.
Jadi dengan logika pemahaman demikian telah menjadikan manusia bermartabat dimana ketinggian martabatnya itu tergantung pada usahanya. Selain Allah bisa ADA bisa juga TIDAK ADA. Artinya jika ADA-nya ditinjau dari manfaa kemanusiaan sebenarnya tidak perlu ADA maka ikhtiarlah yang diperlukan. Demikian juga sebaliknya. Tetapi untuk mengADAkan sesuatu atau meniADAkan sesuatuharus berdasar pada ketentuan Allah sebagai dasar normatifnya.
EPISTEMOLOGI
Tinjauan bahasa berasal dari bentukan epistemei dan logos. Epistemologi berarti ilmu tentang pengetahuan manusia atau sering dikatakan sebagai teori pengetahuan. Dalam pendidikan islam perwujudan bangunan epistemologis yang pertama adalah meletakkan wahyu sebagai kebenaran mutlak, sebagai dasar ontologis eksistensi kebenarannya.
Yang kedua logika pembuktiannya dirubah, yaitu :
V Pembuktian kebenaran formal diganti dengan pembuktian material dan substansial. Contohnya : kebenaran yang dijadikan pegangan bukan hanya berdasar pada kenyataan teoritis atau kesesuaian dengan akal tapi harus sampai pada pembuktian pada materi dan substansi masalahnya.
V Pembuktian kategorik diganti dengan pembuktian probabilistik. Contohnya : eksistensi sebuah kebenaran tidak dianggap secara kategorik berlaku terus benar tapi secara probabilistik punya peluang yang sama untuk senantiasa berubah mengikuti hukum ruang waktu yang melingkupinya.
Yang ketiga, epistemologi yang dibangun dengan penawaran dua postulasi, yaitu :
V Semua yang gaib (zat Allah, surga, neraka, alm barzah) itu adalah urusan Allah, bukan kawasan ilmu. Sedang alam semesta adalah kawasan ilmu yang dapat dijelajahi.
V Manusia adalah makhluk yang dhoif, lemah dibandingkan kebijaksanaan Allah sehingga kebenaran mutlak dari Allah tidak tertangkap oleh manusia. Pada dataran ini manusia hanya mampu menangkap kebenaran Alquran pada tingkatan relatif dan eksistensinya hanyalah sampai pada probabilistik.
Di sini sekaligus sudah dapat dilihat bahwa epistemologi yang ditawarkan bernuasa aksiologi islami. Sehingga ontologi substansi kebenaran dalam Islam mempunyai empat strata kebenaran, yaitu :
@ Empirik sensual sebagai ayah (tanda/ bukti)
@ Empirik logik sebagai isyarah(isyarat/ teoritis)
@ Empirik etik sebagai hudan (petunjuk)
@ Empirik transendental sebagai hikmah (filosofis).
Dari seluruh penjelasan tadi dapat disusun suatu kerangka paradigmatik tentang pendidikan Islam sbb :
Pertama, asumsi dasar yang dipakai adalah adanya pengakuan terhadap adanya keteraturan alam semesta dimana keteraturan ini ciptaan Allah. Filsafat yang mengakui adanya keteraturan alam adalah realisme metafisik.
Kedua, postulasi ontologiknya, keteraturan tersebut tampil dalam eksistensi kebenaran multi faset atau multi strata, yaitu sensual, logik, etik dan transendental.
Ketiga, postulasi aksiologisnya : ilmu pendidikan itu ilmu normatif sehingga perlu dan harus diorientasikan kepada nilai baik yang insaniah dan yang ilahiah.
Keempat, tesis epistemologis utamanya : wahyu adalah kebenaran mutlak.
Kelima, tesis epistemologis I : karena dhoif nya maka kebenaran yang dapat dijangkau oleh manusia hanyalah kebenaran probabilistik.
Keenam, tesis epistemologis II : wujud kebenaran yang dapat dicapai dapat berupa eksistensi sensual, logis, etis dan transendental.
Ketujuh, tesis epistemologis III : karena kebenaran yang dapat dijangkau manusia adalah kebenaran probabilistik maka logika untuk pembuktiannya adalah logika probabilistik.
Kedelapan, tesis epistemologis IV : untuk pemahaman hubungan antara manusia dengan alam sejauh tidak berkaitan dengan nilai baik yang insaniah maupun yang ilahiah, model pembuktiannya adalah induktif probabilistik.
Kesembilan, tesis epistemologis V : untuk pemahaman beragam tersebut jika terkait dengan nilai, model pembuktiannya deduktif probabilistik.
Kesepuluh, tesis epistemologis VI : untuk menerima kebenaran mutlak nash, model logika yang dipakai adalah reflektif probabilistik dengan terapan tematik.
AKSIOLOGI
Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai pada umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Salah satu hasil dari penelitian kefilsafatan tentang nilai ialah pembedaan antara yang bernilai dan yang diberi nilai, antara nilai intrinsik dan instrumental, antara keharusan dan kenyataan. Menurut LO Kattsoff hakikat nilai antara lain :
a Nilai sebagai kualitas empiris dan tidak dapat didefinisikan.
a Nilai sebagai objek suatu kepentingan
a Nilai sebagai hasil pemberian
a Nilai sebagai esensi
Jadi pada dasarnya AKSIOLOGI itu mempelajari tentang kebernilaian sesuatu. Maka dalam konsep islam kebernilaian sesuatu itu dikaitkan dengan Islam. Jadi sesuatu itu akan bernilai jika dikembalikan pada inti ajarannya yaitu SYAHADAT.
Jika kebernilaian sesuatu dalam Islam dipersyaratkan sebagai MUSLIM maka pada dasarnya ia telah berdiri di atas SYAHADAT sebagai persaksian sekaligus perwujudan. Kematian janganlah hanya untuk kematian saja karena akan tidak berarti sama sekali. Kematian adalah untuk SYAHADAT sebagai bukti persaksian dan perwujudannya.
FILSAFAT MANUSIA
Pendidikan adalah tindakan khusus yang hanya dapat dilakukan oleh manusia langsung maupun tidak langsung. Bahkan hanya manusialah yang mampu mencerna secara sempurna pendidikan dari Tuhan melalui kemampuan intuitifnya. Jadi dalam pendidikanlah manusia mempunyai keunggulan komparatif dibandingkan dengan makhluk Tuhan yang lain. Keunggulan komparatif ini pula yang menyebabkan manusia diberi kedudukan yang sangat tinggi di mata Tuhan sebagai khalifah. Mengikuti pendapat Naquib Al Attas, tarbiyah berasal dari akar kata rab yang artinya mendidik. Jadi wajarlah jika manusia mendapat perhatian istimewa karena ternyata ia memang memilki “kemampuan ketuhanan”. Maka pembahasan tentang pendidikan adalah pembahasan tentang manusia.
Persoalan manusia adalah persoalan abadi. Kehadirannya dalam percaturan dunia setua manusia itu sendiri. Manusia sebagai diri adalah pengada bertanya. Ia bertanya pada diri sendiri siapakah ia. Pertanyaan itu bukanlah soal biasa yang dapat dengan mudah dipuaskan hanya dengan satu jawaban. Manusia selalu harus diperlakukan sebagai tujuan dan nilai yang berharga dalam dan untuk dirinya sendiri.
Jawaban atas pertanyaan apa, siapa, bagaimana, mengapa, untuk apa manusia ada selalu menghiasi sejarah perkembangan ilmu pengetahuan. Sokrates mulai memberi jawaban sebagai pengantar filsafat manusia gnoti seauton, kenalilah dirimu. Jawaban Sokrates menuntut berbagai konsekuensi. Meskipun ia tidak perlu mengenal dan mengerti segala hal, setidaknya ia harus mengenal serta mengenal dirinya sendiri secara cukup mendalam untuk dapat mengatur sikapnya dalam hidup. Tetapi untuk dapat mengatur diri, untuk dapat membedakan apa yang baik atau buruk baginya, ia harus sudah memperoleh pandangan yang cukup tepat tentang apakah hakikat sifat manusia itu, kemampuan apa yang dimiliki oleh sifat manusiawi itu dan apa yang dicita-citakannya, apa yang benar-benar dapat mengembangkan serta menyempurnakannya. Sebab semua orang yakin, atau setidak-tidaknya mempunyai rasa, bahwa pribadinya merupakan suatu hal yang berharga, yang perlu dikembangkan dan dilaksanakanan (Leahy, 1989 : 2).
Akhirnya apakah sebenarnya manusia itu, apakah yang memang khas bagi sifat manusiawi, apakah yang membuat manusia itu berkedudukan di atas makhluk-makhluk lainnya, dan apakah yang membentuk harga dirinya. Inilah sebenarnya eternal question itu.
Untuk memulai menyusun suatu pandangan kefilsafatan tentang manusia perlu disadari tentang adanya keberatan-keberatan yang dihadapi. Kenyataan yang dihadapi adalah manusia tidak dapat dipahami sebagai apa dirinya terlepas dari konteks kesejarahannya. Adalah benar bahwa ilmu-ilmu pengetahuan dan seni serta sastra telah banyak mengajar kita mengenai aspek-aspek manusia yang berbeda-beda, pelbagai tahap dalam pertumbuhan serta evolusinya. Filsafat berdiri di tempat yang berbeda dari semua ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Posisi beda inilah awal dari semua kesulitan filsafat manusia. Bagi Sastraprateja manusia adalah makhluk yang histories. Hakekat manusia sendiri adalah suatu sejarah, suatu peristiwa dan bukan semata-mata suatu datum. Apa yang diperoleh dari pengamatan atas pengalaman manusia adalah rangkaian anthropological constants yang terdiri dari (a) relasi manusia dengan kejasmanian, alam dan lingkungan ekologis; (b) keterlibatan dengan sesama; (c) keterikatan dengan struktur social dan institusional; (d) keteergantungan masyarakat dan kebudayaan pada waktu dan tempat; (e) hubungan timbal balik antara teori dan praksis; (f) kesadaran religius atau para-religius (Sastraprateja, 1983 : ix). Pembatasan ini dapat dipakai untuk menyusun suatu kerangka konseptual tentang filsafat manusia.
Dari uraian terdahulu dapat disimpulkan bahwa manusia disebut makhluk metafisik. Maksudnya, manusia adalah makhluk yang mampu berpikir, bernalar. Manusia tidak saja mampu memikirkan dan memahami apa yang dilihatnya secara empiris dan yang bersifat relatif, tetapi juga, dan lebih dari itu, ia mampu mengatasi semua itu. Manusia dengan kata lain mampu melihat sesuatu yang mutlak di balik suatu benda. Ide mengenai yang ada, mengenai yang mutlak dan sang realitas merupakan pusat dan dasar semua metafisika. Berdasar kenyataan ini manusia dapat dikatakan dari hakikatnya, metafisik. Ia dalam pengetahuan dan seluruh eksistensinya melebihi kodrat : Homo additus naturae (Bagus, 1991 :5).
Tesis homo additus naturae sebenarnya dapat dijadikan sebagai penyimpul seluruh tesis tentang manusia. Para filosof memberikan jawaban berupa tesis-tesis yang kadang tampak berlawanan. Bagi Plato dan Plotinos, manusia adalah makhluk ilahi. Bagi Epikuros dan Lukretius, manusia adalah suatu makhluk yang berumur pendek, lahir karena kebetulan dan tak berisi apa-apa. Tesis-tesis ini bagi para filosof pembuatnya bukan hanya tesis kosong tanpa isi. Mereka bertindak sesuai dengan tesis yang mereka buat sampai batasan tertentu.
Tesis tentang manusia tidak hanya monopoli para filosof Yunani dan filsof Barat lain. Di belahan Timur bahkan mendapat porsi lebih besar. Manusia dianggap sebagai mikrokosmos yang mewadahi alam besar makrokosmos. Sebagai mikrokosmos manusia dipandang pusat aktivitas alam semesta yang sampai batas tertentu bercorak antroposentris. Jadi sebagai diri wujud, manusia adalah mikrokosmos tapi realitas yang mampu dijabarkannya adalah realitas makrokosmos. Situasi ganda ini menempatkan ia pribadi unik.
Kenyataan menunjukkan bahwa di dalam diri manusia terdapat kesatuan (unitas) dan sekaligus keberagaman (kompleksitas) yang tidak mungkin disangkal kebenarannya. Unitas dan kompleksitas jatidiri manusia inilah yang memberikan kekayaan kepada manusia, tetapi sekaligus menyebabkan kesulitan untuk memahaminya secara tepat apa dan siapakah aku, apa dan siapakah jatidiriku. Unitas dan kompleksitas jatidiri inilah yang menyebabkan timbulnya bermacam-macam pendapat mengenai jatidiri manusia (Hadi, 2000 : 26).
Bagi F. Schuon (1997 : 85) manusia pertama-tama dicirikan oleh sebuah inteligensi sentral atau total. Kedua ia (manusia) ditandai oleh kehendak bebas bukan sekedar insting. Ketiga, dicirikan oleh kemampuan mengasihi dan ketulusan bukan sekedar refleks-refleks egoistis. Di sini Schuon menempatkan inteligensi sebagai yang utama meskipun makna inteligensi menurutnya berbeda dari makna yang umum dipakai oleh ahli-ahli lain. Inteligensi bagi Schuon adalah persepsi tentang yang nyata, dan a fortiori persepsi tentang yang Nyata itu sendiri. Ia, ipso facto, sesuai kenyataannya, adalah pembeda antara yang Nyata dan yang tidak nyata – atau yang kurang nyata (Ibid., 3).
Beberapa persoalan di seputar pandangan filsafat manusia di atas sebenarnya hanyalah gambaran bagaimana susahnya membahas manusia dan pendidikan. Untuk memudahkan penelusuran jawaban yang diperlukan di sini adalah sikap memihak dari berbagai macam pandangan yang dilakukan secara kritis. Pemihakan di sini bukan berarti prejudice bagi yang lain tapi lebih sebagai pembatasan masalah.
Filsafat secara umum menganggap manusia (The Liang Gie, 1998: 31-32) sebagai sebuah tingkatan ke-manusia-an dimana manusia tersususn sebagai sebuah sistem yang menyerupai karakter pendahulunya, yaitu tingkatan hewani. Manusia mempunyai mobilitas yang lebih tinggi, kebiasaan teologis, kesadaran diri, membangun informasi dalam sebuah imaji dan pandangan menyeluruh dari lingkungan. Pada sisi lain tingkatan “human” adalah satu karakter unik yang ditandai dengan kesadaran diri. Manusia tidak hanya tahu, tetapi dia tahu bahwa dia tahu. Manusia tidak hanya merasa bahagia dan sedih tapi sadar bahwa dia bahagia dan sedih. Unisitas manusia yang lain adalah lompatannya dalam penggunaan bahasa dan simbol. Manusia berbeda dari semua sistem kehidupan lain dalam hal kemampuannya memproduksi, menyerap dan menafsirkan simbol. Imajinya tentang lingkungan juga lebih menyeluruh dan kompleks terutama tentang waktu, relasi dan bahkan tentang kematian.
Pandangan umum filsafat sebagaimana terwakili pendapat di muka menempatkan manusia sebagai tingkatan yang mempunyai kemungkinan tak terbatas dalam keterbatasannya sebagai manusia. Lebarnya kemungkinan manusia menjadikannya pribadi mandiri makhluk Tuhan. Inilah kedudukan kodrat manusia (Damardjati, 1993: 8). Pengakuan ini penting karena seberapun kemampuan manusia ia tidak bisa menolak akan keberadaan “sang ada” apapun itu kemudian disebut. Kearifan sikap pada dasarnya tidak akan mengurangi apapun pada predikat “human” yang disandangnya.
Pada sisi lain eksistensi manusia tidak hanya berada dalam ruang – waktu tapi juga dalam sejarah. Bagi Hegel, sejarah adalah sejarah kesadaran. Pikiran baik dalam arti subjek berpikir maupun objek yang dipikirkan pada dasarnya adalah sesuatu yang bukan bendanya. Dalam diri subjek pikiran adalah kata kerja – berpikir. Aktifitas berpikir tidak terletak dalam otak (cerebrum) tetapi dalam kesadaran diri subjek berpikir. Letak kesadaran (manusia) tidak berada dalam otaknya tetapi dalam seluruh totalitas dirinya. Otak dalam dirinya sendiri bersifat pasif dan netral. Ia hanyalah fasilitator yang lugu dan intensionalitas kesadaran (diri) lah sebenarnya penyebab otak bekerja. Hukum-hukum logis diterima begitu saja secara niscaya oleh otak sebagai sesuatu yang harus diterima sebagai benar. Mengapa demikian ? Otak sebagai mesin hanya dapat bekerja jika telah ada kesepakatan-kesepakatan kesadaran diri diantara manusia menetapkan sesuatu sebagai begitu saja benar. Penerimaan sebagai ada - benar ini oleh kesadaran diri terjadi secara intuitif, tak terkatakan.
Secara umum kesadaran ini berisi kegiatan sadar dan isi. Kesadaran akan isi atau objeknya akan membawa kesadaran langsung; sementara kesadaran akan kegiatan sadar membawa kesadaran tak langsung yang bersifat refleksif (J.Sudarminta, 2002 :62). Bahkan kesadaran akan sesuatu selalu bersifat intensional. Artinya, kesadaran selalu mengarahkan diri pada objeknya baik benda fisik, gagasan atau yang lain. Jadi kesadaran tidak pernah tanpa keterarahan pada objek tertentu. Kehidupan manusia akhirnya adalah kehidupan yang bertujuan. Tujuan dalam kehidupan manusia adalah sesuatu yang dibentuk, direncanakan dan diusahakan oleh dirinya sendiri. Agama meskipun memberi panduan bagi manusia untuk membentuk tujuan hidupnya tetaplah berada di luar kehidupan manusia itu sendiri tetapi dalam jangkauan kesadarannya. Agama dengan demikian berada dalam wilayah kesadaran manusia.
Dari upaya peneguhan teoritik sebagaimana uraian terdahulu muncul pertanyaan sederhana, apakah manusia dalam usia dini juga masuk dalam cakupan teoritis tersebut. Jawaban atas pertanyaan sederhana ini tidak sesederhana pertanyaannya. Secara umum cakupan teori tersebut berlaku umum pada makhluk yang bernama manusia, tetapi pada dataran praktis banyak hal yang harus diberi penjelasan tambahan.
Hal kedua yang harus menjadi fokus adalah pendidikan. Pendidikan khususnya pendidikan Islam harus dirumuskan terlebih dahulu untuk menerapkan seperangkat teori tentang filsafat manusia tersebut. Di sini dipakai istilah filsafat manusia bukan berarti kajian ini menjadi kajian filsafat manusia tapi lebih tepat kajian filsafat tentang manusia dalam pendidikan.Pendidikan Islam sebagai sebuah konsep mempunyai dua wilayah yaitu wilayah teoritis dan wilayah praktis. Wilayah teoritis mencakup bidang-bidang keilmuan yaitu Ilmu Pendidikan Islam dan Filsafat Pendidikan Islam. Ilmu Pendidikan Islam membicarakan konsep-konsep teoritis tentang pendidikan. Konsep-konsep teoritis tersebut mencakup pengertian pendidikan Islam, fungsi pendidikan Islam, dasar dan tujuan pendidikan Islam, isi pendidikan Islam, tanggung jawab pendidikan Islam, pendidikan Islam sebagai sebuah sistem dan kedudukan manusia dalam pendidikan Islam. Konsep-konsep tersebut dijabarkan secara teoritis dan faktor-faktor yang melingkupinya. Filsafat sebagai sebuah metode berfikir sistematis, kritis, universal tentang yang ada memberikan ruang cukup luas bagi penemuan hakekat pendidikan Islam. Filsafat pendidikan Islam dengan demikian adalah penerapan metode kefilsafatan pada umumnya untuk mengkaji pendidikan Islam sebagai sebuah objek kajian. Kerangka pemikiran dan pendekatan metodik (obyek formal) tersebut menunjukkan bahwa filsafat adalah kerangka analisis yang penting karena hasilnya akan menentukan bagaimana pengelolaan dan sistematisasi kegiatan kependidikan Islam. Secara teknis filsafat pendidikan Islam adalah suatu analisis yang bersifat rasional dengan pendekatan kritis, radikal yang dilakukan secara sistematis dan metodologis untuk memperoleh pengetahuan mengenai hakikat pendidikan Islam. Hasil yang didapat melalui proses filsafat tersebut menjadi bahan untuk merumuskan teori dan konsep yang terdapat dalam ilmu pendidikan Islam. Sedang hasil dari telaah filsafat pendidikan Islam dan teoritisasi ilmu pendidikan Islam inilah yang membentuk bangunan pendidikan Islam secara praktis.
Untuk dapat merumuskan pendidikan Islam dengan baik perlu dijelaskan apa yang dimaksud pendidikan Islam itu. Pendidikan Islam dapat dipahami dalam dua pengertian yaitu pendidikan yang diselenggarakan oleh orang Islam dan pendidikan yang berlandaskan Islam. Konsekuensi dari dua pengertian tersebut adalah segala bentuk pendidikan yang diselenggarakan oleh orang Islam dapat disebut sebagai pendidikan Islam. Pengertian yang pertama ini menafikan cara (metode), isi pendidikan, tujuan dan ruang lingkup pendidikannya apakah sesuai dengan ajaran Islam. Pengertian kedua mempunyai konsekuensi siapapun yang melaksanakan suatu bentuk pendidikan asal berlandaskan ajaran Islam disebut pendidikan Islam. Islamologi dan Islamic Studies termasuk dalam cakupan pengertian kedua meskipun penyelenggaranya bukan orang Islam.
Pendidikan Islam dalam arti pertama mengandung banyak kelemahan. Secara substansial terdapat perbedaan yang menonjol antara pendidikan umum dengan pendidikan Islam. Perbedaan tersebut terdapat dalam konsep metafisika, epistemologi dan aksiologi.
Dalam menyelenggarakan pendidikan diperlukan pendirian mengenai pandangan dunia yang bagaimanakah yang diperlukan. Inilah yang dimaksud kajian metafisika (Barnadib, 1994 : 21). Pandangan metafisika akan membentuk jiwa pendidikan. Dalam pendidikan umum pandangan metafisika sebanyak aliran dalam filsafat pendidikan. Metafisika dalam pendidikan membentuk tujuan pendidikan. Pandangan metafisika ini pada akhirnya akan membentuk epistemologi.
Masalah epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan (Kattsoff, 1996: 135). Epistemologi diperlukan antara lain dalam hubungan dengan penyusunan dasar-dasar kurikulum. Kurikulum diartikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan pendidikan. Bangunan epistemologi yang dibuat haruslah sesuai dengan pandangan dunia yang menjadi tujuan pendidikan. Jadi aliran dalam epistemologi sebanyak aliran yang terdapat dalam metafisika.
Aksiologi didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari cara-cara yang berbeda dalam mana sesuatu dapat baik atau buruk, yaitu mempunyai akibat positif atau negatif dan hubungan nilai menilai di suatu pihak dan dengan fakta-fakta eksistensi objektif di pihak lain (Fatimah, 1992: 56). Aksiologi sebagai cabang filsafat yang mempelajari nilai-nilai dekat pula dengan ilmu pendidikan, karena dunia nilai menjadi dasar pendidikan pula dan karenanya selalu dipertimbangkan dalam penentuan tujuan-tujuan pendidikan. Pandangan aksiologi dipengaruhi oleh pandangan metafisika dan epistemologi namun pada akhirnya mempengaruhi pandangan metafisika dan epistemologi. Perumusan tujuan tanpa memperhatikan prinsip-prinsip dari dunia nilai adalah hampa. Pendidikan sebagai fenomena kehidupan sosial, kultural dan keagamaan tidak dapat dari sistem nilai.
Tiga pilar yang menyangga bangunan pendidikan tersebut akan sangat menentukan wajah pendidikan. Dalam sistem pendidikan umum tiga pilar tersebut sangat dipengaruhi pandangan dunia barat yang dominan yaitu empirisme dalam berbagai wajah. Jiwa empirisme yang membatasi hanya pada kajian pengalaman fisik, rasional dan ideal akan membentuk struktur kesadaran pada dataran material.
Jadi pendidikan yang didasarkan pada norma-norma demikian akan sangat berbeda dengan pendidikan yang didasarkan pada ajaran-ajaran Islam. Perbedaan tersebut memunculkan pengaruh yang berbeda dalam kehidupan sosiokultural.
Pandangan Islam tentang metafisika adalah substansi kebenaran mengandung pengertian bukan sekedar kebenaran obyektif yang memerlukan upaya mencari tahu (Muhadjir, 1994: 5). Asumsi dasar yang dipakai adalah mengakui keteraturan alam semesta. Keteraturan tersebut adalah ciptaan Allah.
Dalam bidang epistemologi Islam memandang bahwa wahyu adalah kebenaran mutlak. Kebenaran ilmu yang dapat dicapai relatif. Pandangan ini sangat berbeda dengan telaahan epistemologi pada umumnya.
Aksiologi Islam menempatkan ilmu adalah instrumen bagi peran ketuhanan. Pemahaman mengenai struktur transendental ilmu menjadikan ilmu sarat nilai. Nilai tersebut adalah nilai-nilai ketuhanan.
Pendidikan Islam dibangun diatas ketiga pilar tersebut sehingga mempunyai bentuk yang berbeda dari sistem pendidikan lain. Jadi pendidikan Islam adalah pendidikan yang mendasarkan pandangan metafisika, epistemologi dan aksiologinya pada norma norma Islam.

FILSAFAT MEMBACA MANUSIA

Apa yang sebenarnya dicari oleh filsafat adalah kearifan. Kearifan itu telah mulai dicari sejak 25 (dua puluh lima) abad yang lalu. Socrates tidak memberi jawaban sebagaimana para filsuf sesudahnya. Sebuah kisah pencarian yang penting adalah ilustrasi seorang filsuf yang lagi termenung dan tiba-tiba wajahnya berubah-ubah. Ia berseru aku tahu-aku tahu apa yang aku cari. Kearifan itu adalah manusia maka aku akan mencari manusia. Dengan obor di tangan sang filsuf berlari-lari sambil berujar di mana manusia, di mana manusia, aku mencari manusia. Socrates 25 abad yang lalu tidak menjawab hanya tersenyum sambil berujar gnoti seauton ! Socrates mengajarkan kearifan bukan mendiskusikan kearifan. Apa yang dilakukan oleh Socrates tersebut telah menyadarkan berpuluh-puluh filsuf untuk arif pada dirinya sendiri. Kearifan-kearifan pada diri itulah yang melahirkan tesis-tesis tentang manusia. Manusia ternyata adalah unfinished reality.
Manusia bukan hanya homo erectus, makhluk yang dapat tegak berdiri atas kedua kakinya. Tubuhnya yang tegak pada dasarnya mewartakan bahasa batin. Keunikan ini hanya dimiliki oleh manusia sebagai homo erectus. Simbol ketegakan tubuhnya sebenarnya adalah citra pribadi mandiri.
Di samping ia makhluk yang tegak beridiri ia juga makhluk yang suka membuat alat, homo mechanicus. Kegemaran membuat alat bukan sekedar permainan belaka tapi mempunyai tujuan bagi kehidupannya. Bagi Heidegger, dorongan ketakutan fundamental akan kematian menjadikan manusia terus bersibuk-sibuk menggarap teknik, bermain dengan permainan dan aturan-aturannya (rule of games), yang dilakukannya sepanjang hidup guna melupakan jati-dirinya sebagai ada-menuju-kematian (Siswanto, 1998 : 126). Dalam pandangan Heidegger sebagai homo mechanicus manusia menemukan ruang ekspresi yang cukup untuk berkarya mencipta alat karena kedhaifannya di hadapan kematian yang pasti, karena kematian adalah ada dan milikku sendiri. Kreativitas mencipta manusia pada dasarnya karena ia inferior di hadapan kuasa kematian.
Homo mechanicus ada bersama homo ludens, makhluk bermain. Perbedaan utama antara keduanya terletak pada keluasan cakupannya. Pada tingkatan mekanik, kegiatan mencipta alat oleh manusia terbatas pada citra fisiknya maka ia lebih dekat dengan homo erectus. Tingkatan manusia sebagai homo ludens mencakup wilayah-wilayah yang lebih abstrak. Hakikat permainan bagi manusia adalah kebebasan (Huizinga, 1990: 11). Permainan berbeda dengan “yang sungguhan”. Unsur pembeda antara “permainan” dan “yang sungguhan” terletak pada kesadaran dan tujuan yang menyertainya. Perminan dalam bentuk apapun dibuat dengan tujuan bermain itu sendiri bukan sesuatu di luarnya, walaupun di dalamnya terdapat unsur kesungguhan. Permainan muncul dalam keadaan sukarela. Sifat sukarela ini disadari oleh mereka yang ikut dalam permainan tersebut sehingga tercipta suatu rule of games. Sifat bermain ini bahkan terus dipupuk oleh manusia sampai ia dewasa.
Gabungan ketiga tesis tentang manusia sebagai homo erectus, homo mechanicus dan homo ludens akan membentuk kualitas baru yaitu homo faber, manusia tukang. Kemampuan manusia sebagai tukang meliputi kecakapan ketiganya. Artinya manusia adalah makhluk yang mampu berdiri sendiri sekaligus ia juga sebagai “tukang” pembuat alat dan “tukang” bermain. Homo faber menempatkan manusia sebagai ahli yang berbeda dengan makhluk lain. Ia di samping ahli mekanik juga ahli dalam konstruksi abstrak.
Gagasan lain tentang manusia adalah homo sapiens, makhluk bijaksana. Kebijaksanaan manusia dalam konsep homo sapiens terletak dalam kemampuannya sebagai animal rationale dan animal symbolicum. Sebagai animal rationale manusia adalah makhluk bijaksana yang mempunyai rasio tinggi sebagai alat pengenalan atas realitas. Realitas bagi manusia ditangkap sebagai simbol-simbol bahasa. Di sini bahasa memegang peranan vital dalam kehidupan manusia karena ia berperan sebagai pengungkap simbol-simbol. Kemampuan mengenal dan membuat simbol pada manusia tak terbatas dan terus berkembang. Jadi kebijaksanaan manusia adalah akibat anugerah rasional dan simbolik yang diterimanya.
Tesis lain tentang manusia adalah homo recentis¸ makhluk yang peka menerima sesuatu. Kepekaan pada manusia tidak sama dengan kepekaan instinktif pada hewan dan tumbuhan. Kepekaan pada hewan sangat terbatas dan tidak pernah berubah atau berkembang. Pada diri manusia kepekaan menjadi tidak terbatas sesuai dengan kehendak untuk mengembangkannya. Munculnya satu kepekaan pada manusia tidak secara otomatis menghilangkan kepekaan yang telah dimiliki se belumnya. Kepekaan ini bahkan dapat dilatih, dimunculkan, dibuat varian dan dihilangkan sesuai dengan kebutuhannya. Daya jangkau kepekaan yang dimiliki manusia tidak hanya dalam kawasan-kawasan empirik tetapi juga meta empirik.
Manusia di samping memiliki kepekaan juga memiliki hasrat bertualang. Homo volens, makhluk bertualang atau pencari adalah salah satu karakter khas manusia. Sebagai makhluk petualang sekaligus pencari, manusia mencari sesuatu tidak hanya berdasar kebutuhan sesaat atau atas dasar instink yang dimilikinya. Di sini pencarian tertinggi manusia adalah kebenaran. Jadi manusia adalah makhluk pencari kebenaran. Akhirnya kedua tesis ini, homo recentis, homo volens, menyatu menjadi homo mensura, makhluk penilai.
Manusia sebagai homo mensura adalah makhluk penilai yang mempunyai pertimbangan-pertimbangan. Pertimbangan pada manusia selalu berada dalam wilayah kesadarannya. Tindakan menilai pada manusia pada dasarnya menunjukkan hakikat kemanusiaannya, karena hanya manusialah yang mempunyai kemampuan menilai. Homo faber dan homo mensura menyatu menjadi homo educandum (Supadjar, 1993: 84).
Homo educandum menempatkan manusia lebih tinggi dari makhluk yang lain. Pada manusia pemenuhan diri hanya akan optimal melalui kegiatan pendidikan. Tindakan pendidikan merangkum sebagian besar potensialitas manusia pada susunan kodratnya.
Sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu sosial muncul dalam tesis-tesis homo economicus dan homo socius. Tesis homo economicus menempatkan manusia sebagai individu yang senang bertransaksi untuk memenuhi kebutuhan pribadinya. Kegiatan memenuhi kebutuhan pribadi merupakan sifat kodrati manusia yang mementingkan diri sehingga menimbulkan persaingan antarpribadi. Persaingan ini muncul karena di antara manusia masing-masing kebutuhannya ingin terpenuhi.
Di samping keinginan untuk memenuhi segala kebutuhannya manusia juga membutuhkan sosialisasi dengan yang lain. Sosialisasi ini pada dasarnya adalah upaya aktualisasi diri di tengah-tengah pribadi-pribadi lain. Pengakuan orang lain menjadi tujuan dari tindakan sosial ini. Hal itu penting karena tingkat pengakuan orang lain akan menjamin eksistensinya sehingga tingkat penerimaan menjadi tolok ukur bagi keberhasilan sosialisasinya.
Di samping sifat kodratnya, manusia mempunyai kedudukan kodrat sebagai homo religiosus dan homo viator. Homo religiosus menempatkan kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan. Bagi Mircea Eliade, Homo religiosus adalah tipe manusia yang hidup dalam suatu alam yang sakral, penuh dengan nilai-nilai religius dan dapat menikmati sakralitas yang ada dan tampak pada alam semesta, alam materi, alam tumbuh-tumbuhan, alam binatang dan manusia (Mangunhardjono, 1983: 38). Kesadaran akan kedudukan kodratnya sebagai makhluk Tuhan ini pada akhirnya akan menjadikan dirinya sebagai pribadi mandiri, homo viator. Manusia sebagai pribadi mandiri menjadi pusat dari tata kosmis. Ini tidak berarti bahwa setiap manusia dapat mencapai keutuhan pemenuhan diri tersebut karena sifat bebasnya akan memberinya pilihan. Tesis homo religiosus dan homo viator menyatu menjadi homo concors, yaitu makhluk yang siap untuk transformasi diri dan adaptif. Pada capaian tertinggi sebagai homo concors manusia telah menjadi pribadi paripurna yang kebaikannya mengatasi seluruh alam semesta.
ANCANGAN MODEL PENDIDIKAN
Pembacaan filsafat atas manusia telah memberi secara komprehensip pengenalan akan siapa sebenarnya manusia itu. Pendidikan seharusnya dibangun di atas fondasi filsafat, khususnya filsafat manusia. Sebagai makhluk hidup, manusia mempunyai potensi-potensi yang dapat berkembang dan dikembangkan. Upaya pengembangan potensi-potensi ini dilakukan secara sadar dan berlangsung terus menerus seumur hidup. Inilah yang sering disebut pendidikan.
Sebagai individu manusia mempunyai kekhasan dari lainnya sehingga tidak ada manusia yang sama di dunia ini (Wirawan, 1976: 26). Perbedaan-perbedaan individual ini secara otomatis berpengaruh pada pelaksanaan pendidikan. Perbedaan-perbedaan ini harus diketahui oleh seorang pendidik. Pengabaian pengetahuan tentang karakter manusiawi akan mengakibatkan gagalnya pendidikan yang diselenggarakan. Kegagalan dalam pendidikan berarti kegagalan upaya pembangunan kebudayaan dan masyarakat (Syariati, 1984: 62).
Dari uraian terdahulu dapat diketahui mengapa pendidikan Islam khususnya dan pendidikan pada umumnya di Indonesia mengalami kegagalan. Faktor utama penyebab kegagalan tersebut adalah tidak diterapkannya filsafat dalam merancang konsep pendidikan. Pendidikan cenderung hanya memberikan pengetahuan yang dianggap berguna bagi anak didik tanpa memandang bahwa mereka adalah manusia yang unik. Berdasar kenyataan-kenyataan tersebut maka menurut hemat penulis pembaharuan pendidikan harus dimulai dalam usia dini. Asumsi ini dibangun berdasar kenyataan bahwa penerapan konsep filsafat pada model pendidikan bagi anak-anak yang sudah berkembang tidak banyak berpengaruh kecuali aspek-aspek kognitif. Pembentukan sikap sebagai bentuk perubahan perilaku hanya mungkin dilakukan pada usia konsep, yaitu usia di mana anak lebih banyak menerima daripada menolak atas apa yang mereka dapatkan. Untuk itu hal-hal yang harus diajarkan adalah :
1.Berdiri
Pelajaran berdiri diajarkan kepada anak pada usia dini karena berdiri adalah dasar bagi gerak-gerak yang lain. Berdiri berarti mengakui dan sadar akan ke-diri-annya, tidak melebih-lebihkan diri, tetapi juga tidak menghinakan diri (Mangunwijaya, 1996: 54). Anak pada usia dini sudah harus diberi pengertian tentang mengapa ia harus berdiri. Dalam pandangan Islam berdiri dianggap sebagai simbol keteguhan (Q.S.18: 14), penghormatan (Q.S.11: 71), kekuatan (Q.S. 33: 33), kebaikan (Q.S.22: 36). Kata berdiri juga dilawankan dengan sebutan lemah (Q.S.4: 9).arti lain dari berdiri adalah menghidupkan, kehidupan (Q.S. 2: 43). Perintah shalat adalah dengan berdiri dan dilanjutkan dengan mendirikan. Bahkan berdiri diakui secara eksplisit sebagai sifat Tuhan. Susunan kodrat manusia sebagai homo erectus, haruslah disadari sebagai wujud eksistensinya dalam sorotan ilahiah. Berdiri akhirnya menjadi awal bagi munculnya kedirian dan kemandirian. Inilah awal bagi lahirnya kreatifitas.
2.Membuat alat
Pelajaran kedua yang harus diajarkan adalah berkarya dengan keterampilan fisiknya. Kreatifitas tidak mungkin muncul dengan pengajaran teoritik tetapi mengolah konsep dalam tindakan praktis. Manusia sebagai homo mechanicus selalu ingin mewujudkan angan-angannya dalam karya nyata. Di sini terjadi eksplorasi imajinasi menuju tindakan praktis (Q.S.42: 30). Perbuatan ini dapat dijadikan sebagai dasar bagi upaya perbaikan. Kegiatan membuat alat juga dapat menadi sarana bagai pemahaman anak tentang terjadinya kausalitas, yaitu hubungan sebab dengan akibat. Pemahaman akan adanya kausalitas akan memunculkan kesadaran akan tanggung jawab dari setiap perbuatannya kelak di kemudian hari.
3.Bermain
Pelajaran ketiga dalam pendidikan usia dini adalah bermain. Bermain adalah sarana bagi anak untuk mendeskripsikan dunia dalam bentuk yang menyenangkan. Dunia yang indah akan mudah diterima apa adanya. Prinsip kebebasan ekpresip dalam bermain menjadi sarana sangat penting bagi pembentukan nilai-nilai dasar kemanusiaan. Meskipun dunia bermain adalah dunia bebas tapi tidak sepenuhnya bebas karena ada aturan yang menjadi pembatasnya. Pemahaman atas prinsip ini akan menjadikan anak mempunyai toleransi yang tinggi terhadap yang lain, rasa tanggung jawab pada diri sendiri, kerjasama dan kesadaran bahwa permainan ada batasnya. Hal-hal lain yang dapat diajarkan lewat bermain adalah adanya tugas di luar permainan (Q.S. 29:64). Tugas di luar permainan sebenarnya adalah hal yang lebih penting untuk dikerjakan sehingga pengaturan waktu menjadi sangat penting untuk tidak jadi orang yang merugi (Q.S. 103: 1-3). Kesadaran menghargai waktu lewat bermain akan menjadikan anak terbiasa merencanakan tindakannya dengan benar sehingga dapat bertindak efektif dan efisien.
4.Berfikir
Ciri lain manusia adalah kemampuannya menjangkau hal-hal yang abstrak dengan pikirannya. Manusia sebagai homo faber mempunyai kemampuan membuat konstruksi tidak hanya yang empirik tetapi juga yang abstrak. Konstruksi abstrak dibentuk melalui kerja berfikir. Pembentukan pengertian melalui tiga momen penting, yaitu momen indera, momen rasional dan momen metafisik (Drijarkara, 1989 : 62). Pikiran menjangkau materi dengan membentuk konsep. Pada manusia pengenalan inderawi yang masih bersifat infra human sebenarnya adalah satu kesatuan proses ke tingkat human. Artinya hal-hal yang tampak sepenuhnya inderawi bagi manusia bukan lagi hanya ditangkap sebagai wujud materi tetapi plus konsep. Tahap paling awal perkembangan kognitif anak dimulai pada periode sensorimotor, yaitu periode anak usia 0 – 2 tahun (Suparno, 2001 : 26). Pada tahap ini kognisi dimulai dari ‘belum mempunyai gagasan menjadi mempunyai gagasan’ dan kausalitas dari ‘ belum mempunyai konsep menjadi sudah mempunyai konsep’. Pada tahap umur lebih tinggi proses ini tetap berlangsung namun dalam bentuk yang lebih kompleks. Pengamatan inderawi diarahkan untuk pembentukan konsep-konsep berfikir dari tingkat paling sederhana ke tingkat yang lebih rumit. Tahap awal ini sangat penting bagi keberhasilan pencapaian pada tahap berikutnya. Hasil pembentukan konsep ini akan melatih manusia mempunyai kepekaan (homo recentis) terhadap alam sekitarnya sehingga meningkatkan rasa ingin tahu (curiousity) yang merupakan modal penting bagi pencarian kebenaran. Manusia membutuhkan kekuatan mencari bagi kehidupannya kelak (homo volens). Proses ini hendaknya tidak hanya diarahkan pada pencapaian momen rasional tetapi sekaligus momen metafisik (Q.S. 30 : 8). Penyertaan dimensi metafisik akan melahirkan pengertian bahwa setiap perbuatan itu mengandung tujuan (Q.S. 3: 191).
5.Berbahasa
Bahasa adalah warisan manusia paling berharga dari satu generasi ke generasi berikutnya. Namun bahasa bukan warisan statis yang tidak berubah tetapi ia senantiasa berubah dan diperkaya. Proses pengayaan bahasa terjadi dari intensitas interaksi antara manusia dan budaya. Hal ini terjadi karena bahasa mempunyai dua fungsi utama, yaitu fungsi komunikasi dan fungsi ekspresi (Mustansyir, 1988 : 25). Sebagai sarana komunikasi perkembangan bahasa mengikuti percepatan budaya manusia. Fungsi ekspresif bahasa menempatkannya sebagai sarana pengungkapan diri paling fleksibel. Bahasa tidak membatasi dirinya hanya untuk ekspresi tertentu saja tetapi selalu terbuka sesuai situasi dan kondisi yang melingkupinya. Kondisi ini menyebabkan bahasa dianggap cerminan budaya. Semakin tinggi bahasa yang digunakan akan berarti semakin tinggi pula tingkat budayanya. Simbol memegang peranan sangat penting dalam komunikasi antarmanusia. Simbol dapat merangkum banyak ekspresi yang sifatnya multipolar.
Fungsi Pendidikan Islam
Untuk mendapat gambaran lebih jelas mengenai pendidikan maka yang perlu diketahui adalah fungsi pendidikan Islam. Dengan pengertian pendidikan seperti tersebut di muka maka fungsi mikro pendidikan Islam adalah memelihara dan mengembangkan potensi dan sumber daya insani yang ada pada subjek didik menuju terbentuknya manusia seutuhnya sesuai dengan norma Islam. Secara makro fungsi pendidikan Islam dapat ditinjau dari fenomena yang muncul dalam perkembangan peradaban manusia dengan asumsi bahwa peradaban manusia senantiasa tumbuh dan berkembang melalui pendidikan (Achmadi, 1992: 21). Secara teknis fungsi pendidikan Islam dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Mengembangkan wawasan subjek didik mengenai dirinya dan alam sekitarnya, sehingga dengannya akan timbul kreativitas;
2. Melestarikan nilai-nilai insani yang akan menuntun jalan kehidupannya sehingga keberadaannya baik secara individual maupun sosial lebih bermakna
3. Membuka pintu ilmu pengetahuan dan keterampilan yang sangat bermanfaat bagi keberlangsungan dan kemajuan hidup individual maupun sosial.
Dari ketiga fungsi tersebut dapat diketahui bahwa pendidikan mempunyai fungsi yang luas bagi kehidupan manusia. Fungsi-fungsi tersebut diterjemahkan dalam tujuan pendidikan Islam.
A. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam
1. Dasar Pendidikan Islam
Dasar pendidikan Islam identik dengan dasar ajaran Islam itu sendiri. Keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu Quran dan Hadis (Said, 1994: 37). Bagi Achmadi dari sumber dasar tersebut dapat dijabarkan dalam beberapa pokok yang fundamental yaitu:
A. Tauhid
Formulasi tauhid yang paling singkat tetapi tegas ialah kalimah thoyibah : “La ilaah illallah” yang berarti “Tidak ada tuhan selain Allah”. Kalimah Thoyibah tersebut merupakan kalimat penegas dan pembebas bagi manusia dari segala pengkultusan dan penyembahan , penindasan dan perbudakan sesama manusia dan menyadarkan bahwa ia mempunyai derajat yang sama dengan manusia lain. Senada dengan Achmadi menurut Ismail Raji Al Faruqi Tauhid harus menjadi sumbu utama pengetahuan yang memiliki tiga sumbu, yaitu , pertama, sumbu kesatuan pengetahuan; kedua, kesatuan hidup dan ketiga, kesatuan sejarah (Faruqi, 1984: xii).
B. Kemanusiaan
Yang dimaksud kemanusiaan adalah pengakuan akan hakekat dan martabat manusia. Yang membedakan antara seseorang dengan lainnya hanyalah ketaqwaannya. Jadi setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk memperoleh dan menyelenggarakan.
C. Kesatuan Umat Manusia
Alam ini sendiri merupakan orde moral Zat Yang Mutlak dan merupakan norma pokok dan ideal, tidak terbagi-bagi dan tidak dapat dilukiskan. Kebaikan setinggi-tingginya bagi manusia tercapai bila manusia dapat menyesuaikan diri secara harmonis dengan orde tersebut. Banyak sekali ayat Alquran yang menegaskan tentang persatuan dan kesatuan umat manusia. Pada dasarnya mereka semua memiliki tujuan hidup yang sama yakni mengabdi kepada Allah.
D. Keseimbangan
Prinsip keseimbangan dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari prinsip keesaan maupun prinsip persatuan dan kesatuan. Secara khusus prinsip keseimbangan itu terlihat pada penciptaan alam. Prinsip keseimbangan yang harus diperjuangkan dalam kehidupan, khususnya melalui pendidikan antara lain :
i. Keseimbangan antara kepentingan hidup dunia dan akhirat;
ii. Keseimbangan kebutuhan jasmani dan rohani
iii. Keseimbangan kepentingan indifidu dan sosial
iv. Keseimbangan antara ilmu dan amal
2. Tujuan Pendidikan Islam
Masalah tujuan pendidikan adalah masalah sentral dalam pendidikan. Tanpa perumusan yang jelas dari tujuan pendidikan, perbuatan mendidik itu bisa sesat, atau kabur tanpa arah. Karena itu perumusan secara tegas tujuan pendidikan menjadi inti dari seluruh perenungan teoritis pedagogis dan perenungan filsafi.
Masalah tujuan pendidikan adalah masalah norma. Masalah norma adalah masalah filsafat, khususnya filsafat tentang hakekat manusia, dan kedudukan manusia di tengah dunianya dengan segenap harapan-harapannya; baik harapan yang sekuler - das Sein maupun yang keakhiratan - Nachweltliches Sein (Kartono, 1991: 17).
Konsepsi pendidikan Islam, tidak hanya melihat bahwa pendidikan itu sebagai upaya “mencerdaskan” semata (pendidikan intelek, kecerdasan), melainkan sejalan dengan konsepsi Islam tentang manusia dan hakikat eksistensinya (Usa, 1991: 29). Jadi tujuan pendidikan Islam sejalan dengan missi Islam, yaitu mempertinggi nilai-nilai akhlak hingga mencapai tingkat akhlak al-karimah (Said: 38). Sistem pendidikan Islam dirancang agar dapat merangkum tujuan hidup manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, yang pada hakikatnya tunduk pada hakikat penciptaannya. Pertama, tujuan pendidikan Islam itu bersifat fitrah, yaitu membimbing perkembangan manusia sejalan dengan fitrah kejadiannya. Kedua, tujuan pendidikan Islam merentang dua dimensi, yaitu tujuan akhir bagi keselamatan hidup di dunia dan di akhirat. Ketiga, tujuan pendidikan Islam mengandung nilai-nilai yang bersifat universal yang tak terbatas oleh ruang lingkup geografis dan paham-paham (isme) tertentu. Sedang tujuan itu sendiri berfungsi, Pertama, mengakhiri usaha. Kedua, mengarahkan usaha. Ketiga, merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lain. Keempat,memberi nilai pada usaha (Marimba, 1986: 45).
B. Isi Pendidikan Islam
Untuk mencapai tujuan pendidikan Islam sebagaimana telah dibicarakan terdahulu, perlu adanya isi atau materi pendidikan yang disampaikan dan diinternalisasikan pada subjek didik melalui interaksi pendidikan. Materi akan selalu mengalami perubahan dari masa ke masa. Bahkan untuk setiap bangsa yang mempunyai tujuan pendidikan berbeda. Secara definitif kurikulum adalah :
1) Sejumlah pengalaman pendidikan, kebudayaan, sosial, olahraga dan kesenian yang disediakan oleh sekolah bagi murid-muridnya di dalam dan di luar sekolah dengan maksud menolongnya berkembang secara menyeluruh dalam segala segi dan mengubah tingkah laku mereka sesuai dengan tujuan-tujuan pendidikan.
2) Kurikulum adalah sejumlah kekuatan, faktor-faktor pada lingkungan pengajaran dan pendidikan yang disediakan oleh sekolah bagi murid-muridnya di dalam dan di luar sekolah, dan sejumlah pengalaman yang lahir dari interaksi dengan kekuatan-kekuatan dan faktor-faktor itu (Said :44).
Selanjutnya Jalaludin menjelaskan bahwa aspek-aspek yang terkandung dalam kurikulum adalah :
1) Tujuan pendidikan yang akan dicapai oleh kurikulum;
2) Pengetahuan (knowledge), ilmu-ilmu, data, aktivitas-aktivitas dan pengalaman-pengalaman yang menjadi sumber terbentuknya kurikulum;
3) Metode dan cara-cara mengajar dan bimbingan yang diikuti oleh murid-murid untuk mendorong mereka ke arah yang dikehendaki oleh tujuan yang dirancang;
4) Metode dan cara penilaian yang digunakan dalam mengukur hasil proses pendidikan yang dirancang dalam kurikulum.
Materi pendidikan akan mudah diterima oleh subjek didik apabila sesuai dengan fitrah manusia karena memberikan sesuatu yang hakekatnya memang dibutuhkan. Materi pendidikan yang bersifat demikian tidak lain ialah ilmu Allah yang dapat mengantarkan subjek didik ke tujuan yang tertinggi dan terakhir yaitu :
1) Ma’rifatullah dan ta’abud ilallah;
2) Mampu berperan sebagai khalifatullah fil ard;
3) Memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Selanjutnya pendidikan Islam mempunyai prinsip-prinsip :
1) Demokrasi dan kebebasan;
2) Pembentukan akhlakul karimah;
3) Sesuai kemampuan akal peserta didik;
4) Diversifikasi metode;
5) Pendidikan Kebebasan;
6) Orientasi individual;
7) Bakat keterampilan terpilih;
8) Proses belajar dan mencintai ilmu;
9) Kecakapan berbahasa dan dialog;
10) Pelayanan;
11) Sistem universitas dan rangsangan penelitian (Mulkhan, 1993 : 77).
Selanjutnya pendidikan Islam mengandung konsep agama (din), konsep manusia (insan), konsep ilmu (‘ilm dan ma’rifah), konsep kebijakan (hikmah), Konsep keadilan (‘adl), konsep amal dan konsep perguruan tinggi (Usa :9). Materi-materi tersebut diinternalisasikan dalam seluruh kurikulum pendidikan Islam. Tujuan yang hendak dicapai harus termuat dalam keseluruhan isi kurukulum pendidikan Islam.
C. Kedudukan pengetahuan dalam pendidikan Islam
Islam sebagai agama fitrah Islam menempatkan manusia dengan segala aspek hidupnya dalam posisi sentral. Salah keunikan makhluk ciptaan Tuhan pada diri manusia dibanding makhluk lain adalah akal dan pengetahuannya. Sejak diciptakan manusia sudah diberi ruh yang mengakibatkan seluruh potensi non jasmani menjadi aktual. Unisitas inilah yang dicemburui malaikat dan dimusuhi iblis. Juga dengan inilah manusia diberi amanah sebagai khalifah di muka bumi.
Masalah penting yang saling terkait dalam peningkatan kualitas hidup manusia adalah masalah pendidikan dan kebudayaan. Pengembangan dan pelestarian kebudayaan berlangsung dalam proses pendidikan yang membutuhkan perekayasaan pendidikan. Sementara pengembangan pendidikan juga membutuhkan suatu sistem kebudayaan seebagai akar dan pendukung bagi kelangsungan pendidikan. Pengembangan pendidikan membutuhkan stabilitas, sementara pengembangan kebudayaan membutuhkan kebebasan kreatif.
Hubungan ketergantungan pendidikan dan kebudayaan mengandung pengertian bahwa kualitas pendidikan akan menunjukkan kualitas budaya dan kualitas budaya akan menunjukkan kualitas pendidikan. Lahirnya kebudayaan merupakan konsekuen dari proses kreatif manusia dalam berilmu yang antara lain berbentuk penafsiran logis terhadap dirinya sendiri, lingkungan hidupnya dan bahkan Allah itu sendiri. Penafsiran kreatif tersebut kemudian membentuk suatu formulasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang kemudian mewujud dalam pola-cipta dan pola-kelakuan sebagai budaya.
Islam memperhatikan pentingnya iman sama dengan pentingnya ilmu pengetahuan (Q.S. 2: 255). Konsep pendidikan Islam tidak hanya melihat pendidikan itu sebagai upaya mencerdaskan semata (pendidikan intelek) melainkan sejalan dengan konsepsi Islam tentang manusia dan hakekat eksistensinya.
1) Sumber dan Metode Ilmu
Sumber dan metode ilmu menurut Naquib Al Attas adalah (Naquib, 1995 : 34) : adalah :
i. Indera-Indera Lahir dan Batin
Akal dan Intuisi
Otoritas
i. Indera-Indera Lahir dan Batin
Islam memandang bahwa ilmu datang dari Tuhan dan diperoleh melalui sejumlah saluran yaitu indera yang sehat, laporan yang benar yang disandarkan pada otoritas, akal yang sehat dan intuisi.
Indera yang sehat mengacu pada persepsi dan pengamatan, yang mencakup lima indera lahiriah. Kelima indera lahiriah itu adalah perasa tubuh, pencium, perasa lidah, penglihat dan pendengar, yang semuanya berfungsi untuk mempersepsi hal-hal partikular dalam dunia lahir.
Terkait dengan pancaindera lahir adalah lima indera batin yang secara batiniah mempersepsi citra-citra inderawi dan maknanya, menyatukan atau memisah-misahkannya, mencerap (mengkonsepsi) gagasan-gagasan, menyimpan hasil-hasil pencerapan dan melakukan inteleksi. Kelima indera batin ini adalah indera umum (common sense), representasi, estimasi, ingatan dan pengingatan kembali dan imajinasi. Dalam hal ini yang dipersepsi adalah “ rupa “ (form) dari objek lahiriah atau inderawi bukan realitas itu sendiri.
ii. Akal dan Intuisi
Kegiatan keilmuan merupakan pengertian pertama yang diwahyukan. Mengenai akal yang sehat tidak hanya terbatas pada unsur-unsur inderawi atau pada fakultas mental yang secara lodis menyistimatisasi dan menafsirkan fakta-fakta pengalaman inderawi , atau yang mengubah data pengalaman inderawi menjadi suatu citra akliah yang dapat dipahami setelah melalui proses abstraksi. Atau yang melaksanakan kerja abstraksi fakta-fakta dan data inderawi serta hubungan keduanya dan mengaturnya dalam suatu aturan yang menghasilkan hukum-hukum sehingga menjadikan alam tabi’i dapat dipahami. Akal adalah suatu substansi ruhaniah yang melekat dalam organ ruhaniah yang disebut kalbu. Kalbu merupakan tempat terjadinya intuisi.
Intuisi adalah pemahaman langsung akan kebenaran-kebenaran agama, realitas dan eksistensi Tuhan. Realitas eksistensi sebagai lawan esensi sesungguhnya dalam lebih tinggi adalah intuisi terhadap eksistensi itu sendiri.


iii. Otoritas
Otoritas terbagi menjadi dua yaitu, Pertama, otoritas yang terbentuk oleh kesepakatan bersama, termasuk di dalamnya sarjana, ilmuwan dan orang yang berilmu pada umumnya. Kedua, otoritas yang bersifat mutlak. Otoritas pada akhirnya didasarkan pada pengalaman intuitif, yaitu baik yang terkait dengan tatanan indera dan realitas inderawi maupun yang terdapat dalam realitas transendental. Tingkat otoritas tertinggi adalah Al-Quran dan Sunnah Nabi s.a.w. termasuk pribadi suci Rasulullah.
2) Proses Epistemologi
Keharusan memahami wahyu dengan akalnya, menjadikan akal sebagai medium bagi manusia untuk mengerti kehadiran tuhan yang menciptakannya. Institusionalisasi akal kemudian mendodrong berkembangnya ilmu dan selanjutnya berdasarkan ilmu yang diketemukannya manusia melakukan tindakan berpola dan lahirlah kebudayaan. Dengan demikian kebudayaan dan ilmu adalah cara manusia berhubungan dengan Allah, memahami, mengenal dan menaatinya.
Persoalan pendidikan Islam adalah persoalan ilmu dan kebudayaan. Namun perlu disadari jika pengembangan akal manusia melahirkan ilmu dan kemudayaan, maka setiap ilmu dan kebudayaanharuslah bersifat akaliah. Kebenaran ilmiah adalah nilai tertinggi yang dapat dicapai akal. Setiap bentuk pemikiran akaliah atau ilmiah hanya akan mencapai tingkat kebenaran ilmiah.
Watak kebenaran ilmiah adalah ketergantungan historis sehingga selalu terjadi perubahan atau bahkan revolusi hasil pemikiran akal. Masalah kebudayaan dan ilmu merupakan kunci penjelas berbagai kecenderungan kehidupan manusia dan masyarakatnya. Sebagai arah dari kehidupan manusia menurut Islam ialah al-akhirat, maka orientasi pengembangan ilmu dan kebudayaan haruslah sejalan dengan arah tindakan manusia itu sendiri.
D. Kedudukan manusia dalam pendidikan Islam
Pemikiran tentang hakekat manusia, sejak zaman dahulu kala sampai zaman modern sekarang ini belum juga berakhir dan tak akan berakhir. Ilmu yang menyelidiki dan memandang manusia dari segi fisik Antropologi Fisik, yang memandang dari sudut budaya Antropologi Budaya, dan yang memandang dari segi hakikat atau adanya disebut Antropologi Filsafat.
Berbicara tentang manusia ada 4 (empat) aliran, yaitu aliran serba zat, aliran seba ruh, aliran dualisme dan aliran eksistensialisme (Zuhairini, 1991: 71).
Aliran serba zat mengatakan bahwa yang sungguh-sunbgguh ada itu hanyalah zat atau materi. Zat atau materi itulah hakikat dari sesuatu. Alam adalah zat atau materi, dan manusia adalah unsur dari alam. Maka hakikat manusia adalah zat atau materi. Sebagai makhluk materi pertumbuhannya beerproses dari materi juga. Adapun apa yang disebut ruh atau jiwa, pikiran, perasaan (tanggapan, kemauan, kesadaran, ingatan,khayalan, asosiasi, penghayatan dan sebagainya) dari zat atau materi yaitu sel-sel tubuh.
Aliran serba roh berpendapat bahwa segala hakekat sesuatu yang ada di dunia adalah ruh. Hakikat manusia adalah ruh. Adapun zat itu adalah manifestasi dari ruh di atas dunia. Ruh adalah sesuatu yang tidak menempati ruang, sehingga tak dapat disentuh atau dilihat oleh pancaindera
Aliran dualisme menganggap bahwa manusia itu pada hakikatnya terdiri dari dua substansi yaitu jasmani dan rohani, badan dan ruh. Kedua substansi ini masing-masing merupakan unsur asal yang adanya tidak tergantung satu sama lain. Jadi badan tidak berasal dari ruh dan sebaliknya ruh tidak berasal dari badan. Antara badan dan ruh terjalin hubungan bersifat kausal, sebab akibat. Artinya antara keduanya saling mempengaruhi.
Aliran eksistensialisme mencari inti hakikat manusia yaitu apa yang menguasai manusia secara menyeluruh. Aliran ini memandang manusia tidak dari sudut serba zat atau serba ruh atau dualisme dari aliran itu, tetapi memandangnya dari segi eksistensi manusia itu sendiri, yaitu cara beradanya manusia itu sendiri di dunia.
Aliran-aliran dalam filsafat tersebut sangat berpengaruh pada pengembangan model keilmuan karena pengembangan ilmu disesuaikan dengan kebutuhan manusia. Selanjutnya menurut Achmadi pada hakekatnya adalah makhluk pedagogik, yaitu makhluk yang dapat mendidik dan dididik (Achmadi, 1992: 28). Sehubungan dengan anggapan dasar tersebut di atas masalah-masalah esensial yang terkait dan perlu dibicarakan ialah fitrah manusia.
(a) Pengertian Fitrah
Fitrah berasal dari kata fatara yang sepadan dengan kata khalaqa yang artinya mencipta. Kata fatara dan khalaqa dalam Al-Quran menunjukkan pengertian mencipta sesuatu yang sebelumnya belum ada dan masih merupakan pola dasar yang perlu penyempurnaan. Penyempurnaannya kadang-kadang secara langsung dilakukan oleh Allah, tetapi kadang-kadang pengembangan dan penyempurnaannya diserahkanlebih lanjut kepada manusia.
Kata yang biasanya digunakan dalam Al-Quran untuk menunjukkan penyempurnaan pola dasar ciptaan Allah itu adalah ja’ala yang artinya menjadikan. Pengertian fitrah yang asal katanya sepadan dengan khalaqa berarti kejadian asal. Jika dikaitkan dengan kejadian manusia maka pengertiannya adalah kejadian asal atau pola dasar kejadian manusia. Jika dikaitkan dengan sifat-sifat manusia, maka pengertiannya adalah sifat asli yang secara kodrati ada pada manusia. Sedang pengertian kejadian yang berasal dari kata ja’ala adalah kejadian lanjut atau kelengkapan manusia untuk mengembangkan fitrahnya.
(b) Fitrah Manusia
Fitrah atau pola dasar kejadian manusia dengan sifat-sifat aslinya dapat dipahami dengan meninjau beberapa aspek, yaitu:
1. Hakekat wujud manusia
2. Tujuan penciptaannya
3. Sumber daya insani sebagai kelengkapan hidup manusia
4. Citra manusia dalam Islam
1. Hakekat Wujud Manusia
a) Manusia Makhluk Jasmani Rohani Yang Paling Mulia
Kemuliaan manusia dapat ditinjau dari segi jasmani dan rohani. Segi fisik berasal dari tanah yang dalam bentuk manusia dalam Al-Quran disebut basyar. Dari segi rohani setelah pembentukan fisik mendekati sempurna dalam bentuk janin Allah meniupkan ruh-Nya kepada manusia dan sejak itu benar-benar menjadi makhluk jasmani rohani yang mulia sehingga malaikat para malaikat pun diperintah oleh Allah agar tunduk kepada manusia.
b) Manusia Makhluk Yang Suci Sejak Lahir
Kesucian manusia dikaitkan dengan kata fitrah. Ditinjau dari segi bahasa hal ini sesungguhnya kurang tepat karena pengertian fitrah ialah asal kejadian atau pola dasar penciptaan. Makna kesucian tersebut , Pertama, ruh manusia berasal dari Zat Yang Maha Suci, karena itu sejak lahir sudah memiliki modal kesucian., Kedua, anak yang lahir tidak membawa dosa ,turunan menurut konsepsi Islam tidak seorang pun memikul dosa orang lain.
c) Manusia Makhluk Etik Religius
Sebagai rangkaian wujudnya yang suci sejak lahir, Tuhan senantiasa akan membimbing dengan agama fitrah, yakni agama yang sesuai dengan fitrah manusia agar sampai akhir hayatnya tetap suci. Manusia dicipta Allah dengan diberi naluri beragama, yaitu agama tauhid. Karena itu jika manusia tidak beragama tauhid dianggap tidak wajar wlau mungkin hal itu terjadi lantaran pengaruh lingkungan.
d) Manusia Makhluk Individu dan Sosial
Individu adalah seseorang yang belum diketahui predikatnya. Proses perkembangan individu itu disebut individualisasi, yaitu proses perkembangan seseorang dengan seluruh wujudnya sebagai orang yang meliputi semua fitrah dan sumber daya insaninya, termasuk tanggung jawabnya. Dengan perkembangan itu manusia menyadari hidupnya lepas dari kehidupan keseluruhan dimana ia ikut menjadi bagiannya. Ajaran Islam menjelaskan bahwa insan bukanlah kumpulan binatang yang tunduk kepada suatu bentuk acuan umum seperti makhluk lainnya, tetapi setiap insan merupakan satu alam yang tersendiri. Secara garis besar Al-Quran menjelaskan perbedaan masing-masing individu dengan menunjukkan adanya kelebihan yang satu dengan yang lain. Yang paling ditekankan dalam hal ini adalah adanya tanggung jawab individu baik terhadap Tuhan, terhadap lingkungan maupun terhadap dirinya sendiri. Islam memandang manusia sebagai makhluk individu dan masyarakat berdasar prinsip kesatuan dan persatuan umat. Sedang peranan individu dalam masyarakat menurut Islam terletak pada tanggung jawabnya dalam mencipta tatanan kehidupan yang sejahtera dalam naungan dan ampunan ilahi.
2. Tujuan Penciptaan
a) Tujuan utama pencptaan manusia adalah agar beribadah kepada Allah.
Pengertian ibadah meliputi segala amal perbuatan yang titik tolaknya ikhlas karena Allah, tujuannya keridlaan Allah, garis amalnya saleh. Tujuan utma ibadah adalah mendekatkan diri kepada Allah dan menyucikan diri.
b) Manusia dicipta untuk diperankan sebnagai Wakil Allah di muka bumi (khalifatullah fil-Ard)
Karena Allah Zat yang menguasai dan memelihara alam semesta, maka tugas utama manusia sebagai wakil Allah adalah menata ,memelihara ,melestarikan dan menggunakan alam sebaik-baiknya untuk kesejahteraan hidupnya. Jabatan sebagai khalifatullah merupakan anugerah sekaligus amanah. Oleh karena itu segala aktivitas yang berkaitan dengan kekhalifahan ini harus dipertanggungjawabkan kepada Allah.
c) Manusia dicipta untuk membentuk masyarakat.
Pembentukan masyarakat haruslah masyarakat yang saling mengenal, hormat menghormati dan tolong menolong antara satu dengan yang lain dalam rangka menunaikan tugas kekhalifahannya. Sebagai individu atau kelompok dalam suatu tatanan masyarakat masing-masing diberi kesempatan untuk meraih prestasi dalam menunaikan tanggung jawab kekhalifahan.


3. Sumber Daya Insani Sebagai Kelengkapan Hidup
Allah tidak membiarkan manusia hidup tanpa bekal yang memadai. Bekal tersebut adalah :
a) Kebebasan
Kebebasan yang dimaksud di sini adalah kebebasan berkehendak dan berbuat. Dengan kebebasan ini manusia memiliki dinamika, daya adaptasi terhadap lingkungan dan kreativitas hidupnya sehingga kehidupan manusia dan lingkungan hidupnya bervariasi. Kebebasan yang dimiliki menyebabkan manusia mampu memilih mana yang baik dan buruk, benar dan salah. Kemampuan memilih ini berkaitan dengan adanya dua kecenderungan baik dan buruk dalam diri manusia.
b) Hidayah Allah
Manusia tidak hanya diberi kebebasan untuk dapat menentukan pilihan yang tepat, tetapi juga diberi sarana yang berupa akal untuk pertimbangan. Akal dapat mempertimbangkan sesuatu setelah sesuatu itu direkam lewat indera pendengaran dan penglihatan. Karena pendengaran dan penglihatan hanya mampu menangkap sesuatu yang bersifat empirik, maka akal pun hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat empirik. Sedangkan hal-hal yang bersifat non empirik (gaib) diperlukan petunjuk khusus, yakni wahyu Allah berupa agama. Dengan berbagai kelemahan itu akal manusia yang semestinya dapat berbuat cermat, teliti dan penuh pertimbangan menjadi kacau dan tidak objektif lagi. Disinilah pentingnya hidayah agama untuk memberikan bimbingan dan pedoman hidup, termasuk dalam memelihara akal agar tetap sehat dan berfungsi sebagaimana mestinya.
4. Citra Manusia Dalam Islam
Berdasar uraian tentang fitrah manusia yang ditinjau dari hakekat wujudnya, tujuan penciptaannya dan sumber daya insaninya, citra manusia menurut pandangan Islam adalah :
(a) Islam berwawasan optimistik tentang manusia dan menolak sama sekali anggapan pesimistik. Wawasan optimistik ini timbul dari kenyataan bahwa hakekat wujud manusia sejak semula sudah memiliki kesempurnaan dengan membawa kemuliaan, kesucian, kecenderungan etik religius dan kapasitas individual serta kodrat sosial.
(b) Perjuangan hidup manusia bukan sekedar trial and error belaka tetapi sudah mempunyai arah dan tujuan hidup yang jelas. Untuk mencapainya manusia telah diberi pedoman serta kemampuan yakni akal dan agama.
(c) Manusia dikaruniai kebebasan berkehendak sekaligus bertanggungjawab atas penggunaannya baik terhadap dirinya sendiri, lingkungannya maupun terhadap Tuhan.
Uraian tersebut yang disebut paradigma pendidikan Islam. Secara teoritis paradigma tersebut belum baku karena disiplin ilmu pendidikan Islam belum menjadi ilmu yang diakui secara ilmiah sebagai ilmu mandiri. Hal ini dapat dimaklumi karena munculnya teori tentang pendidikan Islam relatif belum begitu lama dan perkembangannya tidak mendapat sambutan yang memadai. Sambutan yang memadai baru muncul pada dasawarsa terakhir. Sambutan tersebut dimulai dari banyaknya para ahli pendidikan, scientis, filsafat yang merasa perlu membuka wacana baru paradigma keilmuan yang didominasi epistemologi barat yang fragmentaris. Fragmentasi terjadi ketika epistemologi barat memisahkan antara ilmu dengan agama dan ideologi yang memisahkan ilmu dengan nilai (kemanusiaan).
Perkembangan pemikiran tentang manusia pada saat ini telah mencapai tahapan yang pada abad-abad lalu tidak tergambarkan. Penemuan tentang potensi manusia yang terdiri dari inteligensia, emosi dan spiritual telah membongkar pandangan lama tentang manusia. Bahkan konsepsi filsafat yang membumi puluhan abad lamanya. Manusia adalah makhluk multi dimensi, dimensi material dan dimensi spiritual. Dimensi material memuat aktifitas fisik manusia dalam suatu ruang dan waktu tertentu. Dimensi spiritual meliputi kesadaran manusia dalam kaitannya dengan makna aktifitas sehari-hari. Makna menjadi sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Makna mengarahkan tindakan manusia pada suatu nilai-nilai tertentu. Makna memberi arti tindakan manusia melampaui aktifitas fisiknya. Makna menjadi sesuatu yang sangat dicari dan didamba oleh makna. Demi pencapaian makna manusia sanggup mengorbankan sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya bahkan hidup itu sendiri.
Pencapaian makna telah mampu menciptakan puncak-puncak peradaban dalam sejarah kemanusiaan. Socrates telah mengawali tradisi keunikan sejarah pencapaian makna. Demi kebenaran yang diyakininya Socrates telah rela meminum racun yang dilakukan dengan sepenuh kesadarannya bukan karena ia secara emosional sedang terganggu. Galileo Galilei rela mengalami pembunuhan karakter eksistensial demi pembelaan kebenaran teori heliosentris Copernicus. Bruno bahkan rela mengalami pembakaran hidup-hidup demi keyakinan akan kebenaran pengetahuan yang ditemui di luar gereja. Mansur Al Hallaj rela dipenggal leher demi keyakinan penyatuannya pada al Haqq. Syeh Siti Jenar rela diasingkan dan dibunuh karakternya demi ajaran hulul nya. Goresan pena sepanjang sejarah ini telah melahirkan puncak-puncak kebudayaan. Kematian Socrates telah menjadikan filsafat dan kemerdekaan berfikir menjadi demikian didambakan oleh hampir setiap manusia sampai kini. Kematian Galileo dan Bruno telah menumbuhkan keberanian eksplorasi atas alam beserta hukum-hukumnya sedemikian mencengangkan. Kematian Mansur al Hallaj dan Syeh Siti Jenar telah melahirkan puluhan teologi rasional dan aliran mistik yang hiruk pikuk.
Bahkan di antara hiruk-pikuk petualangan manusia meneliti sesuatu yang berada di luar dirinya, manusia juga mulai mencari makna dari dalam dirinya sendiri. Apa sebenarnya yang paling menentukan pada manusia ? Pertanyaan ini melahirkan penelitian menyeluruh atas prestasi manusia. Apa sebenarnya yang paling menentukan dalam keberhasilan usaha manusia menjadi bahan penelitian paling serius sampai saat ini. Kata kunci yang hingga kini tetap dipakai adalah KECERDASAN. Hasil yang telah didapat dari penelitian ini manusia memiliki 8 (delapan) macam kecerdasan. Kedelapan macam kecerdasan ini ditemukan oleh Howard Gardner, seorang guru besar Psikologi Universitas Harvard (Dryden, 2001 : 121), yaitu : kecerdasan linguistik, matematis/ logis, visual/ spasial, musikal, naturalis, interpersonal, intrapersonal dan fisik. Delapan macam tipe kecerdasan ini masuk dalam kategori kecerdasan intelektual (IQ).
Tipe kecerdasan yang lain adalah kecerdasan emosional. Daniel Goleman yang mempopulerkan tipe kecerdasan ini mengatakan kontribusi IQ paling banyak sekitar 20% terhadap keberhasilan hidup sehingga 80% sisanya ditentukan oleh faktor-faktor lain yang disebut KECERDASAN EMOSIONAL. Penemuan ini menunjukkan bahwa Emotional Quotient (EQ) mutlak diperlukan. Angka 80 dalam prosentase adalah angka yang sangat besar karena ia berarti 4 (empat) kali lebih besar sebagai penyokong kesuksesan seseorang daripada IQ. Apa-apa yang termuat dalam EQ bukanlah hal-hal yang didapat dari luar dirinya. Ia sepenuhnya berasal dari dalam diri manusia individu. Bekerjanya IQ sepenuhnya bergantung dari adanya rangsang dari luar yang diproses dalam diri individu. IQ tidak bisa bekerja tanpa adanya data-data luar yang diambil oleh individu. Ketepatan data akan menentukan presisi IQ. Bahkan bukan hanya data yang harus tepat. Seperangkat hukum yang harus dipatuhi dan dipahami juga sangat menentukan ketepatan dan tingkat pencapaian IQ. Contoh sederhana dapat penulis berikan. Seorang anak yang secara potensial memiliki IQ tinggi – misal matematika atau berhitung – tetapi dia tidak diajarkan ilmu matematika maka ia tidak akan mampu mengerjakan apapun tentang matematika. Atau jika ia diajarkan tetapi sengaja diberi rumus yang salah – misal + diganti – maka ia tidak akan pernah benar dalam mengerjakan berhitung. Inilah bukti betapa rentan IQ yang dulu sangat didewa-dewakan. IQ bergantung sepenuhnya pada sesuatu yang berasal bukan dari dirinya. Inilah sebenarnya ciri IQ yang empiristik dan rasionalistik.
Berbeda dengan IQ, EQ bekerja berdasar prinsip-prinsip yang berada dalam dirinya sendiri. Emosionalitas senantiasa bersifat unique. Sifat unik ini menyebabkan pola emosionalitas satu individu dengan individu yang lain tidak akan sama. Bahkan ketika ditampilkan data yang sama respon emosionalitas akan berbeda-beda pada tiap individu. Ini mengandung arti cakupan EQ jauh lebih luas daripada IQ. Dalam wilayah EQ hukum-hukum tidak bekerja secara ketat. Interpretasi individu memiliki sebaran yang sangat luas. Hukum-hukum EQ yang pada dasarnya ditemukan oleh IQ tidak mampu menggambarkan secara tepat situasi emosionalitas individu. Pakar EQ, Daniel Goleman berpendapat bahwa meningkatkan kualitas kecerdasan emosi sangat berbeda dengan IQ. IQ pada umumnya tidak berubah selama kita hidup. Tidak seperti IQ, kecerdasan emosi dapat meningkat dan terus ditingkatkan sepanjang hayat. Kecakapan emosi dapat dipelajari kapan saja. Tidak peduli orang tersebut pemalu, peka atau tidak, pemarah atau sulit bergaul dengan orang lain sekalipun. Dengan motivasi dan usaha yang benar, kita dapat mempelajari dan menguasai kecakapan emosi tersebut (Goleman, 1999: 286).
Pemikiran Goleman tentang EQ ini mengajarkan pada kita bahwa masih banyak yang belum diketahui dari manusia. Penelitian EQ oleh Goleman telah melahirkan jawaban tentang salah satu yang paling menentukan dalam kehidupan manusia. Orang-orang terkaya di dunia seperti Bill Gates, Larry Ellison dan Michael Dell adalah contoh dari orang yang EQ-nya tinggi. Kekayaan dan kesuksesan yang diraih bukanlah karena IQ-nya tinggi. Mereka adalah orang-orang biasa yang menjadi luar biasa karena EQ-nya tinggi. Keberhasilan itu mereka raih dengan kerja keras, komitmen dan visi yang kuat. Karakter-karakter ini tidak terdapat dalam IQ. IQ hanya mampu mengukur tingkat kecerdasan kognitif. Sementara, sebagian besar kehidupan manusia ditentukan oleh afeksi dan psikomotornya. Dari sikap dan tindakannya. Lahirnya kebudayaan-kebudayaan tinggi bukan hanya karena difikirkan tetapi karena dilahirkan dalam karya nyata. Inilah keunggulan EQ. Ia menilai manusia dari tindakannya. Jadi hal paling penting pada manusia adalah tindakannya. EQ meneliti kekuatan apa yang mendorong dan menggerakkan manusia sehingga mampu melahirkan karya-karya besar.
Singgasana kebesaran EQ mulai diguncang. Benarkah keberhasilan manusia dikendalikan dari tingkat [kecerdasan] emosinya ? Darimana manusia mendapatkan makna dalam hidupnya ? Jawaban atas pertanyaan sederhana ini sungguh fantastis. Kesuksesan ternyata bukanlah hakikat yang ingin dicari manusia dalam hidupnya. Kesuksesan hanyalah satu tahap dalam perjalanan hidup manusia. Bagaimana halnya mereka yang tidak termasuk sukses dalam hidupnya ? Apakah mereka tidak mempunyai arti ? Dua tipe kecerdasan yang IQ dan EQ masih diskriminatif dalam memandang manusia. Diskriminasi ini menyebabkan keterpecahan kepribadian manusia. IQ melukiskan manusia dalam selubung jasmaninya sendiri. EQ melukiskan relasi manusia dengan manusia lain secara horizontal. Makna didapat bukan dari kedalaman kulit jasmani manusia atau dari relasi antara manusia. Makna didapat dari sistem nilai yang hakikatnya berada di luar kedua hal tersebut. Nilai adalah hal yang mendasari tindakan manusia. Darimana nilai atau sistem nilai tersebut diadopsi manusia. Inilah yang dijawab oleh penelitian Spiritual Quotient (SQ).
Spiritual Quotient (SQ) digagas pertama kali oleh Danah Zohar dan Ian Marshall secara ilmiah (Agustian, 2003 : xxxix). Pembuktian ilmiah tentang kecerdasan spiritual sebagaimana digagas oleh Zohar dan Marshall pertama kali dilakukan oleh Michael Persinger pada awal tahun 1990-an dan yang paling mutakhir oleh V.S. Ramachandran. Dia menemukan eksistensi God-Spot dalam otak manusia. God-Spot sebagai pusat spiritual ternyata sudah built in diantara jaringan syaraf dan otak manusia.
Wolf Singer pada era tahun 1990-an menemukan apa yang ia sebut sebagai The Binding Problem. Ia menemukan adanya proses dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada usaha mempersatukan dan memberi makna dalam pengalaman hidup kita. Suatu jaringan syaraf yang secara literal mengikat pengalaman kita secara bersama untuk “hidup lebih bermakna”. Pada God-Spot inilah sebenarnya fitrah manusia yang terdalam. Ia adalah suara hati.
Apa yang telah ditemukan para ahli barat tentang God-Spot ini baru sebatas pada persoalan biologi dan psikologi. Pertanyaan tentang dari mana God-Spot ini muncul dan apa saja isinya tidak terjawab oleh mereka. Istilah God-Spot dipakai oleh mereka hanyalah karena dasar ilmiah tidak lagi mampu menampung keberadaannya. Artinya God-Spot bukanlah tuhan dalam arti Tuhan dalam agama. Apa yang tidak ditemukan istilahnya dalam sains mereka sebut itu dari tuhan atau tahayul. Jadi pada dasarnya tidak ada bedanya bagi mereka tuhan dengan tahayul, yaitu sesuatu yang tidak ilmiah atau tidak bisa dimasukkan dalam cakupan ilmiah.
Beberapa kenyataan di atas sungguh telah memacu seorang Ary Ginanjar Agustian untuk bertanya pada Tuhannya. Apa sebenarnya yang disebut God-Spot ini. Jawaban yang ia dapat adalah menggabungkan ketiga kecerdasan manusia, yaitu IQ, EQ dan SQ menjadi ESQ (Emotional and Spiritual Quotient). IQ hanya menggambarkan kecerdasan manusia individual. EQ menggambarkan kecerdasan manusia dalam berhubungan dengan manusia lain. SQ menggambarkan kecerdasan manusia dalam menangkap makna melalui hubungannya dengan tuhan. ESQ menggambarkan kecerdasan manusia secara utuh sebagai individu, antara manusia dan antara manusia dengan tuhan. God-Spot bagi Ary Ginanjar Agustian adalah percikan Asmaul Husna.
Dari sejarah pemikiran di atas, apa yang tersisa adalah manusia adalah makhluk transenden. Transendensi manusia ditemukan ketika ia bertemu dengan Tuhannya. Tuhan sebagai Yang Transenden manifes dalam diri manusia sebagai kebenaran. Kebenaran membawa manusia pada pencarian yang terus menerus. Pencarian kebenaran inilah sebenarnya drama transendensi manusia.
Persoalan kebenaran muncul karena kebutuhan manusia akan pengetahuan. Pengetahuan ini dibutuhkan manusia karena ia harus berinteraksi dengan dunia dan lingkungan sosialnya. Kebutuhan hidup manusia dengan demikian dapat dikatakan merupakan suatu faktor yang mendasari dan mendorong berkembangnya pengetahuan. Salah satu kebutuhan manusia adalah memperoleh pengetahuan. Bagi manusia memperoleh pengetahuan merupakan kebutuhan untuk dapat hidup yang menjadi satu bagian dari cara berada manusia. Dalam arti ini kegiatan mengetahui merupakan bagian hakiki dari cara berada manusia.
Sebagai sarana yang dibutuhkan untuk hidup, bagi manusia, pengetahuan juga merupakan suatu alat, strategi, dan kebijaksanaan. Berbeda dengan binatang, manusia adalah makhluk yang mampu menciptakan alat, memiliki strategi, dan kebijaksanaan dalam bertindak. Pengetahuan dengan demikian dapat dikatakan merupakan upaya menafsirkan, memahami dan akhirnya menguasai dan memanfaatkan dunia sekitar guna menunjang pemenuhan kebutuhannya. Di samping dimensi pragmatis ini, yaitu pengetahuan dibutuhkan untuk pemecahan masalah kehidupan dan kebutuhan hidup, pengetahuan dicari demi dirinya sendiri yang terdorong rasa ingin tahu atau cinta akan kebenaran. Kebenaran pada akhirnya menjadi kebutuhan setiap manusia karena jaminan yang diberikannya menenteramkan jiwanya. Ketenteraman itu muncul karena kepastian yang muncul dari kebenaran dapat mengikat tindakan-tindakan manusia. Daya rekat kepastian inilah yang membingkai manusia dengan sesamanya.
Persoalan muncul ketika manusia mempertanyakan apa yang menjamin kepastian kebenaran itu. Kepastian itu akhirnya sesuatu yang diandaikan dengan syarat-syarat tertentu. Penetapan syarat-syarat ini kemudian dijadikan standar bagi pengandaian kebenaran itu sehingga kepastian yang muncul tidak semena-mena. Kesemena-menaan dalam penetapan kepastian kebenaran pengetahuan manusia dianggap sebagai kebalikan dari kebenaran itu sendiri. Maka muncullah pasangan kebenaran dan ketidakbenaran (true and falls).
Kepastian yang didamba manusia pada aras sebagaimana uraian di atas tidak mampu menjamin apa yang sebenarnya dicari selama ini. Dimensi transenden yang sebenarnya telah hadir secara nyata di hadapan manusia diangkat terpisah dari sumbernya. Sumber kebenaran yang dicari manusia berabad-abad ini sebenarnya telah begitu terangnya hadir di depan dirinya sendiri tapi senantiasa dihindarinya. Sumber kebenaran itu sebenarnya adalah cahaya Tuhan yang telah melekat semenjak dulu dalam lubuk hatinya pada diri setiap manusia. Inilah God-Spot yang senantiasa menarik manusia untuk bekerja pada orbitnya. Ini pula yang senantiasa membuat manusia bingung ketika ia bekerja di luar orbitnya. Ketika suara hati dalam God-Spot manusia akan mengalami split personality karena IQ dijadikan sesuatu yang dominan dalam kehidupannya. Atau EQ dipisahkan dari IQ dan SQ. Ketenteraman yang sangat didamba manusia ini bukan berada di luar dirinya. Ia berada dalam diri manusia sebagai anugerah Tuhan yang tak pernah disyukuri. Syukur yang benar adalah menggabungkan ketiga kecerdasan anugerah Allah ini menjadi satu kesatuan model. Penerimaan Tuhan dalam kehidupan pada dasarnya akan memberi makna transenden manusia. Makna transenden inilah sebenarnya yang dicari manusia berabad-abad lewat berbagai cara termasuk lewat agama. Pemaknaan transenden sebagai penerimaan akan kehadiran Tuhan dalam dirinya akan menjamin keseimbangan yang menenteramkan. Tuhan bukan lagi sesuatu yang abstrak dalam diri manusia. Ia begitu nyata hadir dalam kehidupan bahkan lebih dekat dari urat leher . Pernyataan ini menjadi sepenuhnya benar karena God-Spot secara fisik berada diantara syaraf dan otak manusia dan secara metafisik berada dalam kesadaran terdalam manusia yaitu hati nurani. Pernyataan Socrates Gnoti Seauton – kenalilah dirimu sendiri – menjadi kenalilah suara hatimu sendiri. Pengenalan akan suara hati ini sepenuhnya akan membawa kearifan pada pengenalan pada Tuhannya.

KERJA SEBUAH TRANSENDENSI BAGI MANUSIA
Manusia adalah makhluk bekerja. Kerja bagi manusia akan menentukan eksistensi manusia dalam kehidupannya. Kerja menjadi ciri sekaligus pembeda anatara manusia dengan makhluk yang lain. Bagi manusia kerja adalah kebutuhan. Dalam kerja manusia mendapatkan penghargaan, penghormatan, upah, tempat berkreasi, ilmu, masa depan, dan seluruh hidupnya. Ketinggian derajat manusia ditentukan oleh hasil kerjanya. Demikian juga kerendahan martabat ditentukan dari hasil kerjanya. Manusia tidak bisa hidup tanpa kerja bahkan seandainya seluruh kehidupannya telah disediakan. Kerja akan memberi makna eksistensi manusia. Manusia bekerja hakikatnya adalah mencari makna dalam kehidupan. Makna tidak bergantung pada materi, tetapi materi adalah wahana makna.
Kerja yang baik adalah kerja yang mampu menampilkan ketinggian martabat manusia. Ciri ini ditandai dengan apa yang dikenal sebagai transparency, fairness, responsibility, accountability and social awareness. Hasil survey dari enam benua yang dilakukan oleh The Leadership Challenge karakter-karakter terbaik yang harus dimiliki seorang CEO (Chief Executive Officer) adalah sbb : jujur, berpikiran maju, bisa memberi inspirasi, kompeten, adil, mendukung, berpandangan luas, cerdas, berterus terang, berani, bisa diandalkan, bekerja sama, berdaya imajinasi, memperhatikan orang lain, matang/ dewasa, tegas, berambisi, setia, menguasai diri, mandiri (Agustian, 2004 : 77-78). Dua sifat dasar ini ada dalam setiap individu karena merupakan cerminan suara hati atau God-Spot. Pertanyaan yang sering muncul adalah mengapa tidak semua orang berhasil menampilkan sifat-sifat ini ? Jawabannya sederhana : karena ia tidak mau. Mengapa ia tidak mau karena “ke-mau-an” ini membutuhkan syarat yang tidak semua orang nyaman menjalani. Syarat ini oleh A. Riawan Amin disebut sebagai The Celestial Management (Kompas, 29 September 2004 : 2).
The Celestial Management memuat dua hal yaitu Istiqomah (Konsisten dalam Arah Tujuan) dan Kaaffah (Konsiten dalam Cakupan). Falsafah ini mengambil makna dari air. Air mengajari kita banyak hal. Ia selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Ia tidak pernah ragu untuk terus mengalir. Ia tidak pernah lelah menyusuri ratusan hingga ribuan kilometer melintas hutan, membelah padang dengan satu tujuan : muara. Air adalah guru kehidupan. Betapa kerasnya cadas ketika tetesan air mengenai permukaannya lama kelamaan akan berlobang juga. Inilah prinsip istiqomah, yaitu sikap konsiten dalam memperjuangkan cita-citanya dengan tidak kenal lelah. Konsisten tidak selalu bicara tentang arah dan tujuan. Konsisten juga bicara tentang cakupan, tentang keselarasan antara berbagai peran dan aspek dalam kehidupan berorganisasi dan pribadi. Konsistensi menuntut keselarasan dalam segala aspek kehidupan. Keselarsan itu mencakup aspek fisik, mental, sosial dan spiritual. Inilah yang disebut kaaffah atau konsisten dalam cakupan. Syarat inilah yang dibutuhkan untuk mampu memunculkan karakter-karakter terbaik suara hati manusia. Itulah yang dilakukan oleh para CEO terbaik di dunia.
Pertanyaan baru muncul : bagaimana mereka mampu bekerja konsisten ? Jawabannya mereka bekerja sungguh dengan ikhlas tanpa mengharap sesuatu kecuali hasil sebaik-baiknya bagi orang lain. Keyakinan akan adanya hasil yang hakikatnya tidak mereka ketahui memaksa mereka berusaha sungguh-sungguh dan tidak pernah menyerah. Keyakinan ini muncul dengan sendirinya ketika ia mendengarkan bisikan suara hatinya. Di sinilah sebenarnya letak dari semua akar keberhasilan dan kegagalan. Kerja hakikatnya adalah transendensi manusia karena dalam kerja yang benar manusia mengalami kedekatan dengan Allah. Dalam kerja manusia merasa tidak mampu berbuat apa-apa kecuali atas izin Allah. Dalam kerja manusia menemukan kepasrahan total kepada Tuhannya karena hasil itu sepenuhnya bukan dia yang menentukan. Hasil senantiasa tidak dapat dipastikan. Kepastian yang menjadi harapan manusia tidak akan didapat dari kerja. Dari sinilah sebenarnya manusia mulai benar dalam melangkahkan kakinya. Kerja adalah kerja yang dilakukan dengan ikhlas, tawakal dan penuh cinta akan pekerjaan itu. Cinta itu adalah cinta pada Tuhan yang senantiasa bersamanya. Inilah sebenarnya kepastian yang senantiasa dicari dan didamba. Kekhawatiran akan hasil yang tidak pasti memaksa manusia bekerja sungguh-sungguh tidak kenal lelah sekaligus pasrah pada Allah yang Maha menentukan hasil. Inilah hakikat transendensi kerja pada manusia. Bahkan dengan kepasrahan ini suara hati makin nyaring dan merdu didengar. Keberhasilan bukanlah tujuan akhir tapi sebuah perjalanan - succsess is not a destination but a journey. Keberhasilan pasti akan diraih ketika suara hati menjadi pembimbingnya karena ia hakikatnya telah menggabungkan IQ, EQ dan SQ menjadi ESQ.
Di sisi lain manusia menuju dua kutub, yaitu SUPERIOR dan INFERIOR. Sikap superior atau inferior pada dasarnya muncul dari sifat dasar manusia untuk berkuasa. Keberhasilan perwujudan sifat ini akan melahirkan sikap superior sementara kegagalannya akan melahirkan sikap inferior. Superior maupun inferior mempunyai akar yang sama dalam diri manusia. Islam sebagai agama telah memberi peringatan kepada umatnya untuk tidak terjebak pada salah satu dari dua sikap tersebut. Sikap superior muncul karena adanya kesombongan yang menghinggapi diri manusia (Q.S. 17:37). Kesombongan ini pada akhirnya akan membawa pelakunya tidak objektif, dan merendahkan orang lain. Sementara itu sikap inferior sebagai kutub yang lain juga dilarang (Q.S. 3: 139) karena “rasa lemah” ini akan menghancurkan dirinya sendiri (Q.S. 4: 9). Secara ekstrem dua sikap ini sebenarnya derivat dari “fujur” dan “taqwa”. Superioritas muncul dari api panas “keiblisan “ yang tidak mau tunduk kepada “pasifitas” Adam. Tapi justru kebengalan iblis ini harus dikelola menjadi potensi yang melahirkan dinamika kreatif (Zubair, 2002 : 2). Sementara pasifitas Adam jangan sampai jatuh pada lembah inferioritas berhadapan dengan materia api iblis atau bahkan untuk saling melenyapkan.
Dari uraian terdahulu dapat disederhanakan secara konseptual persoalan superior dan inferior sebenarnya hanyalah persoalan pengelolaan. Potensi superior dan nferior merupakan kelengkapan seorang khalifah untuk menjadi penguasa wakil Tuhan. Artinya kehendak berkuasa bukanlah hal yang buruk (dalam terma Nietzsche adalah akar segala bentuk kekerasan dan penindasan) dan harus dihilangkan tetapi perlu mendapat bimbingan secara benar. Potensi khilafah ini pada hematnya merupakan daya dorong (drives) yang menjadi motif dasar tindakan manusia. Batas antara kreatifitas dan destruktifitas memang tipis, antara tumbuh-kembang dan kehancur-luluhan hampir bisa dikatakan berada pada satu garis berimpit. Pada kenyataannya antara yang superior dan inferior bisa bertindak amat keras (Purwoko, 2001 :7). Hal itu terjadi karena mereka mengingkari prinsip kesetaraan. Realitas ini bukan hanya dalam kehidupan sehari-hari yang tidak ilmiah bahkan dalam prinsip-prinsip keilmiahan suatu ilmu kesetaraan susah ditemukan. Kritik kaum posmodern adalah adanya ketimpangan antara yang superior dan yang inferior. Munculnya gerakan fundamentalisme karena tiadanya kesetaraan dalam berbagai sendi kehidupan. Bahkan menurut Gellner (1994: 114) fundamentalisme rasionalis menolak segala pewahyuan substantif yang menjadi ciri khas agama-agama dunia yang menisbatkan posisi dan otoritas yang adi duniawi dan lintas-budaya terhadap afirmasi dan nilai substantif. Bagi Gellner bentuk paling nyata dari fundamentalisme rasionalis adalah empirisisme David Hume yang agnostik dan skeptik. Kesimpulan David Hume yang “terpaksa” menyingkirkan tuhan karena ketiadaan bukti, paralel dengan penolakan atheisme atas adanya tuhan. Prinsip objektivitas ilmu yang menolak kemungkinan ditemukannya kebenaran di luar prinsip metode ilmiah adalah bukti pengingkaran atas prinsip kesetaraan epistemologis. Ilmu-ilmu maupun teori tidak dapat dibandingkan secara setara karena tidak ada standar yang sama (incommensurability). Prinsip ketiadaan standar ini menjadi pokok kritik Thomas Kuhn dan Feyerabend atas determinisme ilmu pengetahuan. Pendapat ini sebenarnya dapat menjadi dasar bagi penolakan atas determinasi metode dan kebenaran sebagaimana dikemukakan oleh Gadamer dengan hermeneutikanya. Secara filosofis sikap superior metodologi ilmiah Barat bertentangan dengan prinsip ilmiah itu sendiri. Sehingga metode keilmuan lain diposisikan inferior terhadap metode keilmuan Barat yang sudah mapan.
Berangkat dari tesis di atas pengembangan keilmuan baru yang tidak harus berbasis metodologi ilmiah barat mendapat peluang. Apa yang diperlukan di sini adalah model. Model pengembangan keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan menurut standar tertentu yang dipakai menjadi syarat utama. Artinya penetapan standar dengan ukuran-ukuran tertentu perlu disajikan tanpa harus merasa diri inferior.
Kajian lebih jauh atas sikap superior dan inferior sebenarnya tidak juga bisa sepenuhnya lepas dari tradisi keilmuan barat yang telah mapan. Kemapanan barat didukung terutama oleh bangunan filsafat ilmu yang kuat. Apa yang sebenarnya dibicarakan hiruk pikuk di dunia telah diberi standar yang jelas oleh filsafat ilmu. Konsekuensi logis dari kenyataan ini adalah apapun yang dihasilkan oleh tradisi keilmuan barat dapat diterima oleh dunia ilmu. Bahkan penyimpangan-penyimpangan atas kodrat, harkat dan martabat manusia pun dapat ditoleransi atas nama ilmu. Ilmu telah menjadi superior atas diri manusia. Ilmu tidak lagi untuk kesejahteraan manusia tetapi demi ilmu itu sendiri harus bebas nilai. Satu-satunya diktum yang masih diterima adalah kepentingan. Kepentingan telah menjadi penguasa atas diri manusia, atau kepentingan telah menjadi superior atas diri manusia dan ilmu. Prinsip kesetaraan yang dianut Islam dapat dijadikan sebagai dasar nilai pengembangan ilmu. Islam tidak saja menganut prinsip kesetaraan tetapi juga prinsip kemanusiaan. Penerapan kedua prinsip ini dalam bangunan filsafat ilmu menjadi kebutuhan yang mendesak untuk menyelamatkan umat manusia dari ilmu yang dikembangkannya dan kepentingan yang membelenggunya. Artinya pengembangan keilmuan harus menganut prinsip kesetaraan dan kemanusiaan bukan ilmu untuk ilmu dan ilmu untuk kepentingan. Superioritas dan inferioritas tidak harus menjadi beban yang menindih kebebasan berekspresi ilmu.
PENUTUP
Jika ada kalimat yang paling indah sebagai penyimpul maka kalimat itu tiada lain : Dari kesenyapan yang luar biasa, kesenyapan permulaan yang tak berawal muncul kerinduan Tuhan : “Aku adalah Perbendaharaan Tersembunyi, dan Aku Ingin Dikenal”.
RINGKASAN
@ Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam
Dasar
1. Tauhid
2. Kemanusiaan
3. Kesatuan Umat
4. Keseimbangan
5. Rahmatan lil’alamin
Tujuan Pendidikan Islam
1. Definisi : perubahan yang diharapkan pada subjek didik setelah mengalami proses pendidikan.
2. Fungsi Tujuan : ☺memberi arah bagi proses pendidikan, memberi motivasi dalam aktivitas pendidikan, merupakan kriteria atau ukuran evaluasi pendidikan.
3. Tahap-tahap Tujuan :
a. Tujuan Tertinggi/Final/Ultimate Goal
i. Menjadi hamba Allah yang paling taqwa.
ii. Menjadi khalifah fil ardh
iii. Untuk memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
b. Tujuan Umum
i. Bersifat realistik dan empirik, yaitu tujuan yang berfungsi sebagai arah yang taraf pencapaiannya dapat diukur seperti perubahan sikap, perilaku dan kepribadian
ii. Self realization : aktualisasi diri sebagai optimalisasi fitrah manusia.
c. Tujuan Khusus
Bersifat relatif berdasarkan ciri-ciri tertentu.
Dasar pengkhususan adalah :
i. Kultur dan cita-cita suatu bangsa.
ii. Minat, bakat dan kesanggupan subjek didik.
iii. Tuntutan situasi dan kondisi pada kurun waktu tertentu.

@ ISI PENDIDIKAN ISLAM
Klasifikasi Ilmu
Perrenial Knowledge
1. Aqidah Ontologi
2. Syariah Epistemologi
3. Akhlak Aksiologi
Acquired Knowledge
1. Imajinatif
2. Sosial Humaniora
3. Pasti Alam
4. Terapan
5. Praktis







STRUKTUR PENGETAHUAN MANUSIA

STRUKTUR ALAT
STRUKTUR REALITAS
STRUKTUR KEILMUAN
Intuisi, nurani, rasio, naluri, indera
Transenden
Ilmu Agama
Imajinasi/intuisi, nurani, rasio, naluri, indera
Human
Ilmu Filsafat
Nurani, rasio, naluri, indera
Relasi antara manusia
Ilmu Sosial, Budaya, Ekonomi, Politik, dsb
Rasio, naluri, indera
Proses, sebab-musabab kejadian, asal mula dan prospek alam semesta
Ilmu empirik, Ilmu Hayat, Ilmu Fisika, Ilmu Kimia, dsb
Naluri
Bios (hidup jasmani)
Mempertahankan hidup dan kelangsungan kehidupan jasmani
Indera
Fisiko-Kemis
Pengetahuan sederhana atas benda-benda

HAKIKAT PENDIDIKAN ISLAM

Pendidikan Islam memuat hal-hal sebagai berikut :
1. Pemahaman tentang esensi bahwa manusia adalah monodualis menyebabkan pendidikan tidak hanya bersifat antroposentris tapi sekaligus teosentris.
2. Manusia adalah makhluk yang berkembang dengan tahapan-tahapan, maka pendidikan mestilah sejalan dengan tahapan-tahapan yang dilaluinya.
3. Konsep pendidikan dalam Alquran adalah memperhatikan nilai keseimbangan antara jasmani dan rohani.
4. Nilai pendidikan Islam terletak pada keseimbangan antara aspek pemikiran dan perasaan.
5. Setelah keseimbangan antara pikir dan rasa dapat ditumbuhkembangkan, maka akan terbentuklah manusia yang seimbang antara dimensi abd (kehambaan, kepatuhan) dan kekhalifahan (kepemimpinan, kreativitas)






PERBEDAAN PENDIDIKAN ISLAM DENGAN PENDIDIKAN SEKULER

Pendidikan Sekuler
Pendidikan Islam
Dasar : antroposentris
Dasar : teosentris dimana konsep antroposentris merupakan bagaian esensial dari konsep teosentris
Tujuan : Kehidupan duniawi, maju, adil, sejahtera, dan dinamis sbg tujuan akhir
Tujuan : kerja membangun kehidupan duniawi melalui pendidikan sebagai perwujudan mengabdi pada Allah. Pembangunan kehidupan dunia bukan tujuan akhir tetapi merupakan kewajiban yang diimani terkait kuat dengan kehidupan ukhrawi. Tujuan akhir adalah kehidupan yang diridhai Allah.
Konsep : Tabula rasa
Konsep : Fitrah
Nilai : IPTEK dengan kebenaran relatif
Nilai : IPTEK dan iman dengan kebenaran relatif dan mutlak

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN TENTANG PENDIDIKAN ISLAM

IBNU KHALDUN

Pandangan Ibnu Khaldun tentang manusia yi, manusia adalah hewan yang berpikir dan bermasyarakat. Jadi diri manusia itu ditentukan dari kegiatan berfikir dan cara bermasyarakatnya. Keistimewaan manusia adalah kemampuan bermasyarakatnya yang didasarkan pada produk berfikir bukan pada instink belaka.
Jadi hal yang esensial dalam pendidikan adalah ilmu teoritis dan ilmu yang didasarkan pada tabiat manusia guna kebutuhan manusia menuju pada pemahaman ilmu yang berbeda-beda.
Epistemology
Ilmu dibagi menjadi ilmu pokok yaitu, syariah, kedokteran, matematika, fisika dan teologi. Ilmu alat, yaitu bahasa Arab, ilmu hisab bagi ilmu syariat, dan ilmu mantiq bagi filsafat.
Kurikulum pendidikan
Pendidikan awal adalah pengajaran Alquran sebagai sarana syiar agama
Pendidikan dilarang dengan kekerasan.
Filsafat manusia.
Hakikat pendidikan adalah untuk mewujudkan INSAN KAMIL yang memiliki karakteristik :
v Aql tamyiz adalah pemahaman intelektual manusia terhadap segala sesuatu di luar alam semesta yang lahir, dalam tatanan alam yang berubah-ubah. Kemampuan manusia membedakan untuk memperoleh kebaikan dan menolak kesia-siaan.
v Aql bilfi’li (akal eksperimen): kemampuan membuat apersepsi dalam pengalaman.
v aql nazhari (akal sepekulatif), pengetahuan hipotesis, mengenai sesuatu di belakang persepsi indera.
Muhamad Abduh

Pendidikan adalah sarana penanaman aqidah yang benar sesuai dengan aql manusia. Rasio dan tauhid adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan karena menggunakan aql adalah satu dari dasar-dasar Islam. Keimanan seseorang tidak sempurna kalau tidak didasarkanpada aql. Manusia bagi Abduh mempunyai free will dan free act.

Ibn Sina (370 – 428 H/ 980 – 1038)

Ia berpendapat ilmu dibagi menjadi dua yaitu ilmu yang tidak kekal dan ilmu yang kekal. Ilmu yang kekal adalah ilmu hikmah yang didasarkan pada logika. Berdasar pada tujuannya, ilmu dibagi menjadi ilmu praktis dan ilmu teoritis.
Ilmu praktis terdiri dari :ilmu akhlak, ilmu pengurusan rumah tangga, ilmu tata kota, ilmu kenabian.. ilmu teoritis terdiri dari : ilmu kealaman, ilmu matematika, ilmu ketuhanan dan ilmu umum.
Konsep pendidikannya, yaitu pendidikan bercorak individu bagaimana seseorang mengendalikan diri yang dilanjutkan dengan bimbingan kepada keluarga, masyarakat dan seluruh umat manusia. Tujuan pendidikan nya yaitu mencapai kebahagiaan yang dicapai secara bertahap. Kebahagiaan yang menyeluruh hanya akan dapat dicapai dengan risalah kenabian. Kurikulum pendidikannya disesuaikan dengan tingkat usia, kemampuan dan bakat yang mengakui adanya perbedaan individual (individual differencies). Catatan : pemikiran pendidikan yang menyangkut pendidikananak di barat baru dimulai menjelang abad 18, yaitu dietrich Tiedemann (1787). Ia adalah seorang ahli psikologi anak. Sebelum ini anak dianggap sebagai orang dewasa yang berujud kecil.
Muhamad Iqbal
Setiap pengembangan teori pendidikan yang mantap harus memiliki anggapan dasar berupa konsep tertentu tentang hakikat individualitas dan hubungannya dengan masyarakat, serta tujuan akhir kehidupan insani.
Khudi (individualitas) adalah sesuatu kesatuan yang riil, nyata, mantap dan tandas yang merupakan pusat dan landasan dari keseluruhan kehidupan manusia. Khudi harus merupakan satu kesadaran mandiri yang tidak larut dalam apapun.
Criteria untuk menentukan martabat realitas dari setiap organisme adalah seberapa jauh ia dapat menghayati ego nya yang kukuh dan tangguh. Artinya yang pantas dinyatakan ada dalam arti yang sesungguhnya hanyalah yang mampu menyatakan inilah aku. Individualitas adalah maslah tingkatan dan tak pernah terealisasikan secara penuh.
Maka insan kamil bagi Iqbal merupakan cita ideal yang selalu harus diusahakan. Jadi tingkat ke kamil an seseorang tergantung pada seberapa besar usaha untuk melakukan pemenuhan diri. Perkembangan individualitas merupakan suatu proses kreatif dimana individu memainkan peranan aktif, selalu mengadakan aksi dan reaksi yang bertujuan pada pembentukan lingkungan. Jadi proses ini bukanlah suatu kejadian dimana individu hanya tinggal menyesuaikan diri secara pasif terhadap lingkungan yang statis.
Syarat pertumbuhan kepribadian yang tangguh adalah :
kreativitas : perkembangan kreativitas merupakan atribut kemanusiaan paling tinggi yang mempertautkannya dengan ilahi.
orisinalitas : orisinalitas merupakan pra syarat bagi segala perubahan yang mengarah pada kemajuan dan mempradugakan kebebasan.
kebebasan : individu tidak mungkin mengembangkan kekuatannya yang laten apabila tidak bernafaskan udara dan suasana kebebasan.
Tujuan akhir pendidikan – demikian juga tujuan tertinggi segala usaha dan gerak social budaya – hendaklah memperkokoh dan memperkuat individualitas dari semua pribadi, sehingga mereka menyadari segala kemungkinan yang dapat saja menimpa mereka. Konsep ini sesuai dengan konsep Alquran yang menekankan cara yang wajar tetapi mantap, menekankan pada individualitas serta unisitas (kekhasan) manusia. Konsep tersebut menggariskan pula dengan tandas mengenai masalah tujuan akhir manusia sebagai satu kesatuan dari kehidupannya.

Konsep-konsep pokok pendidikan
metafisika : realitas pada akhirnya bersifat ruhani dan kehidupannya berlangsung dalam kegiatan sehari-hari yang temporal. Sedangkan ruhani menampilkan diri dalam kehidupan alam material maupun duniawi. Oleh karena itu segala yang bersifat bendawi akhirnya bertopang pada akar ruhani. Materi saja tidak mungki9n memiliki substansi apabila tidak mengakar pada dunia ruhani. Apa saja yang kita alami sebagai materi merupakan ruang lingkup bagi realisasi diri ruh.
epistemology : pendidikan hendaknya diarahkan pada penundukan ruhani terhadap jasmani untuk meraih dunia.
axiology : yaitu seperangkat nilai akan terealisir secara efektif apabila pribadi dipenuhi dengan kesadaran dan penghayatan. Moralitas tidak mungkin dipelajari dan diajarkan dalam suatu pengasingan atau isolasi. Jadi ada pertautan antara perbuatan social dan perbuatan susila.
Konsep ideal manusia
Hidup yang baik ialah hidup yang penuh usaha dan perjuangan, bukan suatu cara hidup yang menarik diri dan memencilkan diri, bukan corak kehidupan yang dihiasi kemalasan dan memandang segala serba enteng.
Orang yang baik hendaknya belajar menerapkan inteligensinya secara meningkat terus dalam rangka penjelajahan dan pengendalian daya dan kekuatan alam; sambil mengembangkan dan menambah pengetahuan dan kekuatannya sendiri. Tanpa pengembangan intelektualnya secara optimal ia akan tetap menjadi permainan bagi kekuatan lingkungan sekitar (konsep khalifatullah filardh).
Maka pendidikan harus mengembangkan komponen-komponen utama bagi pendidikan watak, yaitu :
Keberanian : keberanian dapat dipupuk dan dijadikan satu pertanda dari watak dengan jalan menjadikan tauhid sebagai prinsip kerja yang melandasi segala tingkah laku kita.
Toleransi : menghargai individualitas orang lain yaitu kepercayaan, fikiran dan perbuatannya.
Faqr dan Istighna : materi tidak membelenggu kehidupan rohani. Zuhud di bidang intelektual dan emosional yang tidak memalingkan diri dari dunia – yaitu dunia sebagai sumber kejahatan –melainkan memanfaatkan dunia itu dalam rangka pencapaian maksud-maksud baik penuh makna dan berbobot nilai ilahiah.

DAFTAR PUSTAKA
Alquranul Karim
Bagus, Lorens, 2000, Kamus Filsafat, Jakarta, Gramedia
Gellner, Ernest, 1994, Menolak Posmodernisme antara Fundamentalisme Rasionalis dan fundamentalisme Religius, Terjemahan :Postmodernism, Reason and Religion, Bandung, Mizan,, p. 114
Hadi, Hardono, 2000, Jatidiri Manusia Menurut Filsafat Organisme Whitehead, Yogyakarta, Kanisius
Huizinga, 1990, Homo Ludens, Jakarta, LP3ES
Kattsoff, Louis O., 1996, Pengantar Filsafat, Yogyakarta, Tiara Wacana
Leahy, Louis, 1989, Manusia Sebuah Misteri, Jakarta, Gramedia
Mangunhardjono, 1983, Homo Religiousus Menurut Mircea Eliade dalam M.Sastraprateja (Ed)., Manusia Multi Dimensional , Jakarta, Gramedia
Purwoko, Herudjati, 2001, Aturan Main, Fair Play & Kekerasan Massal, dalam RENAI Jurnal Penelitian Ilmu Sosial & Humaniora, Edisi Musim Penghujan Oktober 2000
Sastraprateja (Ed.), 1983, Manusia Multi Dimensional , Jakarta, Gramedia
Leahy, Louis, 1989 : Manusia Makhluk Paradoksal, Gramedia, Jakarta
Bagus, Lorenz, 1991 : Metafisika, Gramedia, Jakarta
F. Schuon , 1997 : Hakikat Manusia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Wirawan, 1976 : Pengantar Umum Psikologi, Bulan Bintang, Jakarta
The Liang Gie, 1998: Filsafat Ilmu Pengetahuan, Gadjah Mada Press, Yogyakarta
Damardjati, 1993: Nawangsari, Mandala, Yogyakarta
J.Sudarminta, 2002 : Epistemologi Dasar, Gramedia, Jakarta
Barnadib, 1994 : Filsafat Pendidikan, Andi Offset, Yogyakarta
Fatimah, Irma, (Ed.).,1992: Filsafat Islam Tinjauan Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, LESFI, Yogyakarta
Muhadjir, 1994: Metodologi Penelitian Kualitatif, Rake Sarasin, Yogyakarta
Siswanto, 1998 : Sistem-Sistem Metafisika, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Syariati, 1984: Tugas Cendekiawan Muslim, Rajawali Press, Jakarta

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Komentar

free counters

¾