web 2.0
"INFORRMATIKA SERVICE CENTER" Pusat Informasi & Konsultasi (Melayani Service Komputer, Kursus Teknisi Komputer, Privat/group; 085 742 264 622

Selasa, 14 September 2010

THAHARAH BISA MENSUCIKAN LAHIR DAN BATIN

A.  PENDAHULUAN

Salah satu inti ajaran yang tidak bisa terpisahkan dari agama Islam adalah 'thaharah'. Islam menghendaki umatnya menjadi umat yang bersih dan suci baik lahir maupun batin. Segala bentuk kotoran yang dapat merusak kesucian lahir dan batin manusia pasti dilarang oleh Islam. Islam bahkan menjadkan kesucian setengah dari iman. Tentunya yang dimaksud kesucian disini adalah kesucian lahir dan batin atau kesucian jasmani dan rohani.


Sebelum kita mendalami lebih lanjut makna dan filosofi thaharah ini, terlebih dahulu kita mengulang kembali konsep thaharah dalam Islam. Secara umum thaharah dapat dibagi menjadi dua yaitu: thaharah zhahir dan thaharah batin. Allah Swt. berfirman, "Innallâha yuhibbu 't-tawwâbîn wayuhibbu 'l-mutathahhirîn" (Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan diri).[1] Taubat dalam ayat di atas adalah cara membersihkan diri dari rijs atau kotoran batin, sedangkan thaharah adalah cara membersihkan diri dari najis atau kotoran zahir.

B.  RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pengertian thaharah lahir dan batin
2. Bagaimana filosofi thaharah lahir dan batin

C.  PEMBAHASAN
1.  Thaharah lahir/zahir
Adapun thaharah zahir ada dua macam yaitu, (a) thaharah dari khabats (kotoran yang tampak) atau disebut juga dengan najis 'ainy/hissy, dan (b) thaharah dari hadats (keadaan yang dihukumi oleh syariat sebagai sifat tidak suci) yang disebut juga najis hukmy/maknawy.[2] Kedua kotoran ini (Khabats dan hadats) masing-masing memiliki pembagian dan cara membersihkannya.
Khabats memiliki tiga pembagian yaitu: (a) Mughallazhah (berat), seperti liur babi dan anjing) dibersihkan dengan air tujuh kali, dan salah satunya dicampur dengan tanah. (b) Mutawassithah (sedang-sedang), seperti kotoran manusia, dibersihkan dengan air sampai hilang warna dan baunya. (c) Mukhaffafah (ringan), seperti air kencing bayi laki-laki yang belum makan apapun kecuali dari susu ibunya.[3] Cara membersihkannya cukup dengan memercikkan air di atasnya.
Adapun hadats mempunyai dua pembagian yaitu (a) hadas kecil yang dihilangkan dengan berwudhu dan (b) hadas besar (junub, dan haid dan nifas) yang dihilangkan dengan ghusl (mandi wajib). Saking pentingnya kedua thaharah ini Allah menjadikannya menjadi syarat sahnya ibadah yang paling pokok dalam dalam islam yaitu shalat.

2.   Thaharah Batin
Sedangkan thaharah batin juga ada dua macam yaitu:
a.   Thaharah amal perbuatan dari dosa dan maksiat, baik dosa besar maupun dosa kecil. Dosa besar seperti dosa-dosa besar yang disebutkan Nabi Saw. yaitu, perbuatan syirik , membunuh manusia dengan jalan yang tidak benar, sihir, memakan harta riba, memakan harta anak yatim, berbuat zina, durhaka kepada orang tua, mencuri, menuduh perembuan baik-baik berzina, lari dari medan pertempuran dan sebagainya. Dosa kecil seperti melalaikan tugas dan kewajiban, menyia-nyikan waktu, berkata yang tidak bermanfaat dan tidak baik dengan sengaja, memandang kepada hal-hal yang diharamkan, suka membicarakan dan mendengar aib orang lain, tidak proporsional dalam memberikan hak-hak orang, suka berbicara atau berbuat kasar yang menyakiti hati orang lain dan sebagainya. Cara membersihkan semua itu adalah dengan bertaubat dan menggantinya dengan amal shalih. Allah berfirman, "Inna 'l-hasanât yudzhibna 's-sayyi'ât." (Sesungguhnya perbuatan baik itu akan menghapus perbuatan buruk)
b.   Thaharah dari aib dan penyakit hati, seperti riya' dan 'ujub dalam melaksanakan kebaikan (tidak ikhlas karena Allah), sombong, dengki terhadap kebahagiaan orang lain, khianat terhadap kepercayaan yang diberikan, tidak merasa takut kepada Allah dan meremehkan perintah dan larangannya, tidak bersyukur kepada nikmat-Nya, tidak bersabar terhadap cobaan-Nya dan sebagainya, tidak ridha dengan qadha' dan qadar-Nya, dan sebagainya. Cara membersihkannya adalah dengan bertaubat sebagaimana firman Allah di atas (Innallâha yuhibbu 't-tawwâbîn...)[4] dan menyempurnakan ibadah hati seperti ikhlas, ridha, khauf, roja' syukur, sabar, tawakkal, mahabbatullah dan sebagainya.

Rasulullah saw bersabda, "At-Thuhûr syathru 'l-îmân." (kesucian adalah setengah dari iman). Tidakkah kita memperhatikan betapa tinggi makna ungkapan Rasulullah di atas? Iman adalah segala-galanya bagi orang muslim, dan setengah dari iman itu adalah kesucian. Hal ini menunjukkan betapa istimewanya kedudukan thaharah dalam Islam. Dan jelas bahwa kesucian yang dimaksud bukan hanya kesucian jasmani tetapi juga kesucian rohani.
Apa hikmah mengapa Rasulullah mengatakan thaharah adalah setengah dari iman? Menurut ijmâ' ulama salaf, iman adalah ikrar hati, ungkapan lisan dan amalan anggota badan. Artinya bahwa iman mencakup amalan hati dan amalan badan. Sedangkan amalan ini ada dua macam yaitu mengerjakan perintah dan meninggalkan larangan. Dengan demikian, ketika seseorang berupaya membersihkan hati dengan meninggalkan maksiat-maksiat hati, meninggalkan perbuatan maksiat dan menghindari najis 'ainy, maka ia telah melakukan setengah keimanan. Karena setengah lainnya adalah melaksanakan ibadah hati dan melakukan amal shalih dan melakukan thaharah badan.

3.   Filosofi Kebersihan Zahir
Allah SWT sering kali memberi 'illah (alasan) larangan-larangn-Nya di dalam al-Quran dengan perkataan, "Sesungguhnya Allah tidak menyukai..." sebagaimana juga memberi alasan perintah-Nya dengan perkataan, "Sesunguhnya Allah menyukai..." dan seterusnya. Hal ini menunjukkan sifat kasih sayang yang penuh terhadap orang yang diperintah ataupun dilarang. Sebagaimana perkataan seorang bapak yang melarang anaknya berbuat jahat kepada temannya dengan mengatakan, "Jangan lakukan itu...! ketika ditanya oleh anaknya, mengapa ia dilarang, sang bapak menjawab, "Karena bapak tidak suka..." Jawaban ini sebenarnya sudah cukup bagi anak yang tidak mengerti rahasia di balik larangan itu. Demikian juga dengan manusia yang dalam keadaan tertentu tidak mengerti hikmah di balik larangan atau perintah Allah. Cukuplah baginya alasan perintah atau larangan itu adalah bahwasanya Allah menyukainya atau tidak menyukainya. Larangan sang bapak terhadap anaknya itu adalah semata-mata karena kasih sayang untuk kebaikan si anak. Demikian juga larangan Allah terhadap hamba-Nya adalah semata-mata rahmat dan untuk kebaikan hamba itu sendiri.
Demikian halnya dalam perintah untuk berthaharah ini. Allah berfirman "Innallâha yuhibbu 't-tawwâbîn wa yuhibbu 'l-mutathahhirîn." (QS. Al-baqarah: 222) (Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan diri).[5] Walaupun demikian, hikmah thaharah ini bagi kita sebenarnya sangat nyata dan dapat kita rasakan sendiri. Allah memerintahkan kita untuk bersih dan rapi.
Dia mewajibkan kita wudhu paling sedikit lima kali sehari. Hal ini karena wajah, tangan, kepala, dan kaki adalah organ-organ tubuh yang bersentuhan langsung dengan alam luar, bersentuhan dengan kotoran, debu, sinar matahari, terpaan angin yang membawa kuman sehingga wajar saja jika diperintah untuk selalu membasuhnya sehingga selalu bersih dan segar. Tidak kalah pentingnya adalah, bahwa dosa-dosa kita akan mengalir keluar dari akhir tetesan air wudhu kita. Jadi ibadah wudhu bukan sekedar membersihkan anggota badan tetapi juga membersihkan diri dari dosa-dosa kecil.
Dalam sebuah hadis shahih yang diriwayatkan o;eh imam Bukhari bahwa dalam seminggu Rasulullah saw mewajibkan mandi minimal sekali bagi umat Islam, yaitu ketika hendak melaksanakan ibadah shalat jumat. (al-ghuslu wâjibun 'ala kulli muhtalim). Selain itu juga Islam mewajibkan bagi setiap muslim untuk mandi wajib setiap selesai melakukan hubungan suami isteri, dalam hal ini setiap orang dapat merasakan pentingnya mandi setelah melakukan hubungan suami isteri ini atau junub, karena mandi dapat mengembalikan kesegaran dan kebugaran tubuh. Kedua mandi itu adalah mandi wajib. Mandi wajib yang lainnya adalah ketika badan kita terkena najis, karena Islam mewajibkan bagi umatnya untuk membersihkan badan, pakaian dan tempat dari najis dan kotoran. Itu semua adalah mandi wajib, adapun mandi untuk membersihkan dan dan menyegarkan badan, Islam juga sangat menganjurkan.
Tentang penampilan yang bersih dan baik, Islam tidak melalaikannya. Bahkan Islam menyebutnya sebagai fitrah manusia. Rasulullah saw menyabdakan bahwa ada lima hal yang merupakan fitrah manusia yaitu: memotong kuku, mencukur kumis, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan dan memanjangkan jenggot. Jika kita memperhatikan semua fitrah itu dengan seksama, tiada lain menunjukkan fitrah kebersihan yang diajarkan oleh Rasulullah kepada umatnya. Selain itu, beliau juga mesyariatkan kepada umatnya untuk selalu menjaga kebersihan gigi. Rasulullah menyeru umatnya untuk melakukan siwak (sikat gigi) setiap hendak melakukan ibadah shalat.
Bahkan sampai akhir hayat, ketika Rasulullah menghadapi skaratul maut, beliau sempat-sempatnya bersiwak. Tidakkah semua itu mengisyaratkan betapa Islam sangat mementingkan kebersihan dan kesucian? Indahnya, bahwa Islam tidak hanya menjadikan semua itu sebagai amalan bisa, tetapi menjadikannya ibadah yang apabila dilaksanakan akan berpahala. Rasulullah saw bersabda, "as-siwâku math•haratun li 'l-fami wa mardhâtun li 'r-Rabb." (HR. Bukhari) (Siwak adalah kebirsihan bagi mulut dan keridhaan di sisi Allah)
Rasulullah bersabda, "Man kâna lahû sya'run falyukrimuh." (HR. Abu Daud). Artinya, "Barang siapa yang dianugerahi rambut, hendaklah ia menghormatinya." Betapa indah ungkapan Rasulullah saw ini, beliau menyuruh umatnya untuk menghormati rambut. Kata "menghormati" lebih dari sekedar menjaga dan memelihara rambut dengan baik.
Rasulullah mengajarkan umatnya untuk berpakaian yang rapi dan baik. Dalam sebuah hadis riwyat imam Malik diceritakan bahwa Rasulullah saw melihat salah seorang sahabat yang berpakaian lusuh dan compang camping, akhirnya belau memanggil sahabat tersebut dan memberinya dua potong baju yang bagus dan menyuruhnya untuk memakai kedua-duanya sekaligus. Seorang sahabat mengadu kepada Rasulullah saw bahwa ia adalah seorang yang paling senang berdandan rapi, senang memakai pakaian dan sandal yang bagus, apakah semua itu merupakan suatu bentuk kesombongan? Rasulullah menjawab, itu bukanlah kesombongan, karena Allah adalah Dzat Yang Maha indah dan menyukai keindahan. Tetapi kesombongan adalah mengingkari kebenaran yang ia ketahui dan merendahkan manusia. (Innallâha jamîlun yuhibbu 'l-jamâl, al-Kibru batharu 'l-haq wa ghamtu 'n-nâs) (HR. Muslim) tetapi semua itu haruslah dalam batas kewajaran dan kesederhanaan, karena Islam juga melarang berlebih-lebihan, bermewah-mewahan dan melakukan perbuatan yang mubazzir, karena semua itu merupakan perbuatan setan.
Allah Swt berfirman, "Yâ banî Âdama khudzû zînatakum 'inda kulli masjid." (Wahai anak Adam, gunakanlah perhiasan (pakaian yang bagus) setiap kali hendak ke masjid (shalat). Perhatikalan betapa mulia perintah ini. Bukankah kebiasaan manusia setiap hendak ke masjid, mereka malah menggunakan pakaian yang biasa dan tidak mau berdandan rapi? Dan ketika menghadapi manusia, ia senang berwangi-wangian berdandan rapi? Tetapi Islam bukan hanya memerintahkan untuk berdandan rapi menghadapi manusia, tetapi juga berdandan rapi ketika menghadapi Allah Swt. Bukankah Allah adalah tuhan yang paling berhak untuk diagungkan dengan pakaian yang paling rapi.
Rasulullah melarang umatnya untuk pergi ke masjid setelah makan bawang merah, bawang putih dan bengkoang (bawang bakung) karena itu dapat menyakiti orang yang disamping kita dan merusakkan kekhusukannya ketika shalat. Apalagi bau keringat dan ketiak yang menyengat. Artinya bahwa kita disuruh untuk bersih dan wangi ketika hendak ke masjid. Bahkan lebih itu Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya malaikat merasa tidak enak (karena bau busuk) dengan apa yang dirasakan enak oleh anak Adam." (Man akala 'l-bashal wa 'l-tstsûm wa 'l-kurrâts falâ yaqrabanna masjidana, fainna 'l-malâikata tata'adzdzâ mimmâ yata'adzdzâ minhu banû Âdam) (HR. Muslim)
Jika Islam memperhatikan kebersihan pribadi sedemikian rupa, maka kebersihan tempat dan lingkungan jelas lebih diutamakan karena itu menyangkut kebersihan dan kesehatan umum. Rasulullah saw melarang umatnya membuang kotoran di sembarang tempat, sepeti di jalanan umum, tempat tiupan angin dan tempat-tempat berteduh. Beliau juga melarang mengencingi air yang diam bahkan air yang mengalir. Tetapi umat beliau sekarang bukan hanya membuang kotoran biasa, melainkan membuang limbah industri ke sungai-sungai yang jelas-jelas merusak lingkungan dan membahayakan kehidupan hewan dan manusia. Semua itu termasuk perbuatan zalim yang dilarang oleh Islam.
Lihatlah betapa indah ajaran Islam ini. Islam mengatur hal-hal yang paling kecil sampai hal yang paling besar. Umat siapa di dunia ini yang diajarkan oleh Rasulnya cara beristinjak selain umat Islam. Umat siapa di dunia ini yang cara bersinnya saja diatur selain umat Rasulullah Saw.? Islam adalah agama pribadi dan ke-umatan, agama yang mengatur politik kekusaan, agama yang mengatur negara dan dunia, agama jihad tetapi juga agama kasih sayang bagi seluruh alam, agama keadilan tetapi juga agama ihsân (lebih dari sekedar adil).
Islam tidak mengenal sekularisme. Orang Islam yang menolak kaum muslimin berpolitik sebenarnya telah terjerat oleh belenggu sekularisme itu sendiri. Islam adalah agama politik tetapi politik yang jujur, adil dan kasih sayang. Sebagaimana Islam melarang berbadan kotor, ia juga melarang perbuatan kotor berupa maksiat dan kezaliman.

4.   Filosofi Kesucian Batin
Sebagaimana Islam sangat menekankan umatnya untuk berperilaku bersih dalam kehidupan zahirnya menghindari segala yang kotor dan najis, Islam juga sangat mementingkan kebersihan batin. Menghindari segala yang kotor baik berupa najis atau rijs. Kotoran batin yang paling pertama diperangi Islam adalah segala bentuk kesyirikan. Islam mengancam dengan keras bahwa syirik adalah dosa yang tidak diampuni kecuali dengan bertaubat sunguh-sungguh dan kembali ke pelataran iman yang suci dan murni.
Untuk mengantisipasi kotoran syirik ini Islam melarang dengan keras perdukunan, sihir, menyembah berhala. Lebih jauh dari itu Islam juga melarang melakukan kebaikan atas dasar riya (pamer) karena merupakan syirik yang tersembunyi. Rasulullah bersabda: "Akhwafu mâ akhafu 'alâ ummatî asy-syirkul Ashgar."
Islam menghendaki umatnya untuk beramal dengan tulus ikhlas semata-mata karena Allah Swt.. Allah berfirman: "Wamâ umirû illâ lya'budullaaha mukhlishîna lahuddîn." (QS. Al-Bayyinah: 5) (Tidaklah mereka diperintah kecuali untuk menyembah Allah dengan mengikhlaskan penyembahan terhadap-Nya). Untuk mengantisipasi kesyirikan ini Rasulullah Saw. mengajarkan kita untuk selalu men-tajdid (memperbaharuai) iman dengan mengucap, "Lâ ilâha illallâh". Beliau juga mengajarkan sebuah doa untuk dilantunkan setiap pagi dan petang: "Allaahumma innî a'ûdzubika min an usyrika bika syaian a'lamuhu wa astaghfiruka lmâ lâ a'lamuh."
Islam mengharamkan perbuatan-perbuatan haram, karena merupakan perbuatan kotor, rijs dan amalan setan. Allah berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan azlâm (anak panah) , adalah rijs dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan." (Al-Maidah: 90)
Kotoran batin setelah syirik yang diperangi Islam adalah maksiat. Maksiat dalam segala bentuknya, dari yang paling besar hingga yang paling kecil. Rasulullah Saw. telah mewanti-wanti kabâir atau dosa besar yang merupakan kekotoran yang menodai kesucian iman yaitu: Sirik kepada Allah, membunuh, durhaka kepada orang tua, menuduh berzina, lari dari medan pertempuran. Kemaskiatan berikutnya adalah prilaku kezaliman terhadap manusia baik kepada skala individu hingga sekala bangsa dan umat.
Rasulullah pernah mengilustrasikan maksiat kecil itu bagaikan noda hitam yang menutupi cermin. Jika setiap kali noda itu dihapus dengan istighfar, maka cermin itu akan tetap bersih. Tetapi jika dibiarkan maka akan berubah menjadi karatan yang susah dihilangkan. Itu dosa kecil, bagaimana lagi dengan dosa besar yang memang adalah karatan. Yang ingin disampaikan bahwa maksiat itu adalah noda dan kotoran. Dan cara membersihkannya adalah dengan istighfar dan bertaubat.
Batin (hati) adalah sumber prilaku manusia. Jika hatinya baik maka prilakunya juga akan baik. Hati juga adalah obyek yang dilihat oleh Allah Swt. Bayangkanlah jika ternyata selama ini isi hati kita adalah cinta yang berlebihan kepada duniawi kemaksiatan, khianat, kebencian, permusuhan, ketidak ikhlasan, riya' dan selalu ingin didengar, dan berbagai kekotoran hati lainnya, lalu dengan apa kita akan menghadap Allah Swt di hari akhirat kelak? Apa modal yang akan kita bawa padahal ibadah hati merupakan syarat diterimanya ibadah lahir. Padahal Rasulullah saw bersabda: "Innallâha lâ yanzhuru ilâ shuwarikum, wa lâ ilâ ajsâmikum walâkin yanzhuru ilâ qulûbikum." (HR. Muslim) (Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada badanmu, tidak juga kepada rupamu, tetapi ia memandang kepada hatimu). Bayangkan jika shalat yang selama ini kita dirikan, ternyata tidak pernah ikhlas, hanya ingin dilihat, malas-malasan melakukannya dan bahkan sangat jauh dari kekhusyukan.
Apa yang bisa kita harapkan dari shalat semacam ini. Allah meminta kita untuk khusyuk, namun pikiran dan hati kita malah selalu mengingat perkara-perkara duniawi. Padahal Allah menyuruh kita untuk menghadapkan wajah ke kiblat agar hati kita menghadap kepada Allah dan meninggalkan dunia di belakang punggung kita. Maka wajar saja shalat kita tidak mampu menjadi pencegah dari maksiat dan kemungkaran.
Demikianlah hati kita selalu dipenuhi dengan rijs, maka tidak heran Allah mewajibkan kita untuk selalu meminta hidayah dalam setiap shalat, (Ihdina 'sh-shirâta 'l-mustqîm). Allah memerintahkan kita untuk bertaubat dari segala dosa baik yang kita sadari ataupun tidak kita sadari. Rasulullah mengajarkan kita untuk selalu banyak-banyak beristigfar. Rasulullah bnerabda: "Aku beristigfar dalam sehari lebih dari 70 puluh kali." dalam riwayat lain 100 kali. Jika orang yang suci sepeti Rasulullah saw beristigfar sehari sebanyak seratus kali, apakah kita makhluk yang penuh dengan kotoran zahir dan batin ini lengah dan lalai dari minta ampun kepada Allah Swt? Pertanyaan ini semoga dapat membangkitkan semangat kita untuk selalu membersihkan diri baik lahir maupun batin. Sehingga bertemu dengan Allah dengan hati yang bersih


D.    KESIMPULAN
thaharah zahir ada dua macam yaitu, (a) thaharah dari khabats (kotoran yang tampak) atau disebut juga dengan najis 'ainy/hissy, dan (b) thaharah dari hadats (keadaan yang dihukumi oleh syariat sebagai sifat tidak suci) yang disebut juga najis hukmy/maknawy. Sedangkan thaharah batin juga ada dua macam yaitu: a. Thaharah amal perbuatan dari dosa dan maksiat, baik dosa besar maupun dosa kecil. b. Thaharah dari aib dan penyakit hati, seperti riya' dan 'ujub dalam melaksanakan kebaikan (tidak ikhlas karena Allah), sombong, dengki terhadap kebahagiaan orang lain, khianat terhadap kepercayaan yang diberikan, tidak merasa takut kepada Allah dan meremehkan perintah dan larangannya, tidak bersyukur kepada nikmat-Nya, tidak bersabar terhadap cobaan-Nya dan sebagainya, tidak ridha dengan qadha' dan qadar-Nya, dan sebagainya.
Pada intiny ternyata thaharah dapat mensucikan lahir dan batin maka dari itulah kita semua sebagai umat islam yang bertaqwa jangan sampai menyepelekan hal-hal kecil yang kadang kala tidak kita hiraukan, padahal hal-hal seperti inilah yang harus kita dahulukan dan kita perhatikan.

E.     PENUTUP
Dari pembahasan diatas pemakalah kira banyak sekali kekurangan-kekurangan yang tidak dapat kita sebutkan karena dengan adanya kemampuan kami yang terbatas, maka dari itu kami dari pemakalah mohon kritik dan saran atas kekurangan-kekurangan pemaparan makalah kami dan atas dukunganya kepada semua pihak yang membantu pemakalah ucapkan terima kasih.


DAFTAR PUSTAKA

Abd. Al-Rahman Al-Jaziri, Al-fiqh ala Al-madzabib Al-Arba’ah jilid I (Al-Kuttub Al- Ilmiyyah, 1990).

Ibn Rusyd Al-Qurtubi, Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Mujtahid (Semarang: Toha Putra, t.t.)

Yusuf Al-Ardabili, Al-Anwar li A’mal Al-Abrar (Mesir: Al-Tijariyyah Al- Kubra, t.t.)

Abu Ishaq Al-Syirazi, Al- muhadzdzab fi Al-Fiqh Al- Imam Al-Syafi’i (Semarang: Toha Putra, t.t.)

Yayasan Penterjemah Al Qur’an, Al Qur’an dan Terjemahnya, Semarang; CV Wicaksana, 1991, hlm. 187.

Shaleh Abdurrahman, Pendidikan Agama dan Pembangunan Watak Bangsa, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2005, hlm. 137.

Djamaluddin Ancok dan Fuad Anshori Suroso, Psikologi Islami, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 1995, hlm. 80.



[1] Abd. Al-Rahman Al-Jaziri, Al-fiqh ala Al-madzabib Al-Arba’ah jilid I (Al-Kuttub Al- Ilmiyyah, 1990). hlm 35.
[2] Ibid, hlm 40.
[3] Abu Ishaq Al-Syirazi, Al- muhadzdzab fi Al-Fiqh Al- Imam Al-Syafi’i (Semarang: Toha Putra, t.t.) hlm 22.
[4] Ibid, hlm 30.
[5] Yayasan Penterjemah Al Qur’an, Al Qur’an dan Terjemahnya, Semarang; CV Wicaksana, 1991, hlm. 187.

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Komentar

free counters

¾