web 2.0
"INFORRMATIKA SERVICE CENTER" Pusat Informasi & Konsultasi (Melayani Service Komputer, Kursus Teknisi Komputer, Privat/group; 085 742 264 622

Rabu, 01 September 2010

IMPLEMENTASI PENDEKATAN KONTEKSTUAL UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KREATIVITAS SISWA

Abstrak: Salah satu bagian dari mata pelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar adalah berpuisi dengan standar kompetensi agar siswa memiliki kemampuan menulis dan membaca yang melibatkan aspek lafal, intonasi, kebermaknaan, ekspresi, dan gagasan. 


Berpuisi sangat penting dalam membangun karakter siswa karena mengandung unsur seni. Di dalamnya ada aspek rasa keindahan, baik sebagai karya tulis maupun dalam penyajiannya, sehingga dengan berpuisi kecerdasan intelektual, emosional, dan bahkan spiritual siswa dapat tumbuh dan berkembang. Namun demikian, pada umumnya siswa kurang motivasi terahadap materi berpuisi ini, di samping mendapat kesulitan dalam menulisnya juga dalam membacanya, hal ini disebabkan karena kurang penguasaan kosa kata, keberanian rendah dan rasa malu tinggi, pola komunikasi guru-siswa searah, dan budaya belajar yang masih senang menerima. Implementasi pendekatan kontekstual yang selalu terkait dengan dunia empirik siswa, pola komunikasi yang bersifat negosiasi-bukan instruksi, partisipasi siswa tinggi, konstruksivis, dan penciptaan suasana yang nyeman-menyenangkan ternyata dapat mengubah siswa menjadi bergairah dalam berpuisi.

A. Pendahuluan

Puisi dapat diartikan sebagai hasil karya tulis yang mengandung unsur seni. Mengapa dikatakan demikian ? Karena puisi adalah hasil buah fikir manusia (karya) dalam bentuk tertulis (tidak dalam bentuk lain, misal patung atau lukisan) yang penuh dengan unsur keindahan (rasa-emosi). Jika salah satu saja dari karakteristik tersebut hilang, misalkan unsur seni, tidak lagi disebut puisi, melainkan karya tulis biasa seperti halnya pengumuman, laporan, atau berita.
Dalam berpuisi, baik waktu menulis, mambaca, maupun mendengarkannya, ada nuansa khusus sehingga emosional penulis, pembaca, ataupun pendengarnya terbawa hanyut oleh jiwa dari puisi itu. Lain halnya dengan sajian bahasa yang sifatnya informasi (mungkin) tidak akan menyentuh unsur afektif individu. Dengan demikian, melalui berpuisi sekaligus dapat membangkitkan dan mengembangkan (Bloom, BS dalam Erman, 2003) potensi emosional (affektive, rasa-budi) sekaligus kemampuan berfikir (cognitive, akal-fikir), dan ketrampilan psikis (psychomotoric). Dengan berpuisi, lengkaplah pengembangan potensi individu tersebut di atas, karena ketiganya selalu terbawa serta.
Lain halnya dengan cabang mata pelajaran lain yang konon cenderung lebih memberikan penekanan pada salah satu aspek jatidiri manusia, terutama aspek kognitif. Bahayanya, bila unsur dominan dalam pembelajaran adalah kognitif atau psikomotorik dikhawatirkan manusia menjadi robot-komputer, sebaliknya bila tanpa kognitif cenderung hewani, dan bila hanya afektif yang dominan cenderung emosional dan tidak rasional.
Pembelajaran membaca dan menulis puisi untuk siswa kelas V SD, yang melibatkan ketepatan aspek ( Depdiknas, 2003) lafal, intonasi, kebermaknaan, ekspresi, dan gagasan sangatlah penting bagi siswa dalam mengembangkan ketiga potensi di atas, agar pembelajaran benar-benar menjadi aktivitas memanusiakan manusia secara utuh. Inilah hakekat sebenarnya dari pembelajaran. Seperti dikemukakan oleh Goldman (dalam Erman, 2004) bahwa, kecerdasan individu terbagi ke dalam kecerdasan intelektual (IQ) pada otak kiri dan kecerdasan emosional (EQ pada otak kanan yang saling mempengarahui, di mana IQ berkontribusi untuk sukses hanya sekitar 20% sedangkan EQ bisa mencapai 40%. Pembelajaran berpuisi yang melibatkan otak kiri-kanan, bahkan kecerdasan intelektual (SQ), kedudukannya menjadi sangat penting dalam melatih dan mengembangkan ketiga kecerdasan tersebut untuk setiap individu (siswa) dalam mengembangkan kompetensinya secara terpadu.
Namun demikian, puisi sebagai bagian tak terpisahkan dari pelajaran bahasa Indonesia, sampai sekarang ini dirasakan kurang mendapat perhatian dari siswa. Mereka seakan tidak merasa antusias bahkan terlihat rasa keengganan untuk berpuisi, hal ini mungkin disebabkan karena mereka kurang terbiasa untuk berapreasiasi yang melibatkan aspek akal, rasa, dan ketrampilan. Selain daripada itu pelaksanaan pembelajaran lain masih kurang menuntut hal seperti itu. Pada umumnya pembelajaran dilaksanakan dengan pola guru memberikan segalanya kepada siswa dan siswa tinggal menerima konsep yang sudah jadi, tinggal mendengar, mencatat, memahami, dan mengingatnya. Karena ketidakbiasaan tersebut, pembelajaran puisi yang menuntut kreativitas menjadi sesuatu yang menuntut usaha lebih dari siswa. Atau mungkin pula belum tumbuhnya kesadaran guru dan siswa akan peran berpuisi yang bisa mengembangkan IQ, EQ, dan SQ.
Hal ini ditandai bahwa kebanyakan siswa (atau bahkan guru) enggan untuk berperan aktif dalam kegiatan yang menuntut penampilan, baik berpidato, berpuisi, atau bahkan bernyanyi. Bukankah bernyanyi pada hakekatnya adalah berpuisi dengan iringan nada ? Karena apa terjadi demikian? Biasanya yang terjadi adalah karena masalah sepele, yaitu tidak biasa dan tidak membiasakan berkomunikasi, sehingga yang tumbuh adalah rasa rendah diri, pemalu, dan rasa takut salah. Padahal salah adalah bagian dari belajar, tidak ada pembelajaran tanpa kesalahan, dan tidak pernah salah adalah cirinya tidak belajar. Dengan berpuisi (menulis dan mengkomunikasikan) siswa akan terlatih dalam menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan berkreasi (kreativitas) melalui kegiatan eksplorasi, inkuiri, penalaran, dan komunikasi.
Padahal, menurut teori belajar mutakhir (Peter Sheal, dalam Erman, 2004: 7) mengemukakan bahwa belajar yang paling bermakna hingga mencapai 90 % adalah dengan cara melakukan-mengalami dan mengkomunikasikan. Agar pembelajaran sesuai dengan prinsip tersebut, materi pelajaran haruslah disesuaikan dan diangkat dari konteks aktual yang dialami siswa dalam kehidupannya. Di sinilah guru dituntut untuk membelajarkan siswa dengan memandang siswa sebagai subjek belajar, yaitu dengan cara guru memulai pembelajaran yang dimulai atau dikaitkan dengan dunia nyata yaitu diawali dengan bercerita atau tanya-jawab lisan tentang kondisi aktual dalam kehidupan siswa (daily life), kemudian diarahkan melalui modeling agar siswa termotivasi, questioning agar siswa berfikir, constructivism agar siswa membangun pengertian, inquiry agar siswa bisa menemukan konsep dengan bimbingan guru, learning community agar siswa bisa berbagi pengetahuan dan pengalaman serta terbiasa berkolaborasi, reflection agar siswa bisa mereviu kembali pengalaman belajarnya, serta authentic assessment agar penilaian yang diberikan menjadi sangat objektif. Pembelajaran dengan sintaks seperti ini (Depdinas, 2002) menyebutnya dengan istilah Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning, CTL).
Dengan pola CTL tersebut di atas, yang bisa memfasilitasi keterlibatan siswa dalam aktivitas belajar yang tinggi, diharapkan kemampuan kreativitas siswa pada pembelajaran berpuisi, dalam arti menulis dan mengkomunikasikan hasil puisinya, menjadi meningkat. Sehingga siswa merasa dihargai dan diberi kesempatan untuk mengembangkan diri sesuai dengan kemampuannya masing-mnasing, yang pada gilirannya nanti minat belajar meningkat, siswa belajar dengan antusias, dan dalam suasana pembelajaran yang menyenangkan.
Dari uraian latar belakang permasalahan tersebut di atas, judul proposal penelitian ini, yang diajukan penulis untuk penyusunan skiripsi adalah, Implementasi Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kemampuan Kreativitas Siswa dalam Berpuisi. Kata implementasi pendekatan kontekstual sebagai variabel bebas (idependen, stimulus) di atas mengandung pengertian pelaksanaan, jadi penulis akan melaksanakan pendekatan pembelajaran kontekstual sebagai unsur inovasi dalam pembelajaran. Peningkatan kemampuan kreativitas sebagai variabel tak bebas (dependen, respons, terikat) dimaksudkan sebagai unsur solusi masalah yang terjadi di lapangan (kelas nyata), sedangkan berpuisi sebagai variabel perantara (intervening) dimaksudkan adalah menulis puisi dan mengkomunikasikannya.

B. Rumusan dan Pembatasan Masalah

1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah di atas, masalah penelitian ini dirumuskan, apakah implementasi pendekatan kontekstual dapat meningkatkan kemampuan kreativitas siswa dalam berpuisi ? Secara lebih terinci rumusan masalah tersebut dijabarkan dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut:
a.       Apakah implementasi pendekatan kontekstual dapat meningkatkan kemampuan kreativitas siswa dalam menulis puisi ?
b.      Apakah implementasi pendekatan kontekstual dapat meningkatkan kemampuan kreativitas siswa dalam mempresentasikan puisi ?
c.       Unsur-unsur apa saja yang dapat diungkapkan siswa dalam menulis dan mempresentasikan puisi ?
d.      Bagaimana pendapat siswa tentang pelaksanaan pembelajaran berpuisi dengan menggunakan pendekatan kontekstual ?
2. Pembatasan Masalah
Permasalahan tersebut di atas bisa ditinjau dari berbagai aspek sehingga pembahasannya bisa sangat luas tetapi dangkal dan kurang terarah. Agar penelitian ini bisa tuntas dan terfokus, sehingga hasil penelitiannya akurat, permasalahan tersebut di atas akan dibatasi pada hal-hal tersebut di bawah ini.
a.       Subjek penelitian adalah pada siswa kelas V (sesuai kurikulum) SD Cangkuang Kecamatan Dayeuhkolot Kabupaten Bandung semester genap tahun ajaran 2006-2007, sebanyak 5 kali pertemuan @ 2 jam pelajaran (lima RPP)
b.      Implementasi (pelaksanaan) pendekatan kontekstual dalam penelitian ini menggunakan model klasikal dan kelompok (koperatif), model klasikal dengan menggunakan teknik probing-prompting yaitu metode tanya jawab yang menyajikan serangkaian pertanyaan kepada siswa yang sifatnya menggali dan menuntun sehingga siswa dapat diarahkan untuk membangun konsep (constructivism), melalui eksplorasi, inkuiri, dan penalaran. Juga digunakan model koperatif dengan menggunakan tipe Investigasi Kelompok (Group Investigastion), STAD (Student Teams Achievement Division), atau TPS (Think Pairs Share)
c.       Kemampuan kreativitas dalam berpuisi dimaksudkan sebagai kemampuan siswa dalam menggali, menemukan, dan presentasi ide baru yang orisinal. Dimulai dengan objek konkret dari lingkungan sekitar siswa, diangkat dan disusun dalam kata-kata indah sistematik sehingga menjadi puisi sesuai dengan pemaknaan siswa terhadap objek tersebut. Hal ini menyangkut tema, diksi, tipografi, amanat, dan gaya bahasa. Setelah itu mereka mengkomunikasikannya dengan cara presentasi-menyajikan (dibaca atau ditalar) sesuai dengan kemampuan apresiasi yang dikembangkannya. Hal ini menyangkut lafal, intonasi, ekspresi, improvisasi, pemaknaan, rima, irama, dan keindahan.

C. Pembahasan

 1. Hakekat Pembelajaran
Paradigma interaksi guru-siswa di sekolah sekarang telah berubah, dari pengajaran (instructional, teaching-instruksional) menjadi pembelajaran (learning), dari guru sebagai subjek (pemain) dan siswa objek (penonton) menjadi siswa sebagai subjek dan guru menjadi sutradara. Dalam pengajaran yang berkonotasi aktivitas guru dengan pola informasi, contoh, tanya-jawab, latihan, tugas, dan evaluasi memandang siswa sebagai wadah kosong yang perlu diisi pengetahuan (sekedar tahu ?) sebanyak-banyaknya, suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, berminat atau tidak berminat, yang penting materi (tugas) selesai tersampaikan.
Sebaliknya, dalam konteks pembelajaran, memandang siswa sebagai subyek, jadi berkonotasi pada aktivitas siswa (minds-on dan hands-on). Mengapa demikian ? Karena pada pembelajaran, yaitu membelajarkan siswa – membuat siswa belajar, berasumsi bahwa siswa telah memiliki bekal (potensi) berupa intelektual, emosional, dan spiritual yang perlu dikembangkan dengan fasilitasi dari guru. Jadi belajar dapat dipandang sebagai pengembangan potensi tersebut secara optimal. Prinsip pembelajaran yang dijadikan pedoman adalah (Erman, 2001) siswa pemain - guru sutradara, siswa mengalami-melakukan-mengkomunikasikan, negosiasi - bukan instruksi, konstruksivis dari daily life, orientasi pada kompetensi (pangabisa) tidak sekedar teori, dan nyaman-menyenangkan.
2. Hakekat Siswa SD
Pada umumnya usia siswa SD berkisar pada umur 6 sampai dengan 12 tahun. Piaget (dalam Erman, 2001) mengemukakan bahwa pada usia ini siswa baru memiliki kemampuan berfikir konkrit, yang berarti bahwa mereka bisa belajar secara bermakna (meaningfull) jika menggunakan benda konkrit dari dunia mereka. Oleh karena itu, hindarilah pembelajaran yang sifatnya dominan verbal agar tidak verbalisme.
Pendapat lain, Bruner (dalam Erman, 2001) mengemukakan bahwa siswa akan belajar efektif jika memanipulasi benda konkrit, yang secara intuitif akan melekat pada diri siswa. Pembelajaran menurut Bruner dengan menggunakan pendekatan spiral, dimulai dari hal konkrit ke abstrak – dari hal yang sederhana ke hal yang kompleks - dari hal yang mudah ke yang sukar. Ini berarti bentuk spiral tersebut vertikal dari bawah ke atas, mulai dengan diameter kecil dan makin membesar. Hal ini sesuai dengan kondisi kemampuan berfikir siswa SD yang masih konkrit dan sederhana.
Jika tidak demikian siswa akan merasa terbebani dengan pengajaran yang bersifat transmisi (searah). Ini akan berakibat fatal, karena pada saat berikutnya kondisi kognitif dan afektifnya terganggu sehingga akan menimbulkan kelelahan, ketakmampuan, kebosanan, kekesalan, kekecewaan, ketakutan, dan stres. Pada tahap lanjut dari kondisi seperti ini muncullah prilaku acuh tak acuh, menghindar, bahkan membenci. Kondisi ini seringkali terjadi karena salah memandang siswa secara utuh, parahnya hal ini tidak disadari oleh guru, dan ini bukanlah pembelajaran tetapi lebih cenderung pada pemerkosaan terhadap potensi siswa.
Menurut Ace Suryadi (Pikiran Rakyat, 09 Maret 2007: 25) dikemukakan bahwa, kecerdasan anak akan berkembang pesat melalui interaksi intensif dengan lingkungan sekitar. Jika tidak, kecerdasan anak justru tidak akan berkembang, interaksi dengan lingkungan sekitar merupakan komponen pentuing untuk melejitkan kecerdasan anak. Sedangkan Maman Djauhari (Kompas, 23 Februari 2007) membelajarkan anak tanpa didasari dengan pengalaman konkrit dari dunia sekitarnya hanya mencapai tingkat mengetahui tanpa makna dan untuk dilupakan.
3. Kecerdasan Ganda
Goldman (dalam Erman, 2004) mengemukakan bahwa, struktur otak sebagai instrumen kecerdasan, terbagi dua menjadi kecerdasan intektual pada otak kiri dan kecerdasan emosional pada otak kanan. Sel saraf otak kiri berfungsi sebagai alat kecerdasan yang sifatnya logis, sekuensial, linier, rasional, teratur, verbal, realitas, abstrak, dan simbolik yang berkontribusi untuk sukses individu sebesar 20%. Otak kanan berkenaan dengan kecerdasan yang sifatnya acak, intuitif, holistik, emosi, kesadaran, spasial, musik-puisi, keindahan-keburukan, dan kreativitas yang berkontribusi untuk sukses individu sebesar 40%. Ary Ginanjar (2005) mengemukakan bahwa ada kecerdasan ketiga yaitu kecerdasan spiritual (SQ, Spiritual Quotient) yang juga akan berkontribusi terhadap sukses individu, sehingga tidak cukup seorang individu hanya dengan IQ dan EQ, melainkan akan lebih sempurna jika ketiganya, yaitu IESQ.
Goldman (dalam Erman, 2004) mengemukakan bahwa struktur otak sebagai instrumen kecerdasan akan bergerak (flow) antara kebosanan bila tuntutan pemikiran rendah dan kecemasan bila terjadi tuntutan terlalu tinggi-kompleks, bila terjadi kebosanan otak akan mengisinya dengan aktivitas lain, misalnya dengan kenakalan dan lamunan. Sebaliknya bila kerja otak tinggi karena tuntutan banyak akan menimbulkan kecemasan, yang bisa dinetralisir (relaksasi) dengan penciptaan suasana kondusif, nyaman dan menyenangkan.
Gardner (dalam Erman, 2004) mengemukakan tentang kecerdasan lain, yaitu kecerdasan ganda (tuple) dalam akronim Slim n Bill, yaitu: Spasial-verbal, berpikir dengan ruang dan gambar; Linguistik-verbal, berpikir dengan kalimat-berbahasa; Interpesonal, berpikir dengan berkomunikasi; Musikal-ritmik, berpikir dalam musik dan ritmik; Natural, berpikir berbasis kontekstual-realistik; Body-kinestik, berpikir dengan mengalami-melakukan; Intrapersonal, metakognitif - berpikir reflektf; Logis, berpikir dengan bernalar.
4. Pendekatan Konstekstual
Pendekatan konstekstual berlatar belakang bahwa siswa belajar lebih bermakna dengan melalui kegiatan mengalami sendiri dalam lingkungan alamiah, tidak hanya sekedar mengetahui, mengingat, dan memahami. Pembelajaran tidak hanya berorientasi target penguasaan materi, yang akan gagal dalam membekali siswa untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya. Dengan demikian proses pembelajaran lebih diutamakan daripada hasil belajar, sehingga guru dituntut untuk merencanakan strategi pembelajaran yang variatif dengan prinsip membelajarkan – memberdayakan siswa, bukan mengajar siswa.
Dengan prinsip penmbelajaran seperti itu, pengetahuan bukan lagi seperangkat fakta, konsep, dan aturan yang siap diterima siswa, melainkan harus dikontruksi (dibangun) sendiri oleh siswa dengan fasilitasi dari guru. Siswa belajar dengan mengalami sendiri, mengkontruksi pengetahuan, kemudian memberi makna pada pengetahuan itu. Siswa harus tahu makna belajar dan menyadarinya, sehingga pengetahuan dan ketrampilan yang diperolehnya dapat dipergunakan untuk bekal kehidupannya. Di sinilah tugas guru untuk mengatur strategi pembelajaran dengan membantu menghubungkan pengetahuan lama dengan yang baru dan memanfaatkannya. Siswa menjadi subjek belajar sebagai pemain dan guru berperan sebagai pengatur kegiatan pembelajaran (sutradara) dan fasilitator.
Pembelajaran dengan cara seperti di atas disebut pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual Contextual Teaching and Learning, CTL), yaitu dengan cara guru memulai pembelajaran yang dimulai atau dikaitkan dengan dunia nyata yaitu diawali dengan bercerita atau tanya-jawab lisan tentang kondisi aktual dalam kehidupan siswa (daily life), kemudian diarahkan melalui modeling agar siswa termotivasi, questioning agar siswa berfikir, constructivism agar siswa membangun pengertian, inquiry agar siswa bisa menemukan konsep dengan bimbingan guru, learning community agar siswa bisa berbagi pengetahuan dan pengalaman serta terbiasa berkolaborasi, reflection agar siswa bisa mereviu kembali pengalaman belajarnya, serta authentic assessment agar penilaian yang diberikan menjadi sangat objektif.
Pembelajaran dalam sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan kontekstual jika menerapkan ketujuh komponen tersebut di atas, ini tidak sulit kalau sudah terbiasa, yang penting ada kemauan kuat untuk mengubah dan meningkatkan kualitas diri. Kurikulum berbasis kompetensi menuntut pelaksanaan pembelajaran model CTL tersebut, karena orientasinya pada proses sehingga siswa memiliki kompetensi-kemampuan-pangabisa, tidak sekedar mengetahui dan memahami. Jangan lupa bahwa kondisi emosional individu akan mempengaruhi pemikiran dan prilakunya, oleh karena itu CTL akan terlaksana dengan optimal jika guru mampu menciptakan suasana belajar yang kondusif, nyaman dan menyenangkan.
5. Pembelajaran Klasikal dan Koperatif
Istilah klasikal ( Erman, dkk. 2001) bisa diartikan sebagai secara klasik yang menyatakan bahwa kondisi yang sudah lama terjadi, bisa juga diartikan sebagai bersifat kelas. Jadi pembelajaran klasikal berarti pembelajaran konvensional yang biasa dilakukan di kelas selama ini, yaitu pembelajaran yang memandang siswa berkemampuan tidak berbeda sehingga mereka mendapat pelajaran secara bersama, dengan cara yang sama dalam satu kelas sekaligus. Model yang digunakan adalah pembelajaran langsung (direct learning). Pembelajaran klasikal tidak berarti jelek, tergantung proses kegiatan yang dilaksanakan, yaitu apakah semua siswa berartisipasi secara aktif terlibat dalam pembelajaran, atau pasif tidak terlibat, atau hanya mendengar dan mencatat. Pembelajaran klasikal yang akan dilaksanakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode tanya jawab dengan teknik probing-prompting agar partisipasi dan aktivitas siswa tinggi. Pada umumnya siswa akan belajar (berpikir-bekerja) secara individu, sehingga mereka dapat melatih diri dalam memupuk rasa percaya diri. Dengan teknik ini, indikator dari pendekatan kontekstual tetap diperhatikan.
Pembelajaran koperatif (cooperative learning) adalah pembelajaran dengan (Erman, 2004) cara mengelompokkan siswa secara heterogen (dalam hal kemampuan, prestasi, gender, minat, dan sikap) agar dalam kerja kelompok dinamis. Dalam kelompok mereka bisa saling berbagi (sharing) rasa, ide, pengetahuan, pengalaman, tanggung jawab dan saling membantu, sehingga mereka bisa belajar berkomunikasi-bersosialisasi. Dengan berkelompok mereka akan berlatih pengendalian diri melalui belajar tolerans dengan menghargai pendapat orang lain, berempati dengan merasakan perasaan orang lain, mengikis secara bertahap perasaan malu dan rendah diri tanpa alasan, dan inilah pelatihan kecerdasan emosional sehingga EQ siswa bisa meningkat. Dasar pembelajaran koperatif adalah fitrah manusia sebagai mahluk sosial dengan prinsip belajar adalah bahwa hasil pemikiran dan hasil kerja banyak orang relatif lebih baik daripada hasil sendiri.
Pembelajaran koperatif yang digunakan pada penelitian ini adalah tipe STAD (Erman, 2004) dengan sintaks (tata urutan aktivitas belajar) sebagai berikut: pengarahan, sajian guru secara klasikal, buat kelompok (4-5 orang), berikan bahan belajar (LKS), diskusi-bekerja kelompok, presentasi hasil kelompok dan diskusi kelas, refleksi pelaksanaan pembelajaran, kuis individual, penghargaan pada kelompok/individu, buat skor kemajuan belajar siswa, tindak lanjut. Tipe koperatif lain yang kan digunakan adalah TPS dengan sintaks sebagai berikut: pengarahan, sajian guru secara klasikal, berikan bahan belajar (LKS), diskusi-bekerja kelompok secara berpasangan 2 orang siswa pada satu meja (think-pairs-share), presentasi hasil kelompok dan diskusi kelas (share), refleksi pelaksanaan pembelajaran (share), kuis individual, penghargaan pada kelompok/individu, buat skor kemajuan belajar siswa, tindak lanjut.
Pembelajaran puisi dengan pola seerti tersebut di atas, dimulai dengan pembelajaran langsung secara klasikal, kerja kelompok 4-5 orang, dan kemudian berkelompok berpasangan 2 orang, dan ada kuis individual, dimaksudkan agar pembelajaran ini secara bertahap dari bimbingan oleh guru secara totalitas, bimbingan oleh teman dalam kelompok banyak oarng kemudian dikurangi, dan akhirnya adalah kemandirian.
6. Kemampuan Kreativitas
Kata kreativitas (creativity) bermakna mempunyai sifat kreatif (creative) yang berasal dari kata to create (mencipta). Berdasarkan etimologi kemampuan kreativitas berarti kemampuan menciptakan sesuatu (ide-cara-produk) yang baru. Jadi, konotasi kreativitas berhubungan dengan sesuatu yang baru yang sifatnya orisinal.
Kajian kreativitas merupakan kajian yang kompleks sehingga bisa menimbulkan berbagai pandangan-pendapat, tergantung dari sisi mana mereka membahasnya dan teori yang menjadi acuannya. Kemampuan kreativitas menurut Munandar (dalam Reni, A, 2001) berkenaan dengan tiga hal, yaitu mengkombinasi, memecahkan masalah, dan operasional. Kemampuan mengkombinasi berdasarkan data atau unsur-unsur yang ada, kemampuan memecahkan masalah berdasarkan informasi yang ada menemukan keragaman solusi dengan penekanan pada aspek kualitas dan efektivitas, kemampuan operasional berdasarkan pada \aspek kelancaran-keluwesan-orisinalitas.
Ausubel (dalam Hamalik, 2002) kreativitas adalah kemampuan atau kapasitas pemahaman, sensitivitas, dan apresiasi dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Aspek lain dari kreativias adalah kemampuan berpikir divergen, yaitu meliputi orisinalitas, fleksibilitas, kualitas, dan kuantitas. Maltzman (dalam Hudoyo), 2000) menambahkan bahwa kreativitas dapat dibentuk dan dilatih dalam proses pembelajaran yang berprinsip pada konstruksivis, melalui penyelidikan, konjektur, penemuan, dan generalisasi. Thorrance (dalam Hamalik, 2002) kreativitas akan muncul berkenaan dengan kesadaran adanya kesenjangan antara pengetahuan siap dengan pengetahuan atau masalah baru, kemudian muncullah beragam alternatif solusi. Sejalan dengan itu, Gagne (dalam Ruseffendi, 2001) kreativitas akan muncul pada diri individu bila ada tantangan baru yang solusinya tidak rutin.
Ditinjau dari segi kemampuan aktivitas otak dalam kaitannya dengan kreativitas, ternyata potensi tersebut memang telah tersedia. Buzan (dalam Erman, 2004) mengemukakan bahwa otak mengolah informasi dalam bentuk hubungan fungsional antar konsep, berupa peta konsep, sehingga terjalin kaitan antar konsep yang satu dengan konsep lainnya. Inilah yang dimaksud dengan struktur kognitif dari Piaget (dalam Erman, 2001) di mana skemata baru akan terbentuk dalam sistem kerja otak dan terkait dengan skemata lain yang sudah terbentuk. Dengan pola sepeti ini, proses belajar siswa diusahakan agar tidak hanya berasimilasi (menyerap pengetahuan) akan tetapi dikombinasikan dengan akomodasi (mengkonstruksi pengetahuan). Kemampuan otak dalam memproses informasi tersebut, sebagai potensi individu -anugrah dari Alloh Swt, Buzan (dalam Erman, 2004) mengemukakan bahwa otak dapat memproses informasi sebanyak 600 –800 kata permenit. Dengan kemampuan otak yang begitu hebat, patut kita syukuri dengan memanfaatkannya dalam kegiatan positif, yaitu dengan cara belajar pada setiap situasi untuk membekali diri. Jika tidak, dan dibiarkan menganggur, maka otak dengan sendirinya akan bekerja pada hal-hal yang kurang bermanfaat seperti berangan-angan dan melamun.
Selanjutnya Munandar (dalam Reni A, 2001) mengemukakan bahwa ciri-ciri kemampuan kreativitas adalah sebagai berikut:
a.       Aptitude; berpikir lancar yang menyangkut keragaman (gagasan, saran, pertanyaan, jawaban), kelancaran komunikasi, kecepatan bekerja, melihat kekurangan; berpikir luwes yang menyangkut menghasilkan keragaman (gagasan, jawaban, pertanyaan, sudut pandang, alternatif, interpretasi, aplikasi, pertimbangan, arah pikir); berpikir rasional (ungkapan baru-unik, kombinasi inovatif, cara inovatif, generalisasi); ketrampilan elaborasi (mengembangkan gagasan, merinci objek, merinci solusi, memiliki rasa estetika, menyempurnakan); ketrampilan menilai (menentukan patokan, mengambil keputusan, pertimbangan, merancang, dan kritis).
b.      Afektif; kuriositi, rasa ingin tahu (perhatian, kepekaan, pertanyaan, dorongan, keberanian, bereksperimen); imajinatif (membayangkan, meragakan, meramalkan, cermat); tertantang (terdorong, tertarik, keterlibatan, mandiri, ulet, mencoba), berani ambil resiko ( tahan kritik, tidak ragu, bertahan pendapat, mengakui kesalahan, menerima tugas, keyakinan); menghargai (arahan, bimbingan, pendapat, hak, kewajiban, prestasi, eksistensi, sejawat-siapapun, kebebasan, kesempatan)
Pengembangan kreativitas siswa bisa dilakukan dengan cara memberikan bimbingan dalam memecahkan masalah melalui klasifikasi, brainstorming, dan ganjaran.
7. Pembelajaran Berpuisi
Pembelajaran berpuisi pada kalimat di atas dimaksudkan sebagai pembelajaran yang berkenaan dengan menulis puisi dan mempresentasikannya, dua hal yang tidak terpisahkan karena orientasi dari pembelajaran adalah kompetensi berpuisi. Jadi konotasinya adalah kemampuan siswa dalam praktek, dengan penekanan pada aspek kinerjanya. Dalam pembelajaran ini, siswa kelas V SD tidak perlu penekanan secara teori tentang istilah-istilah dalam berpuisi akan tetapi yang lebih penting adalah bagaimana praktek membuat dan mempresentasikan puisi, yang materinya sesuai dengan kehidupan siswa sehari-hari, dengan menggunakan pembendaharaan kata yang luas, susunan kata-kalimat yang logis, gaya bahasa yang tepat, dan memuat unsur esensial puisi yaitu rima, ritme, diksi, larik, amanat, irama, dan tipografi.
Pada pertemuan pertama, setelah pembukaan pembelajaran, dengan memotivasi dan apersepsi tentang materi puisi pada semester ganjil, guru membacakan contoh puisi (diambil dari buku sumber) kemudian siswa menanggapinya melalui tanya jawab lisan. Selanjutnya guru melaksanakan pembelajaran, dalam hal ini aspek bimbingan guru masih dominan, sehingga model yang digunakan adalah pembelajaran langsung dengan metode tanya-jawab teknik probing-prompting. Namun demikian, dengan penggunaan model ini aktivitas siswa tetap tinggi melalui kegiatan investigasi (penyelidikan), konjektur (menduga), inkuri (menemukan), brainstorming (urun pendapat), dan konstruksivis (membangun konsep). Mereka secara bersama menyusun suatu puisi yang kemudian mencoba mempresentasikannya dengan improvisasi dan apresiasi masing-masing.
Sintaks pembelajaran tersebut adalah:
a. Kegiatan Pendahuluan
Memfokuskan perhatian dan memotivasi siswa, apersepsi, informasi kompetensi dasar, manfaat materi bahan ajar, serta rencana aktivitas pembelajaran.
b. Kegiatan Inti
Guru memperlihatkan setangkai bunga melati yang masih segar kepada seluruh siswa, kemudian serangkaian pertanyaan diajukan secara teratur kepada seluruh siswa berkenaan dengan bunga melati tersebut. Misalnya, siapa yang tahu nama bunga ini ? siswa menjawab serempak dan guru memintanya kepada seorang siswa dan menuliskannya di papan tulis. Kemudian guru memberikan probing (pertanyaan menggali), apa yang engkau ketahui tentang bunga melati ini ? (mungkin siswa merenung atau bingung dalam memberikan jawabannya, karena pertanyaan tersebut sangat terbuka), kemudian guru memberikan prompting dengan pertanyaan bimbingan-terarah-fokus, apa warnanya ?, bagaimana baunya ?, bagaimana ukurannya ?, di mana tumbuhnya ? apa manfaatnya ? apakah semua orang menyenanginya ? , dan semacamnya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentunya tidak diberikan sekaligus, namun secara berkala tergantung jawaban siswa pada pertanyaan sebelumnya. Pemberian teknik probing-prompting dilakukan fleksibel sehingga siswa terarah-terbimbing-tergali pengetahuannya. Semua jawaban siswa dituliskan pada papan tulis.
Kemudian dengan pengarahan dari guru siswa dibimbing untuk menghaluskan dan menyempurnakan jawaban-jawaban siswa pada papan tulis, dengan cara memberi jiwa pada kalimat-kalimat yang telah ditulis dan diberi hiasan kata-kalimat estetika, yaitu dengan menganggap bahwa bunga melati itu sesuatu yang hidup, dengan cara menyebutnya menggunakan kata ‘engkau’. Target hasil penyempurnaan jawaban siswa yang tertulis pada papan tulis, melalui serangkaian tanya jawab yang sifatnya menggali, terarah, dan terbimbing adalah sebuah puisi seperti berikut ini.
MELATI
Melati, engkau bertubuh kecil tetapi engkau mungil menarik hati
engkau berwarna putih bersih dan berbau harum mewangi
di mana engkau berada selalu menambah asri
di mana engkau tinggal selalu menebar harum pada sekitar
kepada engkau setiap orang senang dan sayang
……………..
Melati, aku ingin jadi sepertimu
meski aku masih kecil aku ingin menarik hati
pikir dan hati ini ingin putih bersih sepertimu
namaku ingin pula harum mewangi
di mana aku berada aku ingin disenangi
di mana aku tinggal aku ingin berguna
aku ini disayangi setiap orang
Setelah puisi tersebut jadi, kemudian guru mendeklamasikannya dengan penuh improvisasi, dengan intonasi dan ritme yang menggugah jiwa, sehingga kata demi kata, baris demi baris, jiwa puisi itu meresap masuk ke dalam akal dan rasa mereka (siswa). Selanjutnya, setelah jeda sebentar, setelah siswa mencermati jiwa puisi tersebut, guru memberi kesempatan kepada beberapa siswa untuk mendeklamasikannya bergiliran.
Kemungkinan lain guru menugaskan siswa untuk membayangkan tentang benda yang paling banyak disenangi oleh kebanyakan orang termasuk siswa, misalkan ‘televisi’. Dengan teknik probing-prompting melalui brainstorming seperti di atas, dengan menganggap diri mereka sebagai televisi, jadi sebutannya sekarang bukan ‘engkau’ melainkan ‘aku’, guru mengarahkan siswa untuk menulis puisi seperti berikut ini.
SIAPAKAH AKU ?
Aku bukan asli Indonesia
jadi bukan suku Jawa ataupun Sunda
tapi kebanyakan orang kepadaku merasa suka
hingga aku sering ikut berkumpul bersama mereka
Aku punya tentang segala berita
aku punya tentang segala ilmu pengetahuan
aku bisa menghibur dengan segala cara
dan aku bisa memberi tontonan dan tuntunan
Hanya sayang
terkadang aku merasa kasihan
penggemarku seringkali keterlaluan
mereka lupa bekerja dan lupa belajar
mereka sungguh terlalu
meski malam telah terlampau larut
padahal mata telah terkantuk
tak tahu waktu mau terus bersamaku
……….
Aku bukan wanita bukan pula lelaki
aku hanyalah hasil produksi
aku hasil karya canggih abad ini
manusia menyebutku televisi
Dari puisi yang telah dibuat bersama (mungkin tidak persis-tepat seperti di atas), guru membahas puisi tersebut tentang contoh-contoh dari istilah dasar puisi, seperti tema, gaya bahasa, rima, ritme, diksi, larik, tipografi, amanat, dan irama. Begitu pula dalam presentasinya di kenalkan mana yang disebut dengan apresiasi, improvisasi, intonasi, penjiwaan, imajinasi, gerak, mimik, dan jeda-tempo.
c. Kegiatan Penutup
Guru kembali bertanya-jawab dengan siswa untuk menyimpulkan kegiatan pembelajaran pada hari itu sekaligus mangadakan refleksi, kemudian memberikan arahan untuk menyiapkan kegiatan pada pertemuan yang akan datang dan memberikan tugas untuk menulis puisi dengan tema (judul) benda dari dalam atau sekitar rumah (permainan) mereka.
Dari kegiatan tersebut, secara implisit indikator-indikator pembelajaran kontekstual terakomodasi dan terlaksana.
Pada kegiatan pembelajaran pertemuan berikutnya, sajian pelajaran menggunakan model koperatif. Pada pertemuan kedua dan ketiga dengan koperatif tipe STAD dengan sintaks (erman, 2004): pengarahan, sajian guru secara klasikal, buat kelompok 4-5 siswa, berikan bahan belajar (LKS), siswa berdiskusi-bekerja kelompok, presentasi hasil kelompok dan diskusi kelas, refleksi pelaksanaan pembelajaran, kuis individual, penghargaan pada kelompok/individu, buat skor kemajuan belajar siswa, tindak lanjut. Rencana tema (judul) puisi pada pertemuan kedua adalah tentang ‘buku’ dan pada pertemuan ketiga tentang ‘pensil’. Pada pertemuan keempat dan kelima menggunakan tipe koperatif lain yaitu TPS dengan sintaks: pengarahan, sajian guru secara klasikal, berikan bahan belajar (LKS), siswa berdiskusi-bekerja kelompok secara berpasangan 2 orang siswa pada satu meja (think-pairs), presentasi hasil kelompok dan diskusi kelas (share), refleksi pelaksanaan pembelajaran, kuis individual, penghargaan pada kelompok/individu, buat skor kemajuan belajar siswa, tindak lanjut. Rencana judul puisi pada pertemuan keempat adalah tentang ‘guru’ dan pada pertemuan kelima tentang ‘ibu’.
Pada pertemuan keenam diadakan evaluasi hasil belajar (post-test) dengan cara guru menugaskan siswa untuk membuat puisi yang berjudul ‘air’, semua siswa membuat puisi dengan judul yang sama. Evaluasi ini tidak bersifat pengetahuan melainkan kemampuan menulis dan mempresentasikan puisi, sesuai dengan amanat kurikulum.
Perlu dicatat bahwa, pada akhir pertemuan kesatu-kedua-ketiga siswa ditugaskan untuk melatih diri menulis puisi dengan judul dibuat sendiri dari lingkungan kehidupannya secara berkelompok, pada akhir pertemuan keempat-kelima tugas yang serupa yang dikerjakan secara individu. Aktivitas pemblajaran tidak perlu selalu dilakukan di dalam ruang kelas, bisa juga dilaksanakan di halaman sekolah atau tempat lain yang memungkinkan. Penilaian proses dilakukan terhadap aktivitas siswa (menulis dan mempresentasikan) serta portofolio berupa hasil karya siswa, sebagai reward hasil karya siswa ditempel pada dinding kelas.
8. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian teori yang telah dibahas pada bagian sebelumnya, ternyata bahwa pendekatan kontekstual dapat membelajarkan siswa secara optimal, karena semua komponen dari CTL, yaitu daily life, modeling, questioning, inquiry, constructivism, learning community, authentic assessment, dan reflection dalam suasana kondusif, nyaman dan menyenangkan, bisa membangun kecerdasan siswa secara utuh yaitu IQ, EQ, maupun SQ. Kondisi ini seraca langung akan mempengaruhi kemampuan kreativitas siswa, sehingga hipotesis penelitian yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah:
a. Implementasi pendekatan kontekstual dapat meningkatkan kemampuan kreativitas siswa dalam menulis puisi
b. Implementasi pendekatan kontekstual dapat meningkatkan kemampuan kreativitas siswa dalam mempresentasikan puisi
c. Sebagian besar unsur-unsur dasar (indikator) dalam menulis dan mempresentasikan puisi dapat diungkapkan oleh siswa
d. Pendapat siswa tentang pelaksanaan pembelajaran berpuisi dengan menggunakan pendekatan kontekstual sangat baik (positif)
9. Metodologi Penelitian

a. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V tahun ajaran 2006-2007, di lingkungan SD Cangkuang II kecamatan Dayeuhkolot kabupaten Bandung, yang berlokasi di desa Cangkuang Kulon sebanyak 37 orang. Karakteristik siswa di Lingkungan sekitar sekolah tergolong masyarakat ekonomi menengah ke bawah dengan pekerjaan orang tua pada umumnya adalah pegawai negeri, pegawai swasta, dan wiraswasta-pedagang kecil. Siswa lulusan SD Negeri Cangkuang dan pada umumnya menjadi siswa di SMP Negeri dan Swasta sekitar daerah jalan Cibaduyut, Palasari, Kopo, dan Sukarno Hatta, tapi banyak juga yang tidak melanjutkan studi karena alasan ekonomi orang tua.
b. Metode Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (classroom action research) dengan tindakan berupa pelaksanaan pendekatan kontekstual, yang merupakan suatu inovasi pembelajaran yang sama sekali belum pernah diterapkan pada pembelajaran di SD Cangkuang II kecamatan Dayeuhkolot kabupaten Bandung.
c. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis, yaitu instrumen pelaksanaan penelitian (pembelajaran) dan instrumen pengumpul data hasil penelitian. Instrumen pelaksanaan pembelajaran terdiri dari Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) untuk 5 kali pertemuan @ 2 jam pelajaran dan Lembar Kerja Siswa (LKS), sedangkan instrumen pengumpul data berupa Instrumen kinerja siswa berkenaan dengan kemampuan kreativitas dalam menulis dan mempresentasikan puisi. Instrumen ini memuat penilaian terhadap komponen-indikator kreativitas pada penulisan dan presentasi puisi. Skor penilaian yang digunakan adalah cara yang lazim dilakukan di SD, yaitu skala 0 –10. Instrumen pengumpul data penelitian yang lain adalah berupa angket untuk mengetahui pendapat siswa tentang pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual pada pembelajaran berpuisi.
10. Hasil Penelitian
Setelah data terkumpul melalui observasi dan angket, ternyata semua hipotesis yang diajukan dapat diterima, hal ini berarti bahwa:
a. Implementasi pendekatan kontekstual dapat meningkatkan kemampuan kreativitas siswa dalam menulis puisi. Hal ini terlihat dari hasil observasi dan pemeriksaan hasil karya tulisan puisi dengan aspek kemampuan kreativitas menulis puisi, yaitu perbendaharaan kata, gaya bahasa, tema, rima, diksi, tipografi, amanat, irama, imajinasi dan ilusi pada setiap pertemuan menunjukkan nilai rerata yang makin meningkat.
b. Implementasi pendekatan kontekstual dapat meningkatkan kemampuan kreativitas siswa dalam mempresentasikan puisi . Hal ini terlihat dari hasil observasi pada presentasi-penampilan dalam setiap pertemuan dengan aspek kemampuan kreativitas dalam presentasi puisi, yaitu kepercayaan diri, kekuatan penjiwaan, kejelasan lafal kata-kalimat, intonasi, ekspresi, apresiasi, gerak fisik, mimik muka, pengendalian diri, dan penggunaan media menunjukkan nilai rerata yang makin meningkat.
c. Sebagian besar unsur-unsur dasar (indikator) dalam menulis dan mempresentasikan puisi dapat diungkapkan oleh siswa. Hal ini ditunjukkan dari hasil karya tulis puisi dan observasi pada kegiatan menulis dan presentasi puisi hasil karya siswa di kelas menunjukkan makin lengkapnya unsur puisi yang terkandung pada hasil karya siswa.
d. Pendapat siswa tentang pelaksanaan pembelajaran berpuisi dengan menggunakan pendekatan kontekstual sangat baik (positif). Hal ini terlihat dari hasil angket yang diisi oleh siswa, dengan pengolahan data menggunakan skala Likert, mempunyai nilai rerata 4,6 jadi mendekati nilai sangat baik (5)
11. Rekomendasi
Pembelajaran puisi yang sebelumnya dengan menggunakan pembelajaran ekspositori (ceramah bervariasi) kurang diminati oleh siswa, hal ini terlihat dari keengganan dan keslulitan mereka untuk menulis dan mempresentasikannya. Dalam menulis pada umumnya buntu pemikiran sedangkan pada presentasi terasa hambar tidak dijiwai, apalagi bila ditinjau secara detail berkenaan dengan unsur-unsur puisi. Ternyata dengan penggunaan pendekatan kontekstual yang dimulai dengan dunia empirik siswa secara aktual, dengan objek puisi diambil dari dunia siswa sehari-hari, meskipun pada mulanya belum terbiasa lama kelamaan secara bertahap, lambat laun siswa menunjukkan gairah belajar yang meningkat. Hal ini ditandai dengan makin lengkapnya unsur puisi yang muncul, makin dijiwainya pada waktu presentasi sehingga unsur seninya makin tampak. Hal yang lebih penting lagi, suasana pembelajaran yang nyaman dan menyenangkan dapat tercipta, kecerdasan intelektual , emosional, dan spiritual siswa dapat ditumbuhkembangkan secara optimal.
Dari pengalaman tersebut, penulis yakin dengan mengimplementasikan pendekatan konstekstual untuk mata pelajaran lainpun akan memiliki nilai lebih dan positif, meskipun pada tahap awal akan ada kendala. Hal ini biasa karena mengubah suatu kebiasaan perlu waktu dan kesabaran, secara bertahap akan menjadi lebih baik. Insya Alloh.


DAFTAR PUSTAKA

Ary Ginanjar A. (2001). Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual, ESQ, Jakarta: Penerbit Arga.
Depdiknas (2003). Kurikulum 2004; Standar Kompetensi Kelas V Sekolah Dasar / Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: Puskur Dit PTK-SD
Depdiknas (2002). Pendekatan Kontekstual ; Contextual Teaching and Learning. Jakarta: Direktorat PLP
Erman, S. Ar. (2004). Model-model Pembelajaran Matematika. Bandung: LPMP Jawa Barat.
Erman, S.Ar, dkk. (2001). Common Text Book, Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA-FPMIPA UPI
Erman, S.Ar. (2002). Evaluasi Proses dan Hasil Belajar matematika. Jakarta: Universitas Terbuka.
Hamalik, Oemar (2002). Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta: Bumi Aksara.
Maulana, Soni Farid (2004). Menulis Puisi Satu Sisi. Bandung: Pustaka Khalifah.
Maman Sulaeman, Maman (2006). Analisis Struktur Karya Satra Fiksi. Bandung: Uninus.
Ruseffendi, ET (1994). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non Eksakta Lainnya. Semarang: IKIP Semarang.
Sudjana (1980) Desain dan Analisis Eksperimen. Bandung: Tarsito.

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Komentar

free counters

¾