web 2.0
"INFORRMATIKA SERVICE CENTER" Pusat Informasi & Konsultasi (Melayani Service Komputer, Kursus Teknisi Komputer, Privat/group; 085 742 264 622

Rabu, 15 September 2010

REFORMULASI ZAKAT DAN PAJAK DALAM PERSPEKTIF SEJARAH ISLAM

Kata Kunci: Reformulasi, Zakat dan Pajak, Perspektif Sejarah Islam.

Reformulasi adalah merumuskan kembali suatu rumusan atau konsep yang lama yang dipandang atau dianggap sudah tidak tepat lagi. Perumusan kembali ini terkait dengan rumusan atau konsep tentang zakat dan pajak . di Indonesia yang mayoritas beragama Islam dikenai dua kewajiban yang pada masa awal Islam tidak diberlakukan. Muslim Indonesia berkewajiban untuk membayar zakat dan pajak. Padahal pada masa rasulullah SAW dan Khulafaurrasyidin oarng Islam hanya diwajibkan untuk membayar zakat saja. Politik pendidikan adalah upaya untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih baik dan adil, pertanyaan mendasar yang terkait dengan pendidikan setelah bergulirnya reformasi 1998 adalah apakah politik pendidikan yang telah terjadi pasca reformasi sudah menunjukkan sebuah kemajuan pendidikan ataukah malah justru menjadi masalah pendidikan, yang pertama bisa dilihat dari anggaran pendidikan, selama ini masih terjadi disparitas yang mencolok dan tidak adil dalam pembiayaan sektor pendidikan, sekolah swasta selalu di anak-tirikan sedangkan sekolah negeri dimanjakan, selain itu anggaran untuk pendidikan juga acapkali memunculkan inefisiensi, sehingga banyak anggaran yang didistribusikan tetapi tidak cocok dengan sekolah penerima bantuan. Yang kedua adalah tentang agenda reformasi pendidikan, seperti MBS, kurikulum dan sistem evaluasi, dengan keberadaan MBS malah justru menciptakan biaya sekolah yang mahal dan sekolah bebas menarik biaya dari siswa dengan berbagai alasan, kurikulum juga setali tiga uang, artinya masih banyak kelemahan-kelemahan yang perlu dibenahi dan diluruskan, begitu juga dengan sistem evaluasi yang dilakukan secara tersentral dan nasional melalui UN, melakukan standardisasi nilai secara nasional jelas tidak adil karena setiap sekolah dilihat dari segi fasilitasnya masih timpang, di satu sisi fasilitasnya mencukupi tapi di sekolah lain masih banyak yang belum tercukupi fasilitas sekolahnya.


Maju mundurnya pendidikan juga tidak terlepas dari eksistensi seorang guru, setelah reformasi berjalan kurang lebih 8 tahun ternyata guru di Indonesia masih kurang jika dilihat dari segi kualitasnya, begitu juga dengan kesejahteraan guru yang masih tidak adil antara guru negeri dengan guru swasta, selain itu independensi guru juga masih lemah, seringkali terjadi kasus ‘pemutasian’ guru yang hanya dikarenakan persoalan mengukuhkan status quo. Ada apa dengan sekolah dan perguruan tinggi di negeri ini, selama ini sekolah menjadi semakin mahal dan semakin jauh dari nuansa keadilan, begitu juga dengan perguruan tinggi, praktis saat ini perguruan tinggi telah kehilangan ruhnya untuk mencetak mahasiswa yang kritis ataupun mencetak teori-teori baru yang sesuai dengan relitas sosialnya. Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui dan mencari solusi terhadap empat permasalahan politik pendidikan, yang pertama adalah tentang persoalan anggaran pendidikan di Indonesia, yang kedua adalah tentang agenda reformasi pendidikan, yang ketiga adalah tentang keguruan di Indonesia dan yang keempat tentang satuan pendidikan yang ada di negeri ini.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode Deskriptif-preskriptif, yang berarti penulis menggambarkan realitas politik pendidikan di Indonesia khususnya setelah Orde Reformasi digulirkan dan setelah itu penulis melakukan langkah gagasan konstruktif dari beberapa pakar pendidikan sebagai upaya untuk membenahi pendidikan yang lebih baik. Dalam pengumpulan data ini penulis menggunakan teknik dokumentasi yang berarti mencari data melalui buku, catatan, surat kabar, majalah dan sebagainya, sedangkan tempat pencarian datanya melalui riset perpustakaan (library research). Dilihat dari sumber data yang penulis peroleh dapat dibagi menjadi dua yaitu sumber data primer yang dalam hal ini penulis dapatkan dari buku karya Darmaningtyas dengan judul pendidikan rusak-rusakan dan data sekunder yang didapatkan dari buku-buku penunjang lainnya, sedangkan metode analisa yang penulis gunakan adalah metode induktif.
Hasil penelitian yang penulis lakukan mengungkapkan bahwa pendidikan di Indonesia setelah reformasi bergulir ternyata belum mengalami kemajuan yang berarti, pendidikan di Indonesia bahkan mengalami kemandekan yang luar biasa, Selama kurang lebih 8 tahun bergulirnya reformasi ternyata negara belum sepenuhnya memprioritaskan sektor pendidikan sebagai tonggak kemajuan bagi sebuah bangsa, hal tersebut dapat diamati dari ketidakseriusan pemerintah dalam membiayai pendidikan secara total dan ketidakseriusan pemerintah dalam memanage anggaran agar efisien, tepat guna, tepat sasaran dan adil. Ketidakseriusan pemerintah juga terlihat jelas dalam menyusun rencana strategis (renstra) jangka panjang pendidikan di Indonesia, sehingga terkesan bongkar pasang dalam kurikulum atau dalam istilah semiotikanya ‘ganti menteri ganti kurikulum’, implikasinya agenda reformasi tidak menyelesaikan persoalan tapi justru menambah persoalan, disamping tentang kurikulum, konsep MBS ternyata malah justru menciptakan komersialisasi di sekolah yang dikarenakan kurangnya pemahaman masyarakat tentang MBS.
Persoalan guru juga ikut ambil bagian dalam keterpurukan pendidikan di negeri ini, mulai dari kualitas guru, perlindungan guru sampai pada persoalan gaji guru yang tidak adil khususnya gaji guru swasta, belum lagi tentang persoalan satuan pendidikan di negeri ini, secara tidak sadar lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia telah terjebak dalam cengkeraman kapitalisme. Demokrasi liberal yang diadopsi dari negara adi kuasa Amerika bahkan telah menyebabkan munculnya ketidakadilan dan ketertindasan bagi rakyat miskin untuk memperoleh akses pendidikannya, liberalisasi inilah yang justru memunculkan komersialisasi dan kapitalisasi dalam dunia pendidikan, akhirnya sekolah mahal menjadi harga mati bagi rakyat miskin tak berdaya, selain itu lembaga pendidikan semacam perguruan tinggi juga telah kehilangan rohnya sebagai media pembaharu atau ladang ilmu yang disebabkan oleh matinya budaya riset di perguruan tinggi tersebut. Karena itu perlu dilakukan pembagian tugas bagi pemerintah dan masyarakat, peran pemerintah dalam pendidikan harus lebih dipertegas lagi, tugas pemerintah tidak hanya mengeluarkan undang-undang saja tapi lebih dari itu pemerintah harus berfungsi sebagai pengawas yang adil.



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Nabi Muhammad SAW. mendapatkan misi dari Allah SWT untuk menyebarkan agama Islam kepada umat manusia sekitar tahun 610 M . Dalam menjalankan misinya, Nabi Muhammad SAW. menyampaikan ajaran tentang keimanan selama 13 tahun di kota Makkah. Disini Nabi Muhammad SAW tidak memperoleh hasil yang memuaskan, bahkan ancaman dan penganiayaan terhadap penganut agama Islam semakin bertambah hebat. Akhirnya pada tanggal 15 Juli 622 M. Nabi Muhammad SAW. bersama pengikutnya yang setia berhijrah ke kota Madinah. Di kota ini, Nabi Muhammad SAW. dan pengikutnya disambut dengan kegembiraan dan penghormatan oleh penduduk Madinah.
Setelah Nabi Muhammad SAW. berhijrah dari Makkah ke Madinah, bentuk misi kerasulan Nabi Muhammad SAW. beralih, dari pembentukan pribadi muslim kepada pembinaan masyarakat. Sebelum hijrah, ayat-ayat al-Qur`an banyak berbicara tentang aqidah dan akhlak, tetapi sesudah hijrah, ayat-ayat al-Quran banyak berbicara tentang hukum bagi pengaturan kehidupan sosial kemasyarakatan. Selanjutnya kedudukan Nabi Muhammad SAW. bukan hanya sebagai pemimpin umat, tetapi juga sebagai pemegang kekuasaan politis (Negara Islam).
Nabi Muhammad SAW. dalam kedudukannya sebagai pemimpin, memberikan pelayanan kepada kepentingan umatnya, melindungi umatnya yang lemah dari bahaya dan ancaman dari luar, memberikan bantuan moril dan materil bagi kehidupan umatnya. Sabagai pemimpin, dalam meningkatkan perekonomian umatnya dan memberikan pelayanan kepada umatnya yang membutuhkan dana yang cukup besar, Nabi Muhammad SAW. menentukan sumber-sumber dana sebagai pemasukan negara berdasarkan wahyu-wahyu Allah SWT.
Adapun bentuk-bentuk pemasukan dana bagi negara menurut hukum Islam adalah :
1. Zakat. yaitu sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah SWT. untuk diserahkan kepada orang-orang yang berhak menerimanya, disamping berarti mengeluarkan jumlah tertentu itu sendiri.
Zakat di katakan sebagai pemasukan negara adalah berdasarkan firman Allah SWT berarti:

Terjemahannya : “ Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka… “(QS. At-Taubah :103).
Perintah ini ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW. dalam kedudukan beliau sebagai rasul yang berfungsi untuk menjelaskan hukum dan juga dalam kedudukan beliau sebagai amil atau penguasa dan pemimpin negara.
2. Jizyah atau pajak,
Yaitu sejumlah harta yang dibebankan kepada non muslim khususnya ahli kitab yang berada di bawah tanggungan dan perjanjian dengan Negara Islam .
Jizyah itu merupakan kewajiban atas pribadi karena keberadaannya di daerah Islam yang wajib dibayarkan sekali setahun. Ini berdasarkan firman Allah SWT yang berarti:


Terjemahannya :Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) beriman kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar ( agama Allah), (yaitu orang-orang ) yang diberikan al-kitab kepada mereka sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.

Jika non-muslim telah membayar pajak, maka dia berhak perlindungan dan hak yang sama dari Islam.
Pemerintah Indonesia sebagai penyelenggara negara, mempunyai tugas dan kewajiban untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia, yang tertuang dalam butir-butir Pancasila dan pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Negara Indonesia berkewajiban untuk menyelenggarakan berbagai tugas yang berguna dalam masyarakat. Dengan tidak adanya organisasi yang luas beserta segala cabang-cabang dengan berbagai tugasnya, negara tidak mungkin dapat menunaikan tugasnya dengan sempurna. Untuk dapat menunaikan tugasnya, tentunya negara membutuhkan biaya (uang).
Untuk mendapatkan biaya (uang), selain mencetak sendiri atau meminjam, banyak jalan yang bisa ditempuh oleh pemerintah, dengan mengambil dari sumber-sumber dana negara yang terdiri dari perusahaan-perusahaan negara, barang-barang pemerintah, denda-denda dan perampasan, hak-hak warisan yang ditelantarkan, hibah dan iuran seperti pajak, restribusi dan sumbangan .
Menurut Santoso Brotodiharjo “ Pajak adalah iuran yang diberikan kepada negara oleh orang/lembaga yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan yang dapat dipaksakan dan tidak mendapatkan timbal balik, yang dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara dalam menyelenggarakan pemerintahan.”
Dalam hal ini, warga Negara Indonesia yang beragama Islam mempunyai dua kewajiban yang sama-sama mengikat secara hukum, yaitu kewajiban membayar zakat dan kewajiban membayar pajak. Karena sebagai orang Islam, dia wajib untuk mentaati perintah agamanya dengan mengeluarkan zakat, dan sebagai warga negara, dia juga wajib membayar pajak.
Apabila dipandang dari segi tujuannya, zakat dan pajak adalah sama-sama untuk mendistribusikan harta kekayaan untuk kemaslahatan bersama. Tetapi ada dikotomi konsep yang cukup tajam antara keduanya. Zakat didefinisikan sebagai satu doktrin agama dengan muatan fiqih dan teologis yang kuat, sehingga imbalannya adalah pahala dari Allah, sedangkan pajak didefinisikan sebagai kewajiban rakyat yang dibebankan Negara yang tidak ada muatan agamanya .
Hal ini berakibat kepada tidak maksimalnya pelaksanaan dan pendistribusian zakat dan pajak. Sekarang zakat tidak sepenuhnya menjadi wewenang negara, tetapi menjadi wewenang amil-amil yang hanya mempunyai sedikit otoritas; dan mengakibatkan terbebaninya warga Negara yang beragama Islam dengan mengeluarkan dua kewajiban zakat dan pajak.
Berangkat dari masalah diatas, penulis akan mencoba mempelajari dan menganalisa dalam sebuah pembahasan untuk kemudian dituangkan dalam skripsi dengan judul : REFORMULASI ZAKAT DAN PAJAK (Dalam Perspektif Sejarah Islam).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis akan mengemukakan secara singkat rumusan masalah yang akan penulis bicarakan dalam pembahasan selanjutnya, yaitu berkisar tentang :
1. Bagaimana formulasi zakat dan pajak pada masa Nabi Muhammad SAW. dan Khulafaurrasyidin.
2. Bagaimana formulasi zakat dan pajak di Indonesia.
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang terkait dengan rumusan masalah di atas yaitu :
1. Untuk mengetahui formulasi zakat dan pajak pada masa Nabi Muhammad SAW. dan Khulafaurrasyidin.
2. Untuk mengetahui formulasi zakat dan pajak di Indonesia.
D. Kegunaan Penelitian
Adapun beberapa kegunaan penelitian dalam penyusunan skripsi ini antara lain sebagai berikut :
1. Sebagai pengembangan pengetahuan peneliti dalam bidang zakat dan pajak melalui penelitian kepustakaan.
2. Sebagai media penerangan dan informasi bagi pembaca dalam hal zakat dan pajak.
3. Sebagai sarana untuk memenuhi dan melengkapi salah satu tugas sebagian syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI) pada Fakultas Syari`ah Institut Agama Islam Tribakti (IAIT) Kediri.
E. Definisi Operasional
Untuk mempermudah dalam mengkaji permasalahan-permasalahan ini, maka dipandang perlu adanya definisi istilah yang dipakai dalam judul skripsi ini, yang merupakan rangkaian dari berbagai kata, yang masing-masing mempunyai arti tersendiri. Adapun uraiannya sebagai berikut :
1. Reformulasi artinya penyusunan rumus kembali, perumusan kembali. Di sini penulis akan merumuskan kembali tentang zakat dan pajak.
2. Zakat yaitu jumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang Islam yang diberikan kepada golongan-golongan yang berhak menerimanya menurut syara`.
3. Pajak yaitu hak untuk mengusahakan sesuatu dengan membayar sewa kepada Negara.
4. Dalam perspektif sejarah Islam, maksudnya penulis dalam membahas skripsi ini dititik beratkan kepada analisis sejarah zakat dan pajak pada Masa Nabi Muhammad SAW. dan Khulafaurrasyidin.
F. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan Library research yaitu mengadakan penelitian dengan mempelajari buku-buku, al-Quran, sunnah, kitab-kitab fiqih, undang-undang, dokumen, catatan dan kisah-kisah sejarah serta buku-buku literature kontemporer yang berkaitan dengan skripsi ini.
Kemudian dalam menganalisa data, penulis menggunakan :
1. Induksi yaitu cara menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus ditarik ke hal-hal yang bersifat umum, yakni berfikir dari fakta yang bersifat khusus kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum.
2. Deduksi yaitu cara menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum ditarik ke hal-hal yang bersifat khusus, Metode ini digunakan untuk menganalisa data dengan berfikir dari pengetahuan yang bersifat umum, hendak menulis suatu kejadian yang bersifat khusus.
3. Komparasi yaitu peneliti mengadakan perbandingan dari beberapa pendapat yang berbeda untuk mencari yang lebih kuat atau untuk mencapai kemungkinan dalam pengkompromian.
G. Sistematika Penulisan
Dalam setiap penelitian perlu adanya sistematika penulisan. Karena dalam sistematika penulisan terdapat bab dab sub bab yang saling berkaitan satu dengan yang lain, sehingga mudah untuk difahami. Berikut sistematika penulisan dalam skripsi ini :
BAB I : Bab ini merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, definisi operasional, Metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : Bab ini terdiri dari pengertian zakat dan pajak, posisi zakat dan pajak, fungsi zakat dan pajak, formulasi zakat dan pajak pada masa Nabi Muhammad SAW dan Khulafaurrasyidin.
BAB III : Bab ini terdiri dari pengertian zakat dan pajak, posisi zakat dan pajak, fungsi zakat dan pajak, formulasi zakat dan pajak di Indonesia.
BAB IV: Bab ini meliputi analisa data dari membandingkan antara formulasi zakat dan pajak pada masa Nabi Muhammad SAW dan Khulafaurrasyidin, formulasi zakat pajak di Indonesia dengan kondisi dan situasi warga Negara Indonesia.
BAB V : Bab ini merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran dari penulis.


BAB II
ZAKAT DAN PAJAK PADA AWAL ISLAM

A. MASA RASULULLAH SAW ( 570 – 632 M ).

Pada usia 40 tahun, Muhammad diangkat menjadi Rasul untuk menyerukan wahyu Allah kepada manusia. Dengan turunnya perintah tersebut, Nabi Muhammad SAW. mulai berdakwah menyerukan Tauhid kepada masyarakat Makkah, pertama-tama, beliau melakukan secara diam-diam dilingkungan sendiri. Setelah Nabi Muhammad SAW. berhasil dilingkungan sendiri, kemudian Nabi Muhammad SAW. berdakwah secara terang-terangan kepada masyarakat umum. Dakwah ini di halangi dengan keras oleh kabilah Quraisy, bahkan Nabi Muhammad SAW. sampai akan dibunuh. Nabi Muhammad SAW berdakwah di Makah selama kurang lebih 13 tahun ( 12 tahun 5 bulan dan 13 hari).
Ketika di Makkah Nabi Muhammad SAW. menerima wahyu yang berupa ayat-ayat al-Quran yang memuat masalah-masalah Tauhid dan Aqidah, sedikit sekali yang memuat hukum-hukum tentang peribadatan dan muamalah. Kalaupun diturunkan ayat tentang hukum, maka jumlahnya hanya sedikit, dan sifatnya masih universal. Ayat-ayat yang menerangkan tentang zakat turun di Makkah. Zakat juga pernah dibahas dalam pidato Ja`far waktu sidang di Najasyi pada tahun kelima kenabian. Pada periode ini zakat diartikan sebagai sedekah atau infak secara sukarela.
Pada tahun 12 kenabian, beberapa kelompok penduduk kota Yatsrib menemui Nabi Muhammad SAW. yang terkenal dengan sifat al-Amin, untuk memintanya menjadi pemimpin mereka, karena pada waktu itu, situasi kota Yatsrib sangat tidak menentu karena tidak mempunyai pemimpin yang berdaulat secara penuh. Mereka juga berjanji akan selalu menjaga keselamatan diri Nabi Muhammad SAW. dan para pengikutnya serta ikut memelihara dan mengembangkan ajaran Islam. Perjanjian ini dikenal dengan Bai`at Aqabah Pertama, dan perjanjian ini juga terjadi pada tahun 13 kenabian yang dikenal dengan Bai`at Aqabah Kedua.
Setelah kaum musyrikin Quraisy mengetahui adanya perjanjian antara Nabi Muhammad SAW. dan orang-orang Yatsrib itu, mereka semakin meningkatkan intimidasi terhadap Nabi Muhammad SAW. dan para sahabatnya. Karena hal ini dan setelah mendapat wahyu dari Allah, Nabi Muhammad SAW. memerintahkan para sahabatnya untuk hijrah ke Yatsrib. Hampir semua kaum muslimin hijrah ke Yatsrib, hanya Ali dan Abu Bakar yang tetap tinggal di Makkah untuk menemani dan membela Nabi Muhammad SAW. sampai Nabi Muhammad SAW. juga berhijrah ke Yatsrib karena kaum Quraisy sudah merencanakan untuk membunuh Nabi Muhammad SAW.
Dalam berhijrah Nabi Muhammad SAW. ditemani Abu Bakar, dan sempat singgah dan menginap beberapa hari di Quba, dan kemudian Ali bergabung dengan Nabi Muhammad SAW. setelah menyelesaikan urusan di Makkah. Ketika Nabi Muhammad SAW. datang di kota Yatsrib, Nabi Muhammad SAW. di sambut dengn penuh kegembiraan oleh penduduk sana. Sejak kedatangan Nabi Muhammad SAW. kota Yatsrib diubah namanya menjadi Madinatul Nabi ( Kota Nabi) sebagai penghormatan atas kehadiran Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi pemimpin penduduk Madinah.
Berbeda halnya dengan periode Makkah, Islam menjadi kekuatan politik pada periode Madinah. Dalam jangka waktu yang relatif singkat Nabi Muhammad SAW. telah menjadi pemimpin bangsa Madinah. Dengan demikian, pada periode Madinah, Nabi Muhammad SAW. di samping menjadi pemimpin agama juga menjadi kepala sebuah negara.
Setelah diangkat menjadi kepala Negara, Rasulullah SAW. segera melakukan perubahan drastis dalam menata kehidupan masyarakat Madinah. Hal utama yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. adalah membangun sebuah kehidupan sosial, baik dilingkungan keluarga, masyarakat, institusi maupun pemerintahan yang sesuai dengan prinsip Islami. Seluruh aspek kehidupan masyarakat disusun berdasarkan nilai-nilai Qur`ani, seperti persaudaraan, persamaan, kebebasan dan keadilan. Oleh karena itu, Rasulullah SAW. menggunakan stategi dengan melakukan langkah-langkah; membangun Masjid, merehabilitasi kaum muhajirin, membuat konstitusi negara dan meletakkan dasar-dasar sistem keuangan Negara.
Pada tahun-tahun awal sejak dideklarasikan sebagai sebuah negara, Madinah hampir tidak memiliki sumber pemasukan ataupun pengeluaran negara. Seluruh tugas negara dilaksanakan kaum muslimin secara gotong royong dan sukarela. Rasulullah SAW sendiri adalah sebagai kepala negara yang juga merangkap sebagai ketua Mahkamah Agung, Mufti besar, Panglima Perang Tertinggi, serta penanggung jawab seluruh administrasi negara. beliau tidak menerima gaji dari negara atau masyarakat, kecuali hadiah-hadiah kecil yang pada umumnya berupa bahan makanan. Majelis Syura terdiri dari para sahabat sahabat terkemuka yang sebagian dari mereka bertanggung jawab mencatat wahyu.
Sebagai tahap awal, dalam rangka meningkatkan pendapatan ( aggregate demand) masyarakat muslim Madinah, Rasulullah SAW. melakukan kebijakan, dengan mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar, sehingga dapat menyebabkan terjadinya distribusi pendapatan keduanya yang berimplikasi pada peningkatan permintaan total Madinah. Membuka lapangan pekerjaan bagi kaum Muhajirin dengan mengimplementasikan akad Muzarara`ah, Musaqat dan Mudharabah. Melakukan pembagian harta rampasan perang yang 80 % diantaranya dibagikan kepada para mujahidin. Menerapkan kebijakan pajak seperti Kharaj, Khumus, dan zakat sebagai pendapatan negara.
Pada tahun kedua hijriyah bertepatan dengan tahun 623 M. Allah mewajibkan kaum muslimin untuk menunaikan zakat fitrah pada setiap bulan Ramadhan sebesar 1 sha` kurma, tepung, keju lembut atau setengah sha` gandum. Setelah kondisi perekonomian kaum muslimin mulai stabil, selanjutnya Allah mewajibkan zakat Mal pada tahun kesembilan hijriyah. Namun demikian banyak ahli hadis yang cenderung berpendapat bahwa zakat mal, diwajibkan sebelum tahun kesembilan hijriyah. Dalam hal ini Maulana Abul Hasan menyatakan zakat mal diwajibkan pada tahun kelima hijriyah. Atas dasar perintah Allah ini, Rasulullah SAW membuat peraturan zakat yang meliputi sistem pengumpulan zakat, barang-barang yang yang dikenakan zakat, batas bebas zakat dan tingkat presentasi zakat untuk setiap barang yang berbeda-beda.
Zakat mempunyai kedudukan penting dalam struktur ekonomi-keagamaan, dari mekanisme keuangan Islam. Zakat mendapatkan perhatian dari hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. dibanding dengan sumber-sumber pendapatan lainnya yang ada dalam Islam. Zakat dan Ushr (zakat atas hasil pertanian dan buah-buahan) merupakan pendapatan yang paling utama dan penting pada masa kepemimpinan Rasulullah SAW. Keduanya berbeda dengan pajak dan tidak diberlakukan sama seperti pajak. Zakat dan Ushr merupakan kewajiban agama dan termasuk salah satu rukun Islam. Pengeluarannya tidak dapat dibelanjakan untuk pengeluaran umum negara. Sebagaimana hadis Nabi Muhammad SAW kepada Muadz yang berarti:


Artinya :Diriwayatkan dari Ibnu Abbas berkata bahwa Rasulullah SAW berkata kepada Muadz ketika beliau mengirimnya ke Yaman sebagai petugas zakat, “ Katakanlah kepada mereka ( penduduk Yaman) bahwa Allah telah mewajibkan mereka untuk membayar zakat yang akan diambil dari orang kaya diantara mereka dan memberikannya kepada orang miskin diantara mereka”.

Dengan demikian, pemerintah pusat hanya berhak menerima keuntungan apabila terjadi surplus yang tidak dapat didistribusikan kepada orang yang tidak berhak.
Pada masa Rasulullah SAW, zakat ditetapkan atas kekayaan-kekayaan yang memiliki kemampuan untuk berkembang dari sisi nilainya (emas, perak), atau dapat menghasilkan kekayaan lebih lanjut, seperti ternak, produksi pertanian dan barang-barang dagangan, dan luqathah, harta yang ditinggalkan musuh dan barang temuan. Semuanya dikenakan zakat ketika sudah mencapai nishabnya, dan mencapai satu tahun kecuali pertaniaan, dikenakan zakat ketika panen.
Pada masa pemerintahannya, Rasulullah SAW menerapkan jizyah, yakni pajak yang dibebankan kepada orang-orang non muslim, khususnya ahli kitab, sebagai jaminan perlindungan jiwa, harta milik, kebebasan menjalankan ibadah, serta pengecualian dari wajib militer. Besarnya jizyah adalah satu dinar pertahun untuk setiap orang laki-laki dewasa yang mampu membayar. Perempuan, anak-anak, pengemis, pendeta, orang tua, penderita sakit jiwa dan semua yang menderita penyakit dibebaskan dari kewajiban ini.
Disamping itu, Rasulullah SAW juga menerapkan sistem Kharaj, yaitu pajak tanah yang dipungut dari kaum non muslim ketika wilayah Khaibar ditaklukkan, tanah hasil taklukan diambil alih oleh kaum muslimin dan pemilik lamanya diberi hak untuk mengolah tanah tersebut dengan status sebagai penyewa dan bersedia memberikan separo hasil produksinya kepada negara. Rasulullah SAW mengirim orang-orang yang ahli untuk menaksir jumlah keseluruhan hasil produksi. Setelah mengurangi sepertiga sebagai konpensasi dari kemungkinan kelebihan penaksiran, dan sisanya yang duapertiga dibagi-bagikan, setengahnya untuk negara dan setengahnya untuk para penyewa. Dalam perkembanganya, kharaj menjadi sumber pemasukan bagi Negara.

B. MASA KHULAFAURRASYIDIN ( 632 – 661 M )
1.Khalifah Abu Bakar Al-Shidiq ( 632 – 634 M )
Setelah Rasulullah SAW wafat, Abu Bakar al-Shidiq yang bernama lengkap Abdullah bin Abu Quhafah at-Tamimi terpilih sebagai kepala negara kaum muslimin. Pada masa pemerintahannya yang hanya dua tahun, Abu Bakar banyak menghadapi persoalan dalam negeri yang berasal dari kelompok murtad, Nabi palsu dan pembangkang zakat. Mereka menganggap bahwa perjanjian yang dibuat dengan Nabi Muhammad SAW, dengan sendirinya batal setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Berdasarkan hasil musyawarah dengan para sahabat yang lain. Beliau memutuskan untuk memerangi mereka melalui peperangan yang dikenal dengan perang Riddah ( perang melawan kemurtadan)
Dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan umat Islam, khalifah Abu Bakar al-Shidiq melaksanakan berbagai kebijakan ekonomi seperti yang telah dipraktikan oleh Rasulullah SAW. Beliau sangat memperhatikan keakuratan perhitungan zakat, sehingga tidak terjadi kelebihan atau kekurangan pembayarannya. Dalam hal ini, Abu Bakar pernah berkata pada Anas,
“Jika seseorang mempunyai kewajiban untuk membayr zakat berupa seekor unta betina berumur 1 tahun tetapi dia tidak mempunyainya lalu, menawarkan seekor unta betina berumur 2 tahun…petugas zakat akan mengembalikan kepada orang tersebut sebanyak 20 dirham atau 2 ekor domba sebagai kelebihan dari pembayaran zakatnya.”

Dalam mendistribusikan harta Bait al-Mal tersebut, Abu Bakar menerapkan prinsip kesamarataan, yakni memberikan jumlah yang sama kepada semua sahabat Rasulullah SAW dan tidak membeda-bedakan antara sahabat yang terlebih dahulu masuk Islam dengan sahabat yang kemudian masuk Islam, hamba sahaya dengan orang merdeka, dan pria dengan wanita. Harta Baitu al-Mal langsung didistribusikan, jadi tidak pernah menumpuk harta yang ada di Bait al-Mal.
2.Khalifah Umar bin Khattab ( 634 – 644 M )
Berdasarkan hasil musyawarah, Umar bin Khattab ditunjuk menggantikan Abu Bakar sebagai khalifah Islam kedua, keputusan itu diterima dengan baik oleh para kaum muslimin. Pada masa pemerintahannya, banyak sekali melakukan ekspansi hingga wilayah Islam meliputi jazirah Arab, sebagian wilayah Romawi ( Syria, Palestina dan Mesir), serta sebagian wilayah Persia, termasuk Irak. Kemudian Umar mengatur administrasi negara dengan mengatur pemerintahan menjadi delapan wilayah propinsi : Makkah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir,. Beliau juga membentuk jawatan kepolisian dan jawatan tenaga kerja.
Pada masa khalifah Umar, Bait al-Mal semakin dikembangkan fungsinya sehingga menjadi lembaga yang regular dan permanent, dengan dilengkapi sistem administrasi yang tertata baik dan rapi. Dalam pendistribusiannya, kahlifah Umar mengeluarkannya secara bertahab sesuai dengan kebutuhan. Pada tahun yang sama, bangunan lembaga Bait al-Mal pertama kali didirikan di Madinah sebagi pusatnya, dan kemudian diikuti cabang-cabangnya di ibukota propinsi. Khalifah Umar menunjuk Abdullah bin Irqam sebagai bendahara negara dan Abdurrahman bin Ubaid al-Qari dan Muqayyab sebagai wakilnya.
Dalam pendistribusian harta Bait al-Mal, pejabat tidak mempunyai wewenang dalam membuat keputusan terhadap harta yang berupa zakat dan ushr, kekayaan negara tersebut ditujukan untuk berbagai golongan tertentu dan harus dibelanjakan sesuai dengan prinsip-prinsip al-Quran. Dan pejabat eksekutif tidak boleh ikut campur dalam pengelolaan harta Bait al-Mal.
Pada masa khalifah Umar, mengintruksikan kepada gubernur agar menarik zakat dari satu kuda yang berniali 20.000 sebesar satu dinar dan didistribusukan kepada fakir miskin serta budak-budak.
Paska penaklukan Syria, Sawad (Iarak) dan Mesir, pendapatan Bait al-Mal meningkat secara subtansial, kharaj dari Sawad mencapai seratus juta dinar dan dari Mesir dua juta dinar. Dalam penetapan kharaj, khalifah Umar sangat teliti dan memperhatikan jangan sampai memberikan beban yang melebihi dari kemampuan penyewa. Khalifah Umar menentukan jizyah senantiasa melihat situasi dan kondisi daerah yang berbeda-beda. Kepada penduduk Syam dan Mesir, ditentukan 4 dinar bagi yang kaya, 2 dinar bagi kalangan menengah, dan 1 dinar bagi orang miskin yang mempunyai penghasilan. Dan mewajibkan kepada mereka untuk memberi makan kepada tentara muslim. Kepada penduduk Irak, diwajibkan membayar jizyah sebesar 48 dirham bagi orang kaya, 24 dirham bagi kalangan menengah, dan 12 dirham bagi orang miskin yang berpenghasilan.
Beliau mewajibkan zakat Mudha`af kepada orang Nasrani suku Taghrib ketika menolak membayar jizyah, karena mereka hanya petani dan peternak yang tidak mempunyai harta.
Kharaj dan jizyah disimpan dalam Bait al-Mal, dan digunakan untuk kemaslahatan kaum muslimin dan jihad fisabilillah.
3. Khalifah Utsman bin Affan ( 644 – 656 M )
Khalifah Utsman bin Affan dipilih sebagai pengganti dari khalifah Umar oleh tim enam bentukan dari khalifah Umar, setelah bersaing ketat dengan sahabat Ali bin Abi Tholib. Masa pemerintahannya berlangsung selama 12 tahun. Pada enam tahun pertama, khalifah Utsman melakukan penataan baru dengan mengikuti kebijakan khalifah Umar. Beliau mengembangkan sumber daya alam, pembuatan saluran air, pembangunan jalan, dan membentuk organisasi kepolisian secara permanen untuk mengamankan jalur perdagangan. Khalifah Utsman juga membentuk armada laut kaum muslimin di bawah komando Muawiyah, hingga mampu membangun supremasi kelautan di wilayah Mediterania, walaupun dengan mengeluarkan anggaran yang sangat besar. Laodicea dan wilayah semenanjung Syria, Tripoli, Barca di Afrika menjadi pelabuhan pertama Negara Islam.
Dalam pengelolaan zakat, khalifah Utsman mendelegasikan kewenangan menaksir harta yang dizakati kepada para pemiliknya masing-masing. Hal ini dilakukan untuk mengamankan zakat dari berbagai gangguan dan masalah dalam pemeriksaan kekayaan yang tidak jelas oleh beberapa oknum pengumpul zakat. Dan harta dikenakan zakat setelah dipotong seluruh hutang-hutang yang bersangkutan, beliau juga mengurangi zakat dari pensiun. Beliau meningkatkan dana pension sebesar 100 dirham. Beliau juga memperkenalkan tradisi mendistribusikan makanan di masjid untuk para fakir miskin.
Khalifah Utsman membuat beberapa perubahan administrasi tingkat atas dan pergantian gubernur, untuk menutupi kebutuhan dana negara. Hasilnya, ada peningkatan pemasukan dari kharaj dan jizyah yang berasal dari Mesir meningkat dua kali lipat dari 2 juta dinar menjadi 4 juta dinar, setelah dilakukan pergantian gubernur dari Amr kepada Abdullah bin Said.
Khalifah Utsman menerapkan kebijakan membagi-bagikan tanah negara kepada individu-individu untuk tujuan reklamasi, dari hasil kebijakan ini negara memperoleh pendapatan sebesar 50 juta dirham atau naik 41 juta dirham jika di bandingkan pada masa khalifah umar yang tidak membagi-bagikan tanah tersebut.
4.Khalifah Ali bin Abi Thalib ( 656 – 661 M )
Kalifah Ali bin Abi Tahlib diangkat oleh segenap kaum muslimin. Beliau langsung megambil beberapa tindakan, seperti memberhentikan para pejabat yang korup, membuka kembali lahan perkebunan yang telah diberikan kepada penduduk dengan menyerahkan hasilnya kepada negara, dan memakai kembali system distribusi pajak tahunan diantara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan khalifah Umar.
Masa pemerintahan khalifah Ali hanya berlangsung enam tahun. Pemerintahannya selalu diwarnai dengan suhu politik yang tidak stabil. Beliau harus menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair ibn Awwam, dan Aisyah yang menuntut atas kematian Utsman bin Affan. Kebijakannya yang tegas menimbulkan permusuhan dengan gubernur Damaskus Muawiyah, yang didukung oleh pejabat yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan.
Khalifah Ali, menetapkan pajak terhadap para pemilik hutan sebesar 4000 dirham dan mengizinkan Ibnu Abbas, gubernur Kufah memungut zakat terhadap sayuran segar yang akan diadakan sebagai bumbu masakan.
Khalifah Ali, menolak pendapat Khalifah Umar dalam pendistribusian Bait al-Mal dengan tidak mendistribusikan seluruh pendapatannya, tetapi menyimpan sebagai cadangan. Beliau mendistribusikan seluruh pendapatan dan provisi yang ada di Bait al-Mal Madinah, Basrah, dan Kufah. Sistem distribusi setiap pekan sekali mulai diadopsi. Hari kamis adalah hari pendistribusian atau hari pembayaran. Hari itu, semua perhitungan diselesaikan dan pada hari sabtu mulai perhitungan baru. Cara ini sebagai solusi terbaik secara hukum dan kondisi negara dalam masa-masa transisi.
Pada masa khalifah Ali, alokasi pengeluaran kurang lebih masih tetap sama sebagaimana halnya masa khalifah Umar, pengeluaran untuk armada laut dihilangkan, karena sepanjang wilayah pantai Syria, Palestina, dan Mesir berada dalam kekuasaan Muawiyah. Khalifah Ali mempunyai konsep yang jelas tentang pemerintahan, administrasi umum dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya. Konsep ini dijelaskan dalam suratnya yang terkenal kepada Malik Asther bin Haris. Surat tersebut berkaitan dengan tanggung jawab dan kewajiban para penguasa, penegakan keadilan, pendapatan pegawai administrasi dan pengadaan bendahara.



BAB III
ZAKAT DAN PAJAK DI INDONESIA

A. ZAKAT DI INDONESIA
1. Sejarah Zakat di Indonesia.
Zakat merupakan salah satu kewajiban dalam Islam yang telah dilaksanakan sejak agama Islam masuk ke Indonesia. Menurut M.D. Mansyur dkk., Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 Masehi, pada masa pemerintahan khalifah Muawiyah (661-680 M). Khalifah pertama dari Bani Umayyah. Khalifah Muawiyah berusaha menguasai perdagangan lada (merica) atau rempah-rempah, agar bahan terpenting itu tidak tergantung lagi dari bangsa Cina Thang yang semula mengimpor dari Muara Tembesi (kerajaan Melayu Kuno) dan Muara Sabak, kerajaan Sriwijaya Jambi, mulai kanton ke Damsyik. Untuk memperkuat usahanya, Muawiyah mengajak Raja Sriwijaya di Jambi pada waktu itu bernama Sri Maharaja Lakitawarman masuk Islam. Menurut Hamka :
“ Teranglah dari fakta sejarah, telah datang utusan dari Arab ke pulau Jawa sekitar tahun 675 Masehi dan melawat ke negeri kalingga dan kembali ke Arab… sehingga taktik penyiaran agama Islam ke negeri-negeri melayu ( termasuk Indonesia) tidak perlu dijalankan dengan kekerasan, melainkan menurut kehendak agama Islam itu sendiri secara tadrid (pelan-pelan dan secara baik-baik)”

Dengan mulai masuknya Islam ke Indonesia, sistem hukum Islam mulai berlaku di Indonesia, termasuk didalamnya Zakat.
Pada zaman penjajahan Belanda, Belanda mengakui secara penuh, bahwa pelaksaan hukum Islam diperlukan bagi orang-orang Islam bumi putra, walaupun dengan sedikit penyimpangan-penyimpangan. Karena mereka telah memeluk agama Islam. Apa yang telah berlaku sejak mulai adanya kerajaan-kerajaan Islam diakui oleh VOC dengan batasan-batasan sesuai dengan kepentingan VOC. Pada masa itu pelaksanaan ajaran agama Islam termasu zakat diatur dalam Ordonantie pemerintah Hindia Belanda Nomor 6200. Pemerintah Belanda maupun Pemerintah Indonesia pada awal kemerdekaan menyerahkan masalah zakat sebagai urusan masyarakat sendiri.
Setelah berlakunya UUD 1945, hukum Islam berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam karena kedudukan hukum Islam itu sendiri. Pasal 29 UUD 1945 menetapkan : “(1) Negara berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa.; (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Setelah adanya peraturan yang memberlakukan hukum Islam bagi warga Negara Indonesia yang beragama Islam, kemudian masalah zakat diatur melalui Edaran Kementrian Agama yang dikeluarkan pada tanggal 8 Desember 1951, dan pada tahun 1968 dikeluarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 04 tahun 1968 tentang pembentukan Badan Amil Zakat dan Nomor 05 tahun 1968 tentang pembentukan Baitul Mal.
Pada tahun 1999, Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat melahirkan Undang-undang mengenai Pengelolaan zakat di Indonesia yaitu UU Nomor 38 tahun 1999, dan diatur dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 581 tahun 1999. Dengan keluarnya undang-undang tersebut, diharapkan pengelolaan zakat di Indonesia akan menjadi lebih baik.
2. Zakat di Indonesia
Zakat di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan syariat Islam. Zakat adalah memberikan kadar harta tertentu kepada yang berhak menerimanya dengan syarat tertentu, seorang yang mengeluarkan zakat, berarti dia telah membersihkan diri, jiwa dan hartanya. Dia membersihkan jiwanya dari penyakit kikir, dan membersihkan hartanya dari haj orang lain yang ada dalam hartanya itu. Orang yang berhak menerimanya pun akan bersih jiwanya dari penyakit dengki, iri hati terhadap orang yang mempunyai harta.
Menurut Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat (2) : “ Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya”.
Zakat diwajibkan kepada orang Islam yang merdeka, telah sampai umur ( baligh ), berakal dan nisabnya sempurna. Dalam UU Nomor 38 tahun 1999, Bab I pasal 1 ayat (3) : “ Muzakki adalah orang atau badan yang dimiliki oleh orang muslim yang berkewajiban menunaikan zakat.”.
Harta yang wajib dizakati adalah hewan ternak, emas perak, pertanian, buah-buahan, dan harta dagangan. Dalam UU Nomor 38 tahun 1999, Bab IV pengumpulan zakat, pasal 11ayat (2) :
Harta yang dikenai zakat adalah :
a. Emas, perak, dan uang;
b. Perdagangan dan perusahaan;
c. Hasil pertanian, hasil perkebunan, dan hasil perikanan;
d. Hasil pertambangan;
e. Hasil perternakan;
f. Hasil pendapatan dan jasa;
g. Rikaz.
Syarat- syarat dikenakan zakat adalah kepemilikan sempurna, aset produktif atau berpotensi untuk produktif, mencapai nishab, aset surplus non kebutuhan primer, tidak ada tanggungan utang dan kepemilikan satu tahun.
Menurut Pendapat Abu Hanifah, keharusan penuh senisab hanya diperlukan pada awal dan akhir tahun. Kecuali zakat tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan diharuskan kita mengeluarkannya setelah dipetik dari batangnya. Dalam UU Nomor 38 tahun 1999, Bab IV pengumpulan zakat, pasal 11 ayat (3) :” Perhitungan zakat mal menurut nishab, kadar, dan waktunya ditetapkan berdasarkan hukum agama”.
Dalam UU Nomor 38 tahun 1999, Bab V pendayagunaan zakat, pasal 16 :
1) Hasil pengumpulan zakat didayagunakan untuk mustahiq sesuai dengan ketentuan agama.
2) Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat berdasarkan skala prioritas kebutuhan mustahiq dana dapat dimanfaatkan untuk usaha produktif.
3) Persyaratan dan prosedur pendayagunaan hasil pengumpulan zakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan keputusan menteri.

Dalam penjelasan atas UU Nomor 38 tahun 1999, Bab IV pengumpulan zakat, pasal 16 ayat (2) :
Mustahiq delapan ashnaf ialah fakir, miskin, amil, mualaf, riqab, gharim, sabilillah, dan ibnu sabil, yang di dalam aplikasinya dapat meliputi orang-orang yang paling tidak berdaya secara ekonomi, seperti anak yatim, orang jompo, penyandang cacat, orang yang menuntut ilmu, pondok pesantren, anak terlantar, orang yang terlilit utang, pengungsi yang terlantar, dan korban bencana alam.

Dalam UU Nomor 38 tahun 1999, Bab III Organisasi Pengelolaan Zakat, pasal 6 :
(1) Pengeloalaan zakat dilakukan oleh badan amil zakat yang dibentuk oleh pemerintah.
(2) Pembentukan amil zakat :
1. Nasional oleh Presiden atas usul Menteri;
2. Daerah propinsi oleh Gubernur atas usul Kepala Kantor wilayah Departemen Agama Propinsi;
3. Daerah Kabupaten atau daerah Kota oleh Bupati atau Walikota atas usul Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten atau Kota;
4. Kecamatan oleh Camat atas usul kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan.
(3) Badan amil zakat di semua tingkatan memiliki hubungan kerja yang bersifat koordinatif, konsultatif, dan informatif.
(4) Pengurus badan amil zakat terdiri atas unsur masyarakat dan pemerintah yang memenuhi persyaratan tertentu.
(5) Organisasi badan amil zakat terdiri atas unsur Pertimbangan, unsur pengawas, dan unsur pelaksana.

B. PAJAK DI INDONESIA
1. Sejarah Pemungutan Pajak.
Sejarah pemungutan pajak mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perkembangan masyarakat dan negara baik dibidang kenegaraan maupun dibidang sosial dan ekonomi. Pada mulanya pajak belum merupakan suatu pungutan, tetapi hanya merupakan pemberian sukarela oleh rakyat kepada raja dalam memelihara kepentingan negara, seperti menjaga keamanan negara terhadap serangan musuh dari luar, membuat jalan untuk umum, membiayai pegawai kerajaan dan sebaliknya bagi penduduk yang tidak melakukan penyetoran dalam bentuk natura (harta), maka ia diwajibkan melakukan pekerjaan-pekerjaan untuk kepentingan umum untuk beberapa hari lamanya dalam satu tahun.
Kerajaan-kerajaan di Jawa sekitar Abad XIX, juga melakukan semacam ini. Tenaga dari rakyat ditarik sebagai pajak oleh raja dengan istilah kerja bakti dan kadang-kadang gotong royong. Baru setelah terbentuknya negara-negara nasional dan tercapainya pemisahan antara rumah tangga negara dan rumah tangga pribadi raja pada akhir abad pertengahan, pajak mendapat tempat yang lebih mantap diantara berbagai pendapatan negara.
Dengan bertambah luasnya tugas-tugas negara, utamanya untuk mempertahankan hukum, ketertiban dan pertahanan, maka negara harus memperkerjakan pegawai-pegawai, seperti tentara, polisi, hakim dan pegawai sipil lainnya, dan apabila timbul peperangan antar negara, maka dengan sendirinya negara memerlukan biaya yang cukup besar. Sehubungan dengan itu, maka pemberian yang sifatnya sukarela tersebut, berubah menjadi pemberian yang ditetapkan secara sepihak oleh negara dan dapat dipaksakan.
Mula-mula pada bidang pemungutan pajak ini terdapat banyak penyalahgunaan dan beban pajak yang tidak merata. Dengan pemberian keistimewaan kepada kelompok-kelompok tertentu dengan dalih bahwa mereka telah berjasa kepada negara atau raja. Di Perancis, para pemuka Agama dan para penguasa dibebaskan dari pembayaran pajak dengan alasan di atas. Sedangkan rakyat jelata dikenakan berbagai macam pungutan yang sangat memberatkan. Keadaan inilah yang menjadi salah satu sebab timbulnya Revolusi Perancis yang memakan banyak korban, maka timbullah semboyan “ Bahwa pemungutan pajak oleh rakyat Perancis harus diselenggarakan secara umum dan merata.”
Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 6 tahun 1983, Indonesia menggunakan Undang-undang (in casu ordonasi) pajak produk pemerintah Hindia Belanda.. undang-undang ini banyak mengalami perubahan dan tambahan yang disusun dalam bahasa Indonesia, mengingat UUD 1945 yang berbunyi “ segala Badan Negara dan peraturan yang ada masih berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.” Undang-undang pajak ini, terlalu menitik beratkan pada hukum barat, dan sama sekali tidak memuat ketentuan-ketentuan hukum adat yang berlaku, yang menjadi cermin kepribadian bangsa Indonesia.
Kemudian pada tahun 1950, pemerintah membentuk panitia perubahan sistem pajak. Namun kurang lebih lima kali panitia telah diganti dan dibentuk, namun hasilnya tidak pernah diumumkan. Sehingga keluarlah Undang-undang Pajak Nasional, yang terdiri dari :
1. Undang-undang Nomor 6 tahun 1983, tentang Ketentuan umum dan Tata Cara Perpajakan.
2. Undang-undang Nomor 7 tahun 1983, tentang Pajak Penghasilan.
3. Undang-undang Nomor 8 tahun 1984, tentang Pajak Pertambahan Nilai barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah-PPN 1984.
4. Undang-undang Nomor 12 tahun 1985, tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
5. Undang-undang Nomor 7 tahun 1991, tentang perubahan pertama atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1983.
6. Undang-undang Nomor 10 tahun 1994, tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1983.
7. Undang-undang Nomor 18 tahun 1997, tentang Pajak Daerah dan Restribusi.
8. Undang-undang Nomor 19 tahun 1997, tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa..
9. Undang-undang Nomor 21 tahun 1997, tentang Bea Perolehan Atas Tanah dan Bangunan..
10. Undang-undang Nomor 16 tahun 2000, tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 6 tahun 1983.
11. Undang-undang Nomor 17 tahun 2000, tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1984.
12. Undang–undang Nomor 18 tahun 2000, tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 8 tahun 1983.
13. Undang-undang Nomor 19 tahun 2000, tentang perubahan atas Undang-undang Nomor19 tahun 1997.
14. Undang-undang Nomor 20 tahun 2000, tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 21 tahun 1997.
15. Undang-undang Nomor 34 tahun 2000, tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 18 tahun 1997.
Mulai Juli 2003 sampai Desember 2004 pemerintah menerapkan sistem pajak yang ditanggung pemerintah, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2003 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.03/2003. Perubahan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) telah disesuaikan juga beberapa kali dalam :
1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004, berlaku untuk pajak 2005 ( sekaligus meniadakan pajak yang ditanggung pemerintah).
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005, berlaku untuk tahun pajak 2006.

2. Pajak di Indonesia.
Menurut Adriani, definisi pajak adalah :” Pajak adalah Iuran kepada negara ( yang dapat dipaksakan yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak dapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas pemerintah”.
Santoso Brotodihardo mengatakan pajak adalah iuran yang diberikan kepada negara oleh orang/lembaga yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan yang dapat dipaksakan dan tidak mendapatkan timbal balik, yang dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara dalam menyelenggarakan pemerintahan
Adapun yang menjadi subjek pajak adalah :
1.Pajak penghasilan, UU No. 17 tahun 2000 pasal 2 :
1. a. Orang pribadi.
b.Warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan, menggantikan mereka yang berhak.
2. Badan;
3. Bentuk usaha tetap.
Badan di sini yaitu sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan yang terdiri dari : Perseroan Terbatas (PT), Perseroan Komanditer (CV). badan usaha milik negara dan daerah dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, perkumpulan koperasi, yayasan dan bentuk usaha tetap lainnya.
Bentuk usaha tetap, yaitu bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih 183 hari dari jangka waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha, seperti tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan dan lain-lain.
Subjek pajak penghasilan mencakup baik orang pribadi maupun badan. Perseroan atau pribadi adalah subjek pajak apabila mereka bertempat tinggal di Indonesia maupun mereka bertempat tinggal di luar negeri.
Mereka yang bertempat tinggal di Indonesia mulai menjadi subjek pajak pada saat lahir di Indonesia, atau apabila seorang yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari ( tidaklah harus berturut-turut) dalam jangka waktu 12 bulan. Dan tidak lagi menjadi subjek pajak ketika meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
Bagi mereka yang bertempat tinggal di luar Indonesia, atau berada di Indonesia kurang dari 183 hari, menjadi subjek pajak di Indonesia apabila mereka menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.
2.Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN) ( UU No. 18 tahun 2000 pasal 1 ayat (14) :
subjek pajak pertambahan nilai adalah setiap pengusaha, yakni orang atau badan yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaanya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.
3. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) :
Subjek Pajak bumi dan bangunan adalah orang atau badan yang mempunyai hak atas bumi dan bangunan. Subjek pajak ini juga meliputi orang atau badan yang memperoleh manfaat dari tanah dan bangunan tanpa memiliki hak yang sah atas tanah dan bangunan.
4.Pajak Daerah dan Restribusi daerah ( UU No. 34 tahun 2000):
Subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenakan Pajak daerah. Yaitu orang pribadi atau badan yang memiliki atau menguasai objek pajak daerah.
Adapun yang menjadi objek pajak adalah :
1. Pajak penghasilan, UU No. 17 tahun 2000 :
Yang termasuk objek pajak penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, seperti laba usaha, hadiah dari undian, keuntungan karena penjualan atau peralihan harta, imbalan jasa, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, dan seterusnya.
Yang tidak termasuk sebagai objek pajak penghasilan adalah sebagai berikut :
a. Bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak;
b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh menteri keuangan.
Sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
2.Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN) ( UU No. 18 tahun 2000 pasal 4:
Yang termasuk objek pajak pertambahan nilai adalah :
a. Penyerahan barang kena pajak didaerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
b. Impor barang kena pajak;
c. Penyerahan jasa kena pajak didalam daerah pabean yang dlakukan oleh pengusaha;
d. Pemanfatan barang kena pajak tidak terwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean;
e. Ekspor barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak.

Yang termasuk objek yang tidak kena pajak adalah sebagai berikut :
a. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
b. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
c. Makanan dan minuman yang disjikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan sejenisnya;
d. Uang, emas batang, dan surat-surat berharga.

Adapun jenis jas yang tidak terkena pajak adalah :
a. Jasa dibidang pelayanan kesehatan medik;
b. Jasa dibidang pelayanan sosial;
c. Jasa dibidang keagamaan;
d. Jasa dibidang keagamaan dst

4. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ( UU No. 20 tahun 2000)
Objek Pajak Bumi dan Bangunan adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang meliputi :
a. Pemindahan hak karena jual beli, tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris,pemasukan dalam perseroan atau badan hokum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penunjukan pembeli dan lelang, pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hokum tetap, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekran usaha dan hadiah.
b. Pemberian hak baru karena kelanjutan pelepasan hak dan di luar pelepasan hak.
Adapun yang termasuk hak atas tanah adalah hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun, dan hak pengelolaan.
Adapun objek pajak yang tidak dikenkan pajak adalah objek pajak yang diperoleh dari ngara untuk kepentingan umum, perwakilan diplomatic, perwakilan organisasi internasional, untuk kepentingan ibadah dan dari orang pribadi atau badan wakaf.
4.Pajak Daerah dan Restribusi daerah ( UU No. 34 tahun 2000) pasal 2:
1. Daerah Provinsi :
a. Kendaraan bermotor dan kendaraan atas air;
b. Bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaran di atas air;
c. Bahan bakar kendaraan bermotor;
d. Pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.
2. Daerah Kabupaten/ kota :
a. Hotel;
b. Restoran;
c. Hiburan;
d. Reklame;
e. Penerangan jalan;
f. Pengambilan galian golongan C;
g. Parkir.

Adapun fungsi dari pemungutan pajak ada dua :
1) Fungsi budgetair, yaitu memasukkan uang sebanyak-banyaknya dalam kas negara.
2) Fungsi regulerend atau fungsi menatur.
Fungsi pajak selain mengisi kas Negara juga berfungsi mengatur, sebagai usaha untuk turut campur dalam segala lapangan atau bidang guna menyelenggarakan tujuan-tujuan pemerintah diluar bidang keuangan.


BAB IV
ANALISIS TENTANG ZAKAT DAN PAJAK
A. Korelasi dan Kontradiksi
Diskusi mengenahi hubungan zakat dan pajak nampaknya telah dimulai sejak masa-masa awal pengembangan Islam. Saat itu pasukan muslimin, baru saja berhasil manaklukkan Irak. Khalifah Umar, atas saran-saran pembantunya memutuskan untuk tidak membagikan harta rampasan perang, termasuk tanah bekas wilayah taklukan.
Tanah-tanah yang direbut dengan kekuatan perang ditetapkan menjadi milik kaum muslimin. Sementara tanah yang ditaklukkan dengan perjanjian damai tetap dianggap milik penduduk setempat. Konsekuensinya, penduduk diwilayah Irak tersebut diwajibkan membayar pajak (kharaj), bahkan sekalipun pemiliknya telah memeluk ajaran Islam. Inilah kiranya yang menjadi awal berlakunya pajak bagi kaum muslimin di luar zakat.
Di sini penulis menganalisis tentang zakat dan pajak sebagai berikut :
1. Dalil-dalil Tentang zakat dan pajak yang berarti:


Terjemahannya : Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah ( dijalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu, dan janganlah kamu memilih-milih yang buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya kecuaki dengan memicingkan mata terhadapnya, ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya, Maha Terpuji. ( QS. Al-Baqarah : 267).
Sebab diturunkan ayat ini adalah; Diriwayatkan dari Jabir Bahwa Nabi SAW, memerintahkan umat Islam agar mengeluarkan zakat Fitrah sebanyak satu sha` kurma, lalu datanglah seorang membawa kurma berkualitas rendah, Maka turunlah ayat tersebut.
Pada ayat tersebut, Allah menjelaskan pedoman yang harus diperhatikan berkaitan dengan kualitas harta yang akan diinfakkan, yaitu bahwa harta tersebut hendaknya merupakan harta terbaik dan paling dicintai, sehingga dengan demikian pedoman tentang infak dan penggunaan kekayaan pada jalan Allah menjadi lengkap dan sempurna.
Dalam ayat tersebut di atas, Allah menyebutkan secara khusus dua jenis kekayaan, yaitu kekayaan yang keluar dari bumi dan harta niaga, tanpa menyebutkan jenis kekayaan yang lain. Menurut Ibnu Qayyim, ada beberapa alas an kenapa Allah menyebutkan demikian; Pertama, karena melihat kenyataan bahwa keduanya merupakan jenis kekayaan yang umum dimuliki masyarakat pada saat itu. Kaum Muhajirin adalah petani kebun. Oleh karena itu, penyebutan kedua jenis tersebut disebabkan adanya kebutuhan mereka untuk mengetahui status hukumnya. Kedua, karena keduanya merupakan harta kekayaan yang utama (pokok), sedangkan jenis kekayaan yang lain sudah termasuk dalam atau timbul dari keduanya yang berarti.

Terjemahannya :Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka, dan Allah Maha Mendengar Lagi Maha Mengetahui (QS. at-Taubah : 103).
Sebab diturunkannya ayat ini adalah; Diriwayatkan, ketika Rasulullah SAW berangkat jihad, Abu Lubabah dan lima orang kawannya meninggalkan diri, Abu Lubabah dan dua orang kawannya termenung dan menyesal atas perbuatannya, serta yakin akan bahaya yang akan menimpanya, mereka berkata “ Kita di sini bersenang-senang di bawah naungan pohon, hidup tenteram beserta istri-istri kita, sedangkan Rasulullah SAW beserta kaum mukminin yang menyertainya sedang berjihad. Demi Allah, kami akan mengikat diri pada tiang-tiang dan tidak akan melepas talinya kecuali dilepaskan oleh Rasulullah.” Kemudian mereka melaksanakannya, sedang yang tiga orang lagi tidak berbuat demikian. Ketika pulang dari medan jihad, Rasulullah SAW bertanya :” siapakah yang diikat di tiang-tiang itu?” berkatalah seorang laki-laki :“ mereka itu abu Lubabah dan teman-temannya yang tidak ikut ke medan perang beserta tuan. Mereka berjanji tidak akan melepaskan diri kecuali jika tuan yang melepaskannya.” Bersabdalah Rasulullah SAW :” Aku tidak akan melepaskan mereka sebelum sebelum aku mendapat perintah ( dari Allah ).” Maka turunlah ayat 102 surat al-Taubah. Abu Lubabah bersama kedua temannya, setelah dilepaskan, dating menghadap RasulullahSAW dengan membawa harta bendanya, seraya berkata : “ Ya Rasulullah ! ini adalah harta benda kami, dan mintakanlah ampunan bagi kami.” Rasulullah SAW menjawab :” Aku tidak diperintah untuk menerima harta sedikitpun.” Maka turunlah ayat ini (QS. al-Taubah : 103) yang memerintahkan untuk menerima sedekah mereka dan mendoakan mereka. Maka setelah turun ayat ini, Rasulullah SAW mengambil sepertiga harta mereka, lalu beliau sedekahkan dari mereka.
Sekalipun sebab turunnya ayat ini bersifat khusus, namun nas tentang pengambilan harta pada ayat ini bersifat umum, mencakup para khalifah setelah wafat beliau, dan para pemimpin kaum muslimin setelah wafatnya para khalifah.
Dalam tafsir al-Maragi ayat ini memerintahkan kepada Rasul untuk mengambil dari harta yang diserahkan oleh orang-orang yang tidak ikut perang dan dari harta orang mukmin lainnya dari berbagai jenis harta yang berupa emas, perak, binatang ternak atau harta dagangan, sebagai sedekah dengan ukuran tertentu dalam ukuran zakat fardu, atau ukuran tidak tertentu dalam zakat sunnah, yang dengannya dapat membersihkan mereka dari kotoran kebakhilan, tamak, dan sifat kasar terhadap orang-orang fakir yang sengsara yang berarti.

Terjemahannya :Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar ( agama Allah), (yaitu orang-orang ) yang diberikan al-kitab kepada mereka sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk (QS. At-Taubah : 29).
Sebab turun ayat ini adalah; karena adanya upaya penyerangan dari pasukan Romawi ( Nasrani) dan suku-suku Arab yang beragama Kristen, uang pada saat itu diketahui dari para pedagang yang datang dari syam ( Damaskus, bahwa barisan depan pasukan mereka sudah sampai ke Balqa, satu daerah yordania sekarang. Akhirnya turunlah ayat ini. Yang merupakan ayat yang pertama yang menyangkut perintah memerangi Ahl al-Kitab.
Dalam tafsir al-Misbah, ayat ini adalah perintah untuk memerangi Ahl al-Kitab (orang yang tidak beragama dengan benar) dan untuk mengambil jizyah (imbalan atau balasan atas rasa aman dan fasilitas yang diperoleh oleh penganut agama yahudi dan Nasrani dalam masyarakat Islam) kepada mereka .
Ayat-ayat ini diturunkan ketika Nabi Muhammad SAW berada di Madinah dan kapasitas beliau sebagai kapala negara.
2. Zakat dan pajak sebagai sumber keuangan negara.
Zakat dan pajak termasuk urusan keuagan negara (public finance). Pengertian keuangan negara sendiri adalah masalah-masalah keuangan yang berkaitan dengan penerimaan dan pengeluaran untuk penyelenggaraan pemerintahan dan penyediaan program-program Kesejahteraan masyarakat. Pada zaman Rasulullah dan para sahabat, penerimaan negara bersumber dari enam macam yaitu zakat, jizyah, kharaj, pajak rampasan perang, pajak barang tambang dan harta karun, dan bea-cukai. Sedangkan di Indonesia pajak merupakan salah satu dari pemasukan keuangan negara, dan zakat tidak dimasukkan secara resmi dalam pemasukan keuangan negara.
Zakat adalah pemindahan sebagian kekayaan dari orang kaya kepada orang miskin atau orang yang membutuhkan. Zakat merupakan penerimaan utama negara. Jizyah merupakan pajak yang dikenakan kepada bukan-muslim sebagai pengganti jaminan yang diberikan kepada mereka dalam bentuk perlindungan kehidupan, kepemilikan, menjalankan ibadah dan pembebasan dari kewajiban militer.
Kharaj adalah pajak yang dikenakan kepada tanah yang dihasilkan dari peperangan yang kemudian dimiliki oleh masyarakat. Pajak rampasan perang adalah pajak yang dikenakan pada harta yang diambil alih dari musuh yang kalah berperang. Pajak barang tambang dan harta karun adalah pajak yang dikenakan pada barang tambang dan harta karun baik yang dimiliki oleh pemerintah maupun perorangan. Bea-cukai adalah pajak yang dikenakan kepada barang-barang dagangan yang datang dari negara-negara lain.
Pajak merupakan iuran kepada negara ( yang dapat dipaksakan yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak dapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas pemerintah
3. Pendistribusian zakat dan pajak.
Terlihat bahwa penerimaan negara pada zaman Rasulullah Muhammad SAW dan para sahabat tersebut merupakan integrasi dan kombinasi antara zakat, pajak dan penerimaan-penerimaan lainnya. Penggunaan zakat, seperti diuraikan pada bagian terdahulu, adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin dan yang membutuhkan yang jenis penerimanya telah ditetapkan dalam al-Qur'an.
Sedangkan pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan lain yang tidak termasuk ke dalam jenis penerimaan zakat seperti yang ditetapkan dalam al-Qur'an tersebut dipenuhi dari penerimaan pajak dan penerimaan lainnya. Bahkan apabila dana zakat tidak cukup untuk memenuhi program kesejahteraan masyarakat tersebut, pemerintah dibolehkan mengenakan tambahan pajak kepada orang-orang yang mampu membayar pajak.
Sedangkan fungsi pajak selain mengisi kas negara juga berfungsi mengatur, sebagai usaha untuk turut campur dalam segala lapangan atau bidang guna menyelenggarakan tujuan-tujuan pemerintah diluar bidang keuangan
Di Indonesia pajak di pergunakan untuk kebutuhan pangan, kesejahteraan umum dan merealisasikan sasaran ekonomi dan kepekaan nsosial; delapan asnaf dalam zakat juga termasuk bagian dari objek pendistribusian pajak.
4.Pembatasan zakat dan pajak.
Dalam pelaksanan zakat harus sudah memenuhi nisab (jumlah minimum aset negara yang dapat dikategarikan sebagai aset negara wajib zakat) sesuai dengan syarat-syaratnya setelah dikurangi kebutuhan yang ditetapkan dan yang tidak wajib zakat. Islam sejak abad ke 14 yang lalu telah memperhatikan kondisi social dan kemampuan setiap individu dalam membayar zakat. Oleh karena itu Islam mensyaratkan dalam pelaksanaan zakat mal agar negar yang surplus saja yang menjadi objek zakat. Sebab tidak logis apabila zakat diambil dari orang fakir dan diberikan kepada orang fakir lagi.
Dalam pelaksaan pajak juga ada pembatasan terkait dengan standar perpajakan, yaitu harta yang wajib pajak dalam bentuk cermat. Hal ini dapat dilakukan setelah digunakan untuk memenuhi kebutuhan, dispensasi dan batasan nilai pajak setelah ditotal wajib dibayar atau dalam ungkapan lain, ketentuannya dikaitkan dengan subjek wajib pajak dan batasan waktu pembayaran.
5. Objek (benda) yang terkena zakat dan pajak.
Zakat ditetapkan atas bentuk-bentuk kekayaan yang memiliki kemampuan untuk berkembang dari sisi nilainya, seperti emas dan perak, dapat menghasilkan kekayaan lebih lanjut seperti ternak, produksi pertanian dan barang-barang dagangan. Dalam penentuan objek zakat, disesuaikan pada waktu dan konteks tertentu, seperti unta, dikenakan zakat pada masa awal Islam hal ini juga terjadi pada masa khalifah Umar, beliau mewajibkan zakat kuda yang pada masa nabi tidak diwajibkan. Di Indonesia tidak ada unta, tetapi di Indonesia ada hewan-hewan yang mempunyai fungsi seperti unta dalam hasil peternakannya.
Pajak di Indonesia ditetapkan kepada penghasilan dari pekerjaan, kegiatan usaha, dari modal, dan dari lain-lain, penambahan nilai penjualan atas barang mewah, bumi dan bangunan.
B. Zakat Atau Pajak Bagi Umat Islam Indonesia
Keuangan negara modern, pada umumnya dan termasuk juga di Indonesia, tidak memasukkan zakat sebagai sumber penerimaan. Zakat diserahkan kepada masing-masing individu atau masyarakat. Pemerintah berusaha menjadikan pajak sebagai sumber penerimaan utama. Pengenaan pajak kepada masyarakat belum mempertimbangkan pengeluaran zakat yang dilakukan oleh masyarakat. Akibatnya, potensi dana zakat belum terkumpul secara maksimal dan pemanfaatannyapun belum optimal.
Akibat lainnya ada bagian masyarakat yang terkena pengeluaran dana dua kali, untuk membayar zakat dan pajak. Padahal ada kesamaan tujuan antara penggunaan dana zakat dan penggunaan sebagian dana pajak, yaitu untuk program kesejahteraan masyarakat miskin dan yang membutuhkan. Untuk dana yang tujuan penggunaannya sama ini mestinya masyarakat cukup ditarik satu kali. Oleh karena itu, pembayaran zakat seharusnya dapat mengurangi pembayaran pajak. Hal ini lebih mudah dilakukan apabila zakat ditangani pemerintah, dan zakat juga merupakan bagian dari penerimaan negara.
Pada awal Islam, ada kejelasan dalam kewajiban zakat dan pajak. Zakat diwajibkan bagi orang muslim, sedangkan pajak diwajibkan bagi orang non muslim. hal ini karena bentuk pemerintahan pada waktu itu adalah bentuk pemerintahan khilafah (Negara Islam), yang mana al-Quran dan hadis menjadi sumber hukum dan diterapkan syariat Islam. Akan tetapi kalau melihat konteks Indonesia, Negara ini tidak menggunakan bentuk khilafah, melainkan Negara republik; walaupun mayoritas penduduknya adalah Muslim. Realitas yang ada, terjadi dua kewajiban yang harus dipenuhi oleh orang Islam Indonesia, yaitu kewajiban agama yang berupa zakat dan kewajiban Negara yang berupa pajak.
1. Negara Indonesia sebagai Negara Islam.
Pemikiran politik Islam pada masa periode modern ( mulai abad 19 Masehi), terbagi menjadi tiga yaitu : Pertama, bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap mengatur kehidupan manusia, termasuk politik dan kenegaraan. Pendapat ini merujuk kepada teladan Nabi Muhammad SAW dan Khulafaurrasyidin. Tokoh-tokoh pendapat ini adalah Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M.), Hasan al-Banna (1906-1949 M.), Abu A`la al-Maududi (1903-1979 M.), Sayyai Quthb (1906-1966 M.) dan Ayatullah Khomeini (1903-1989 M.); Kedua, bahwa Islam hanya memberikan seperangkat tat nilai dalam kehidupan politik kenegaraan umat Islam. Tokoh-tokoh pendapat ini adalah Muhammad Abduh (1849-1905 M.), Muhammad Iqbal (1877-1938 M.), Muhammad Husein Haykal (1888-1956 M.), Muhammad Natsir ( 1908-1993 M.) dan Fazlur Rahman (1919-1988 M.); Ketiga, bahwa Islam tidak mempunyai tata aturan tentang politik, dan memisahkan antara agama dengan Negara (sekuler). Tokoh-tokoh pendapat ini adalah Ali Abd al-Raziq (1888-1966 M.) Thaha Husein (1889-1973 M.) dan Musthafa Kemal Attarturk.
Masdar Farid Mas`udi salah seorang ketua PBNU, beliau berpendapat tentang hubungan Negara dan agama; apabila Negara dimaknai sebagai bangunan kelembagaan serta bagaimana Negara diselenggarakan, maka bisa dipastikan bahwa tidak ada satu agamapun yang mampu dan layak untuk menjawabnya. Akan tetapi, apabila sebuah negara dimaknai sebagai prinsip-prinsip etik dan moral yang menjadi acuan orientasinya (untuk apa negara didirikan dan dibela, bagi kepentingan siapa, dan dengan prinsip etika yang seperti apa), maka agama memiliki kepentingan untuk menjawabnya.
Secara kelembagaan negara, terdapat kesamaan antara masa Nabi Muhammad dan khulafaurrasyidin dengan Indonesia, terdapat lembaga-lembaga yang terbagi pada tiga lembaga, yaitu lembaga permusyawaratan ( Majelis syura), lembaga Pemerintahan (Khalifah) dan lembaga yudikatif ( Qadha`); akan tetapi terdapat perbedaan dalam konsep negara.
Di Indonesia merupakan Negara hukum, yang memakai konsep Negara hukum Pancasila yaitu mengakui kebebasan individu dan menekankan peran pemerintah dalam mengatur dan mensejahterakan rakyat. Konsep Negara Pancasila, menjamin kebebasan bagi rakyatnya untuk menjalankan agamanya, dan tidak menjadikan salah satu agama sebagi agama resmi Negara. Negara juga tidak memisahkan agama dari kehidupan politik, karena itu Negara tidak memberikan ruang kepada komunisme untuk hidup di Negara Indonesia.
Adapun Negara dalam Islam lebih tepat dikatakan sebagai Negara Nomokrasi, yaitu kepala Negara menjalankan pemerintahannya berdasarkan hukum-hukum syari`at yang diturunkan Tuhan melalui rasul Nya. Namun karena hukum syari`at lebih bersifat global dan baku, manusia diberi kewenangan yang luas untuk mengadakan ijtihad terhadap masalah-masalah yang tidak diatur secara tegas oleh Syariat. Dalam nomokrasi sumber syariat adalah al-Quran dan Hadis. Menurut J. Suyuti Pulungan, ada enam belas prinsip yang terdapat dalam al-Quran, yaitu prinsip kedudukan manusia di bumi,manusia sebagai umat yang satu, penegakan kepastian hokum dan keadilan, kepemimpinan, musyawarah, persatuan dan persaudaraan, persamaan, hubungan antar Negara bertetangga, saling menolong dan membela yang lemah, perdamaian, ekonomi dan perdagangan yang etis, administrasi, bela Negara, penghargaan pada hak-hak asasi manusia, amar ma`ruf nahi munkar dan penempatan pejabat Negara berdasarkan profesionalisme.
Menurut penulis Indonesia secara subtansional, nilai-nilai Islam sudah ada dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
2. Pajak sebagai zakat bagi orang Islam Indonesia
Manurut Masdar Farid Mas`udi, ”bahwa zakat pada dasarnya adalah konsep etik atau moral, sementara wujud institusionalnya atau kelembagaannya adalah pajak dan pembelanjaannya yang ada dalam kewenangan negara.” Beliau berpendapat bahwa pajak adalah basis material dan darah kehidupan Negara dan kekuasaannya. Tidak ada Negara dalam bentuk apapun yang dapat bertahan hidup dan menjalankan roda kekuasaannya tanpa pajak rakyat. Oleh sebab itu, visi misi dan bentuk Negara akan sangat ditentukan oleh bagaimana basis material Negara yang ditentukan oleh bagaimana basis material Negara bernama pajak diberi makna. Dan pajak dengan konsep etik atau ruh zakat, yakni pajak sebagai sedekah karena Allah yang diamanatkan kepada Negara untuk kemaslahatan segenap rakyat, terutama yang lemah, siapapun mereka, apapun agama, etnis, ras, maupun golongannya.
Sementara tentang pembelanjaan pajak sebagaimana pembelanjaan Zakat,. Dalam hal ini, Masdar menafsiri surat at-Taubah [9] : 60 :
Sesungguhnya pajak-pajak itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil( baca: biaya rutin pemerintahan), para Muallaf ( baca : penghuni lembaga permasyarakatan dan suku terasing), untuk budak/riqab (baca: kelompok tertindas), gharimin (baca : rakyat terbelit utang), untuk jalan Allah/sabilillah (baca ; keamanan, ketertiban, penegakan hokum, serta pengadaan sarana dan prasarana public), dan Ibnu sabil (baca: tunawisma dan pengungsi), sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Oleh sebab itu, dalam konteks administrasi negara modern, bahwa delapan asnaf (sektor) inilah yang seharusnya menjadi patokan (benchmark) dalam penyusunan anggaran belanja negara, baik pusat (APBN) maupun daerah (APBD), sehingga pada angka-angka anggaran belanja inilah pemihakan Negara kepada rakyat, khusunya yang kurang mampu, harus benar-benar dibuktikan.
Apabila penguasa untuk kepentingan dirinya dan kroninya merekayasa pembelanjaan uang pajakmelalui APBN/APBD, maka pada dasarnya mereka adalah koruptor yang secara teologis berkhiyanant kepada rakyat, terutama rakyat kecil.
Menurut Didin Hafidhuddin, dalam zakat dan pajak ada persamaan dan perbedaan.
1. Persamaan zakat dan Pajak.
a. Unsur paksaan
Zakat diwajibkan kepada orang muslim yang telah memenuhi persyartan zakat, jika melalikan atau tidak mau menunaikannya, maka penguasa melalui petugas zakat, wajib memaksanya. Demikian pula seorang yang sudah masuk kategoro wajib pajak, dapat dikenakan tindakan paksa kepadanya, baik secara langsung maupun tidak, jika wajib pajak melalaikannya.
b. Unsur pengelola.
Zakat dikelola oleh sebuah lembaga yang khusus menangani zakat yang memenuhi persyaratan tertentu yang disebut dengan amil zakat. Adapun pengelolaan zakat jelas diatur oleh negara.
c. Dari sisi tujuan
Zakat memiliki tujuan yang untuk menciptakan kesejahteraan, keamanan, dan ketentraman. Demikian juga pajak, tujuannya relatif sama dengan zakat, terutama dalam hal pembiayaan pembangunan Negara untuk menciptakan kesejahteraan orang banyak.
2.Perbedaan zakat dan pajak.
a. Dari segi nama
Zakat berarti, bersih, suci, tumbuh dan berkah. Artinya setiap harta yang dikeluarka zakatnya akan bersih, tumbuh, berkah dan berkembang. Sedangkan pajak, berasal dari kata al-Dharibah yang berarti beban. Artinya beban yang diberikan kepada warga negara untuk memberikan harta kepada Negara.
b. Dasar hukum dan sifat kewajiban.
Zakat diwajibkan berdasarkan nas-nas al-Quran dan as-sunnah yang bersifat qathi, sehingga kewajibannya bersifat absolute dan sepanjang masa. Sedangkan pajak, keberadaannya sangat bergantung pada kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam bentuk undang-undang.
c. Dari sisi objek, persentasi dan pemanfaatan.
Zakat memiliki nishab ( kadar minimal ) dan persentasinya sifatnya baku, berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam berbagai hadis Nabi. Sedangkan aturan besar dan pemungutan pajak sangat bergantung pada peraturan yang ada serta tergantung pula pada objek pajaknya. Jika zakat harus dipergunakan untuk kepentingan mustahik yang berjumlah delapan asnaf, maka pajak dapat dipergunakan dalam seluruh sektor kehidupan, sakalipun dianggap tidak berkaitan sama sekali dengan ajaran agama.
Menurut Gazi Inayah, zakat dan pajak mempunyai kesamaan hanya dalam bentuknya saja, bukan kesamaan yang hakiki. hal ini dapat diketahui dari bentuk pembayarannya, ukurannya (batasan) distribusinya yang berbeda.
Zakat dalam bentuk pembayarannya, bisa berupa bentuk barang ataupun bentuk uang, sedangkan pajak harus berupa uang. Ukuran ( batasan) dari zakat adalah kemampuan beban yang ditentukan oleh nas, sedangkan pajak itu sesuai kemampuan beban yang mereka tanggung, karena semua masyarakat diperlakukan sama di depan hukum. Dalam pendistribusiannya, pajak dialokasikan kepada sumber keuangan negara dalam menutupi kebutuhan pangan, kesejahteraan umum dan merealisasikan sasaran ekonomi dan kepekaan sosial; sedangkan zakat di distribusikan untuk menjamin persamaan hidup yang layak bagi fakir miskin dan masyarakat lainnya.
Terkait penyatuan zakat dan pajak, banyak terjadi perbedaan pendapat di kalangan para Ulama. Imam Nawawi berpendapat bahwa, apabila pemerintah memungut pajak secara lalim, maka wajib pajak boleh berniat zakat dalam mengeluarkan pajak. Hal senada juga muncul dalam literature fikih Madzhab Hanafi dan Imam Ahmad Ibnu Hambal. Sedangkan Yusuf Qordowi perpendapat, bahwa pendapat Ulama yang memperbolehkannya pajak diniatkan zakat, apabila pemerintah meminta pajak secara lalim dan melebihi batas, ini menunjukkan para ulama itu memperbolehkan untuk meringankan beban masyarakat. Apabila dalam penarikan pajak dilakukan secara adil, maka pendapat para ulama tersebut tidak diberlakukan. Sedangkan menurut jumhur fiqih, posisi pajak tidak dapat menggantikan zakat, dalam keadaan apapun.
Menurut penulis, pelaksanaan dan formulasi dari zakat dan pajak di Indonesia ini masih mengacu pada teks dan konteks masa dahulu, pada subjek dan objek dalam konteks yang dahulu. Tentunya hal ini tidak tepat dan tidak efektif, ketika suatu produk hukum diterapkan kepada suatu konteks yang berbeda dengan konteks produk hukum itu dibuat dan diterapkan.
Di Indonesia pelaksanaan pajak dan zakat kurang efektif, baik dalam penarikan maupun pendistribusian. Menurut penulis hal ini disebabkan karena adanya dikotomi pemaknaan keduanya; zakat lebih dimaknai sebagai Ibadah, karena ini dilaksanakan berdasarkan al-Quran dan akan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Sedangkan pajak dimaknai hanya semata-mata kewajiban negara yang harus dilaksanakan sebagai warga negara yang baik yang belum tentu mendapatkan pahala dari Allah SWT, karena pajak dibuat oleh manusia.. Hal ini menjadikan pembayaran terhadap pajak tidak maksimal, karena ini hanyalah urusan dunia yang belum tentu benar. pembayaran terhadap zakat juga tidak maksimal, karena negara menganggap zakat itu bukan wewenang negara, tetapi wewenang agama.
Menurut penulis, antara zakat dan pajak mempunyai kesamaan secara subtantif, semuanya merupakan sarana peningkatan umat baik secara individu maupun kolektif. Dari zakat dan pajak segala kebutuhan finansial terkait operasional untuk memenuhi kesejahteraan umat, penegakan keadilan, kenyamanan ibadah, dan lain-lain dipenuhi. Fenomena yang ada saat ini adalah, adanya perbedaan formulasi antara zakat dan pajak, terkait jenis, subjek, objek, distribusi dan presentasinya. Menurut penulis perbedaan ini dapat dikompromikan dengan penrumusan kembali tentang konsep sumber keuangan Negara yang mengacu pada nilai-nilai dari zakat dengan meperhatikan konteks Indonesia hari ini.




BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah membahas zakat dan pajak pada bab-bab sebelumnya, pada bab ini penulis dapat memberikan kesimpulan sebagai berikut :
1. Zakat dan pajak pada awal Islam merupakan sumber pamasukan dana bagi negara.
a. Zakat diwajibkan kepada kaum muslimin setelah mendapatkan perintah Allah pada tahun kedua hijriyah. Pada tahun kesembilan hijriyah, setelah kondisi ekonomi kaum muslimin stabil, Allah mewajibkan zakat mal. zakat ditetapkan atas kekayaan-kekayaan yang memiliki kemampuan untuk berkembang dari sisi nilainya (emas, perak), atau dapat menghasilkan kekayaan lebih lanjut, seperti ternak, produksi pertanian dan barang-barang dagangan, dan luqathah, harta yang ditinggalkan musuh dan barang temuan. Semuanya dikenakan zakat ketika sudah mencapai nishabnya, dan mencapai satu tahun kecuali pertaniaan, dikenakan zakat ketika panen. Pada masa khalifah Umar, beliau menarik zakat dari satu kuda yang berniali 20.000 sebesar satu dinar dan didistribusukan kepada fakir miskin serta budak-budak yang pada masa sebelumnya tidak ditarik. Zakat didistribusikan kepada delapan asnaf.
b. Pajak yang berupa jizyah pada awal Islam dibebankan kepada orang non-muslim, khususnya ahli kitab, sebagai jaminan perlindungan jiwa, harta milik, kebebasan menjalankan ibadah, serta pengecualian dari wajib militer, sebesar satu dinar setahun bagi orang laki-laki. Dalam menentukan jizyah senantiasa melihat situasi dan kondisi daerah yang berbeda-beda
c. Pajak yang berupa Kharaj, yaitu pajak tanah yang dipungut dari kaum non muslim ketika wilayah Khaibar ditaklukkan, tanah hasil taklukan diambil alih oleh kaum muslimin dan pemilik lamanya diberi hak untuk mengolah tanah tersebut dengan status sebagai penyewa dan bersedia memberikan separo hasil produksinya kepada negara.
2. Zakat dan pajak di Indonesia adalah sebagai berikut :
a. Zakat diberlakukan di Indonesia semenjak Islam masuk di Indonesia. pada waktu penjajahan Belanda, zakat diatur dalam Ordonantie pemerintah Hindia Belanda Nomor 6200. setelah Indonesia merdeka zakat dilaksanakan sebagaimana syariat Islam. Pada tahun 1999, Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat melahirkan Undang-undang mengenahi Pengelolaan zakat di Indonesia yaitu UU Nomor 38 tahun 1999, dan diatur dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 581 tahun 1999. Dengan keluarnya undang-undang tersebut, diharapkan pengelolaan zakat di Indonesia akan menjadi lebih baik.
b. Pajak menjadi salah satu sumber pemasukan bagi negara, Subjek pajak adalah orang pribadi maupun badan. yang bertempat tinggal di Indonesia maupun mereka bertempat tinggal di luar negeri secara mutlak yang tidak memandang suku, etnis, dan agama, jenis-jenis pajak di Indonesia adalah: Pajak penghasilan, Pajak pertambahan nilai dan jasa, pajak penjualan atas barang mewah, pajak buku dan bangunan, dan pajak daerah. Fungsi pajak selain mengisi kas Negara juga berfungsi mengatur, sebagai usaha untuk turut campur dalam segala lapangan atau bidang guna menyelenggarakan tujuan-tujuan pemerintah diluar bidang keuangan
B. Saran-saran.
Melihat dari hasil pembahasan dalam bab-bab di atas, antara zakat dan pajak mempunyai kesamaan tujuan dengan formulasi yang berbeda. Fenomena yang ada di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, ada beban yang berat ketika melakukan dua kewajiban yang subtansinya sama dengan bentuk yang berbeda yaitu zakat dan pajak. Berangkat dari situ, penulis menyarankan kepada :
1. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk membuat Undang-undang yang memberikan solusi atas permasalahan kewajiban ganda bagi umat Islam Indonesia terkait zakat dan pajak..
3. Pembaca khususnya mahasiswa, bahwa dalam menetapkan dan memberlakukan suatu produk hukum harus mempertimbangkan dengan menyesuaikan konteks dari subjek dan objek hukum.
4. Ahli hukum, bahwa perlu adanya sebuah formulasi hukum yang kontekstual supaya keadilan hukum dan kepastian hukum dapat terwujud.





DAFTAR PUSTAKA

al-Maragi,Ahmad Mustafa. Tafsir al-Maragi, Anshori Umar Sitanggal et.al. Semarang : Toha Puta, 1993, XI.

Al-Barry, M. Dahlan. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya : Arkola, 1994.

al-Asyqalani, Ibnu Hajar. Bulugh al-Maram min Adillati al-Ahkami. Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tanpa [tahun] penerbit.

ash- Shidieqy, Muhammad Hasybi. Pedoman Zaka. Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2005.

Asyaukani, Lutfi. Politik, HAM, dan Isu-isu Teknologi Dalam Fiqih Kontemporer. Bandung : Pustaka Hidayah, 1998.

Azmi, Sabahuddin. Menimbang Ekonomi Islam; Keuangan Publik, Konsep Perpajakan dan Peran Bait al Mal. BAndung : Nuansa, 2005.

Bohari. Pengantar Hukum Pajak. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999.

Brotodihardjo, Santoso. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung : Refika Aditama, 2003.

Dahlan, A.A. dan M. Zaka Alfarisi. Asbabun Nuzul; Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat al-Quran ed. Bandung : Diponegoro, 2000.

Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Dirjen Pengembangan Zakat dan Wakaf. Pola Pembinaan Lembaga Pengelola zakat di Indonesia. Jakarta : Departemen Agama, 2003.

Forum Pengembangan Intelektual Islam Lirboyo. Sejarah Tasyri` Islam; Periodisasi Legislasi Islam Dalam Bingkai Sejarah. Surabaya : Khalista, 2006.

Hadi, Sutrisna. Metodologi Research. Yogyakarta : andi Ofset, 1989)Jilid I.

Hafidhuddin,Didin. Zakat Dalam Perekonomian Modern. Jakarta : Gema Insani, 2002.

Hasan, M. Ali. Masail Fiqhiyah; Zakat,Pajak, Asuransi, dan Lembaga Keuangan. Jakarta : Rajawali Pers, 2003.

Hasan, Sofyan Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf. Surabaya : al-Ikhlas, 1995.

Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah; Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001.

Inayah,Gazi. Teori Komprehensip Tentang Zakat dan Pajak. Yogyakarta : Tiara Wacana, 2003.

Karim, Adimarman Azwar. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006.

Muhammad Syarini al-Khathib, al-Iqna` Fi Hilli Alfazhi Abi Syuja` Tanpa [ tempat] penerbit : tanpa [nama] penerbit, tanpa [tahun] penerbit.

Mufraini, M. Arif. Akuntansi dan Manajemen Zakat; Mengomunikasikan dan Membangun Jaringan. Jakarta : Kencada Prenada Media Group, 2006.

“Masa Kemajuan Islam (650 -1000 M )- Khilafah Rasyidah”www.cybermq.com diakses tanggal 23 Maret 2007

Peraturan Prundang-undangan Pajak Daerah dan Restribusi Daerah (Jakarta : Pustaka Yustisia, 2007.

Perpustakaan Nasional RI : Katalog Dalam Terbitan. Eksiklopedi Hukum Islam. Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve, 2000.

Praja, Juhaya S. Hukum Islam di Indonesia; Perkembangan dan Pembentukan. Bandung ; remaja Rosdakarya, 1994.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka, 1996.

Ramulya, Muhammad Idris. Asas-Asas Hukum Islam; Sejarah tumbul dan Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem di Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika, 2004.

Sarifuddin, Amir. Merentas Kebekuan Ijtihad, Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia. Jakarta : Ciputat Press, 2002.

Shihab,M. Quraish. Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran. Jakarta : Lentera Hati, 2004, V.

Suma, M. Amin. Tafsir ahkam 1; Ayat-ayat Ibadah. Jakarta : Logos, 1997.

“Sejarah Pajak Penghasilan”, http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak . diakses tanggal 23 Maret 2007. “Sejarah Pajak Penghasilan”, http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak . diakses tanggal 23 Maret 2007.

Soewarno, Ibnoe. Sejarah Nasional Indonesia dan Dunia. Surakarta : widiyadata,1989.

Undang-Undang Republik Indonesia nomor 38 tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat. Jakarta : tanpa [nama] penerbit, 1999.

Undang-undang Perpajakan 2000, Bandung : Citra Umbara, 2000.

Undang-Undang dasar 1945, Jakarta : Armas Duta Jaya, 2004.

Verry Verdiansah, “Bila Zakat Sebagai Etika Pajak” redaksi@p3m.or.id - Webmaster: web@p3m.or.id, 13 Desember 2005 diakses 6 Juni 2007.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006.

“Zakat Versus Pajak, Dahulu dan Sekarang” website: email: , Jumat, 07 Juni 2002, diakses tanggal 2 juni 2007.

Zallum, Abdul Qadim. Sistem Keuangan di Negara Khilafah. Bogor : Thariqul Izzah, 2002.

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Komentar

free counters

¾